Populasi India Terbanyak di Dunia, Untung atau Buntung?
Pada akhir tahun ini, India akan menggeser posisi China menjadi negara dengan populasi terbanyak di dunia. India bisa untung jika mampu memanfaatkan bonus demografi tetapi juga bisa buntung jika gagal.
India akan segera menggeser posisi China sebagai negara dengan populasi terbanyak di dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa memproyeksikan pada akhir tahun ini, populasi India akan mencapai 1,429 miliar jiwa. Sementara China akan turun ke posisi kedua dengan jumlah populasi 1,426 miliar jiwa.
Populasi India diperkirakan akan terus bertambah selama empat dekade ke depan hingga mencapai puncaknya sekitar 1,7 miliar jiwa pada 2063. Sebaliknya, populasi China untuk pertama kalinya dalam dua dekade terakhir menyusut pada tahun lalu. Meski bisa menggeser posisi China, belum diketahui apakah hal ini akan menjadi berkah sehingga menguntungkan bagi India atau malah membuat buntung.
”Kita berada di puncak transisi populasi paling penting dalam 200 tahun terakhir. Untuk sementara, pusat gravitasi dunia sudah bergeser dari China ke India,” kata Irfan Nooruddin, Direktur Pusat Asia Selatan di Dewan Atlantik, lembaga kajian yang berbasis di Washington, Amerika Serikat, kepada harian The Wall Street Journal, 14 April 2023.
Baca juga: Hari Populasi Sedunia: Ledakan Penduduk dan Degradasi Lingkungan
Dengan meningkatnya populasi, India mempunyai banyak keuntungan antara lain bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi, mampu membeli lebih banyak barang dunia, dan bisa memainkan peran lebih besar dalam urusan global. Di sisi lain, India masih akan bergulat dengan kemiskinan dan kurangnya lapangan pekerjaan.
Dalam banyak hal, India terlihat seperti China, 30 tahun lalu. India mempunyai populasi angkatan kerja berusia di bawah 25 tahun yang berkembang pesat dengan 610 juta jiwa dan relatif sedikit orang tua yang harus dirawat. India akan menjadi satu-satunya negara dengan tenaga kerja yang cukup besar untuk mendekati China sebagai pusat pabrik dunia meski infrastrukturnya masih buruk.
Sekretaris Jenderal Pusat Penelitian Kerja Sama China-Asia Selatan di Institut Shanghai untuk Studi Internasional Liu Zongyi menilai, populasi yang besar itu akan bisa menjadi bonus demografi. Namun, itu tergantung kebijakan ekonomi, sosial, dan pendidikan yang efektif dari Pemerintah India. Bonus demografi akan menjadi ilusi atau bahkan bencana demografi jika Pemerintah India tidak dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang memadai dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusianya.
”Bonus demografi tidak melulu soal kuantitas, tetapi juga kualitas. Kalau mengambil kasus China, China punya populasi sangat besar dan hilangnya populasi bisa dikompensasi dengan peningkatan kualitas rakyatnya,” kata Liu kepada harian Global Times, 13 April 2023.
Baca juga: Populasi Kian Menua, Bagai Berpacu Melawan Waktu
Menurut laporan perusahaan konsultan manajemen global McKinsey & Company tahun 2020, hingga 2030, India perlu menciptakan setidaknya 90 juta pekerjaan non-pertanian baru untuk menyerap 60 juta pekerja baru yang akan memasuki dunia kerja berdasarkan demografi saat ini. Untuk pertumbuhan lapangan kerja yang menguntungkan dan produktif sebesar ini, pendapatan domestik bruto India perlu tumbuh 8,0-8,5 persen per tahun selama sepuluh tahun berikutnya.
Guru Besar Institut Penelitian Kependudukan Universitas Peking Mu Guangzong mengatakan, populasi yang meningkat dapat memberi India sedikit keunggulan untuk bersaing dengan China di industri produksi kelas menengah dan kelas bawah. Namun, pelatihan tenaga kerja di India memakan waktu lebih lama dan lebih mahal. ”Efisiensi kerja mereka juga rendah,” ujarnya.
Menurut laporan Kantor Survei Sampel Nasional India, hanya 59,5 persen anak muda India yang melek huruf. Harian Times of India menyebutkan, kurangnya pekerja terampil menghambat perkembangan ekonomi negara. Kalangan ekonom memperingatkan India dapat menghadapi ketidakstabilan di dalam negeri jika pemerintah tidak menciptakan lebih banyak peluang ekonomi.
Selama sepuluh tahun terakhir, India disebutkan tidak menambah lapangan pekerjaan baru, sebagian karena pandemi Covid-19. Bahkan ketika lebih dari 100 juta orang memasuki angkatan kerja. Banyak anak muda yang tidak mau repot mencari pekerjaan mengingat kesempatan kerja yang tidak memadai. Padahal, menurut data PBB, di India ada 228,9 juta jiwa atau 16,4 persen dari total populasi yang hidup dalam kemiskinan.
Baca juga: Hanya dalam 200 Tahun, Populasi Manusia Meledak Delapan Kali Lipat
Untuk ”mengentaskan” rakyat dari kemiskinan, India disebutkan sudah meningkatkan infrastrukturnya dengan mengaspal jalan dan membangun bandara baru, serta memperluas akses listrik dan air untuk rakyat di seluruh negeri. Sistem pembayaran seluler India juga memicu ledakan pembayaran digital. Para ekonom memperkirakan produk domestik bruto India akan berlipat ganda menjadi 8,5 triliun dollar AS dari 3,4 triliun dollar AS selama sepuluh tahun ke depan.
India memiliki peluang besar jika melihat data Dana Moneter Internasional (IMF) yang menyebutkan prakiraan pertumbuhan ekonomi jangka menengah India sekitar 6 persen per tahun, lebih tinggi dibandingkan China yang sebesar 4 persen. Menurut laporan Bank Negara India, negara tersebut baru-baru ini mengambil alih Inggris sebagai perekonomian terbesar kelima di dunia. India bisa melampaui Jerman dan Jepang untuk menjadi yang terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan China pada 2029.
Keluarga berencana
Sama seperti China yang pernah mencoba mengendalikan pertumbuhan populasi dengan kebijakan satu anak, India pun pernah mencoba program keluarga berencana nasional pertama di dunia pada tahun 1952. The Wall Street Journal menyebutkan, pada waktu itu pemerintah membatasi setiap keluarga hanya boleh memiliki dua anak.
Pada 1975, Perdana Menteri India Indira Gandhi pernah mendeklarasikan keadaan darurat nasional yang mengekang kebebasan sipil dan negara melakukan kampanye sterilisasi paksa untuk mengurangi kemiskinan. Polisi mengumpulkan pria di stasiun kereta api dan halte bus, dan mengangkut mereka ke kamp vasektomi. Jumlah sterilisasi meningkat menjadi 8,1 juta tahun 1977 dari 1,3 juta pada 1975.
Pemerintahan Partai Komunis China juga berhasil melaksanakan kebijakan satu anak. Namun, tidak begitu adanya dengan India. Rakyat India memilih mengusir Gandhi pada 1977 setelah ia mencabut keadaan darurat. Setelah itu pemerintah menghindari kampanye nasional untuk mengekang populasi tetapi menawarkan insentif tunai dan sterilisasi.
Pertumbuhan penduduk India terlalu laju dan tidak seimbang dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Lembaga kajian independen di Mumbai, Pusat Pemantauan Ekonomi India, menyebutkan total lapangan pekerjaan mencapai 413 juta pekerjaan pada 2017. Trennya turun menjadi 406 juta pada 2019 dan turun lagi selama pandemi menjadi 402 juta pada 2022.
Baca juga: Populasi Menua, Beban Pensiun China Menggelembung
Kepala Eksekutif Pusat Pemantauan Ekonomi India Mahesh Vyas menyalahkan pasar kerja yang stagnan pada investasi yang lemah, pandemi Covid-19, dan rencana demonetisasi yang diterapkan PM India Narendra Modi pada 2016 yang tiba-tiba menghapus hampir 90 persen uang kertas India berdasarkan nilainya. Iklim bisnis India dinilai rumit oleh banyak investor. Kebijakan perdagangan yang proteksionis juga dianggap menjadi penghalang.
Dari 20 juta orang dewasa yang memasuki usia kerja, hanya sekitar 8 juta yang mencari pekerjaan. Tingkat partisipasi angkatan kerja India secara keseluruhan pada Maret 2023 adalah 39,8 persen. Sebagai perbandingan, partisipasi di AS mencapai 62,6 persen. Selama dua dekade mendatang, sedikitnya 200 juta anak muda akan memasuki angkatan kerja.
Akan sulit bagi India untuk menyerap para pekerja itu tanpa lebih banyak investasi di bidang infrastruktur dan perubahan untuk merangsang pertumbuhan berorientasi ekspor. Bank Dunia mencatat manufaktur sebagai bagian dari output ekonomi India turun menjadi 14 persen pada 2021 dari angka 17 persen pada 2006.
”Dengan banyaknya orang yang memasuki dunia kerja, Anda harus berlari dua kali lebih cepat agar bisa tetap berada di tempat yang sama. Menciptakan lapangan pekerjaan adalah masalah yang tidak pernah diselesaikan oleh India,” kata Guru Besar Ekonomi di Universitas Princeton Ashoka Mody.
Tidak seperti China di mana jutaan pekerja migran pindah ke kota untuk bekerja di pabrik, banyak orang India enggan meninggalkan kampung halaman mereka ke tempat yang lebih banyak pekerjaan. Di rumah, mereka bisa lebih mudah menyadap program pemerintah seperti bantuan sembako gratis. Ada juga yang menghadapi kendala bahasa di negara bagian lain.
Sementara di China, lebih banyak penduduk China tinggal di daerah perkotaan dan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuannya juga jauh lebih tinggi. Sementara di India, banyak perempuan usia kerja dari keluarga miskin yang mengatakan perlu izin dari keluarga terlebih dahulu jika hendak bekerja.