Kompetisi AS-China Sengit, Inflasi Global Akan Meroket
Gangguan rantai pasok karena ketegangan geopolitik AS-China bisa merugikan AS dan Uni Eropa. Ketegangan geopolitik bisa mengganggu perdagangan, melemahkan pertumbuhan, dan menaikkan inflasi.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
NEW YORK, SELASA — Persaingan sengit antara Amerika Serikat dan China bisa menambah inflasi hingga 5 persen. Penggunaan dollar Amerika Serikat dan euro juga bisa terdampak jika persaingan itu tidak kunjung terkelola.
Gubernur Bank Sentral Eropa (ECB) Christine Lagarde mengingatkan potensi itu pada Senin (17/4/2023) siang waktu New York atau Selasa dini hari WIB. ”Kita akan melihat lebih banyak ketidakstabilan seiring rantai pasok global yang semakin kaku. Kedua, kita akan melihat multipolar seiring peningkatan ketegangan geopolitik,” ujarnya.
Dampak peningkatan ketegangan itu bisa buruk. ”Jika rantai pasok global terpecah selaras dengan kedekatan geopolitik, kenaikan inflasi global bisa mencapai 5 persen dalam jangka pendek dan 1 persen dalam jangka panjang,” katanya.
Pernyataan itu menambah gambaran kekhawatiran para pengambil kebijakan sektor keuangan. Di Pertemuan Musim Semi Dana Monener Internasional (IMF) dan Bank Dunia pada pekan lalu, kekhawatiran senada juga dilontar oleh sejumlah pengambil keputusan.
Intinya, mereka khawatir atas dampak ketegangan geopolitik pada perkonomian global. Ketegangan bisa mengganggu perdagangan, melemahkan pertumbuhan, dan menaikkan inflasi.
”Kita menyaksikan perpecahan ekonomi global menjadi blok-blok yang bersaing, di mana setiap blok mencoba menarik sebanyak mungkin teman dari berbagai penjuru dunia sesuai kepentingan dan nilai yang mereka percayai. Perpecahan bisa menuju pada dua blok yang dipimpin oleh dua perekonomian terbesar. Dampaknya bisa melebihi kewenangan para pembuat kebijakan,” tutur Lagarde.
Kepada Kompas beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kekhawatiran pada fenomena ini. Perdagangan global akan semakin sulit dan kaku karena kehadiran blok-blok. Alih-alih kepentingan pragmatis, relasi ekonomi akan ditentukan suatu negara tergabung dalam blok atau tidak. Ia menyebut fenomena itu sebagai geokonomi.
Padahal, gangguan rantai pasok karena ketegangan geopolitik AS-China bisa merugikan AS dan Uni Eropa. Paling sedikit 14 jenis mineral penting untuk aneka industrinya harus diimpor AS dari China, sementara 98 persen kebutuhan logam tanah jarang UE dipasok China.
”Gangguan rantai pasok pada sektor ini bisa berdampak pada sektor penting perekonomian, seperti otomotif yang sedang beralih ke produksi kendaraan listrik,” ujarnya.
Sayangnya, pemerintah dan bank sentral malah membuat kebijakan yang lebih proteksionis. Undang-undang Penurunan Inflasi AS dan otonomi strategis Eropa adalah contohnya. Alih-alih mengurangi, kebijakan-kebijakan itu malah mempercepat perpecahan geopolitik.
Padahal, mengacu antara lain pada kajian yang menggunakan data selama 123 tahun terakhir, ditemukan dampak ketegangan geopolitik pada inflasi, perdagangan global, dan pertumbuhan. Kajian itu dilakukan ECB, IMF, dan sejumlah lembaga lain.
Sejarah beberapa dekade terakhir pun menunjukkan bukti dampak geopolitik. Di dekade 1970-an, bank sentral kewalahan oleh dampak geopolitik yang diikuti perang minyak. Bank sentral di berbagai negara dan kawasan gagal menjadi penstabil.
”Kesalahan yang tidak pernah boleh diulang lagi selama bank sentral tetap independen,” ujar Lagarde.
Ia mengingatkan, ada banyak keuntungan dalam tiga dekade tanpa persaingan sengit geopolitik. Rantai pasok global lebih lentur pada permintaan domestik sehingga inflasi rendah dan stabil. Dalam situasi itu, bank-bank sentral tidak dipusingkan dengan potensi gangguan rantai pasok.
Sementara beberapa tahun terakhir berulang kali terjadi gangguan rantai pasok. Sebelum pandemi, rantai pasok terganggu oleh perang dagang AS terhadap sejumlah negara. Selain China, AS juga melancarkan perang dagang ke Uni Eropa dan sejumlah mitra serta sekutu AS.
Kondisi semakin memburuk oleh pandemi Covid-19. Perang Ukraina menambah parah gangguan rantai pasok global. Sanksi AS dan sekutunya kepada Rusia dan sejumlah negara memicu perpecahan rantai pasok dan sistem pembayaran lintas negara.
”Kajian menunjukkan, aliansi bisa meningkatkan cadangan mata uang negara mitra dagang hingga 30 persen,” kata Lagarde.
Lagarde juga menyoroti pada fenomena yuan. Seiring kenaikan volume perdagangan dengan China, semakin banyak negara memakai atau sedang menimbang memakai yuan sebagai alat pembayaran dan cadangan valas. ”Kondisi ini membuat sejumlah negara mencoba mengurangi ketergantungan pada sistem pembayaran dan valas Barat, baik karena alasan politik, ketergantungan keuangan, maupun kekhawatiran terkena sanksi,” tuturnya. (AFP/REUTERS)