Informasi mengenai keluarga yang berada di Sudan bisa diakses melalui nomor KBRI Khartoum di +249907978701, +249900079060, dan di +249900105466.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia terus mengusahakan evakuasi warga negara Indonesia di Sudan ke tempat yang aman. Konflik antara militer Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat atau RSF telah berlangsung sejak Sabtu (15/4/2023) dan eskalasi pertempuran terus terjadi.
”Ada 43 WNI yang diungsikan ke rumah aman milik KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) Khartoum,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam taklimat media secara daring di Jakarta, Kamis (20/4/2023).
Ia menerangkan, seluruhnya ada 1.209 WNI di Sudan. Mayoritas adalah mahasiswa yang berkuliah di Khartoum. Umumnya, mereka tinggal di sekitar Universitas Internasional Afrika. Daerah ini termasuk dalam zona panas pertempuran militer dengan RSF.
”Kemlu terus berkoordinasi dengan KBRI Khartoum dan organisasi masyarakat WNI di sana. Sejak Minggu (16/4/2023), rencana evakuasi terus dikembangkan. Masalahnya, suasana tidak kunjung stabil di sana,” tutur Retno.
Awalnya, RSF dan militer setuju melakukan gencatan senjata selama 24 jam pada Selasa (18/4/2023). Akan tetapi, hal itu tidak bisa terlaksana karena kedua belah pihak terus melanjutkan baku tembak. Menurut Retno, ini membuat distribusi bantuan sosial dan evakuasi terhambat. Belum ada satu negara pun yang bisa mengungsikan penduduk mereka dari Sudan karena ketiadaan jeda kemanusiaan ini.
Status Siaga 1 dan prioritas pemerintah ialah mengungsikan WNI. KBRI Kairo (Mesir), Riyadh (Arab Saudi), dan Addis Ababa (Etiopia) juga bersiaga dan siap membantu upaya evakuasi.
Indonesia telah mendesak melalui Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar melaksanakan rapat darurat guna membahas jeda kemanusiaan ini. Indonesia juga mengimbau kepada militer Sudan ataupun RSF untuk menghentikan kekerasan. Apalagi, konflik pecah di akhir Bulan Suci Ramadhan.
”Status Siaga 1 dan prioritas pemerintah ialah mengungsikan WNI. KBRI Kairo (Mesir), Riyadh (Arab Saudi), dan Addis Ababa (Etiopia) juga bersiaga dan siap membantu upaya evakuasi,” ujar Retno.
Ia mengatakan, RSF dan militer sama-sama berusaha merebut berbagai obyek vital. Titik-titik itu antara lain bandara ataupun lapangan udara, istana kepresidenan, dan markas RSF itu sendiri.
Data PBB menyebutkan, telah jatuh 300 korban jiwa dan 3.000 korban luka-luka. Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Gebreyesus mengecam perusakan dan penjarahan berbagai fasilitas kesehatan di Sudan. Sejak Minggu, ada serangan ke tiga rumah sakit yang merenggut nyawa tiga orang.
”Persediaan obat-obatan dan alat kesehatan di rumah sakit menipis. Bahkan, sejumlah rumah sakit rusak berat sehingga tidak bisa melayani pasien. Tanpa ada operasional medis, Sudan bisa terperosok ke dalam bencana kemanusiaan,” kata Gebreyesus.
Media lokal, Radio Dabanga, melaporkan, kantor Medicins Sans Frontier (MSF) di Nyala, Provinsi Darfur Selatan, rusak berat setelah dijarah oleh sekelompok orang bersenjata. MSF belum mengetahui orang-orang itu berasal dari militer atau RSF. Mereka mengambil obat-obatan, perlengkapan perkantoran, dan transportasi operasional MSF.
Pada saat yang sama, ada 320 tentara Sudan yang melintasi perbatasan ke negara tetangga, Chad. Chad telah menutup perbatasan sejak Sabtu ketika konflik pecah. ”Ada 320 anggota militer dan polisi Sudan yang menyerahkan diri kepada penjaga perbatasan. Mereka semua sudah kami amankan. Alasan melintasi perbatasan ialah karena mereka takut dibunuh oleh RSF,” kata Menteri Pertahanan Chad Daoud Yaya Ibrahim kepada Radio Dabanga.
Panglima Militer Sudan Jenderal Abdul Fattah Burhan dan pimpinan RSF Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo awalnya bersahabat. Mereka bersekongkol mengudeta Presiden Omar Al-Bashir pada 2019. Kongsi ini pecah karena di antara Burhan dan Dagalo ada perebutan kekuasaan.
Transisi dari rezim militer ke pemerintahan sipil berarti RSF harus dilebur ke dalam militer Sudan. Dagalo tidak terima karena RSF memiliki pengaruh politik yang kuat di negara itu. Ia memutuskan melawan Burhan sehingga konflik meletus.
Surat kabar Wall Street Journal memberitakan, konflik ini didukung pihak-pihak luar. Mereka mengutip sumber rahasia dari dalam Pemerintah Mesir yang mengatakan bahwa Mesir memberi bantuan persenjataan dan pesawat tempur kepada Burhan. Adapun mantan jenderal dari Libya, Khalifa Haftar, memberi bantuan persenjataan kepada Dagalo. (REUTERS)