Narkoba, Sisi Gelap di Balik Gemerlap Negeri K-Pop
Kasus penyalahgunaan narkoba di Korsel meningkat, terutama di usia remaja. Pemerintah masih berfokus menumpas pembuat dan pengedar narkoba tetapi belum memerhatikan pecandu yang butuh dukungan di pusat rehabilitasi.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
Choi Jin-mook (48) mulai mengonsumsi obat batuk tanpa resep pada usia 17 tahun dan pernah dipenjara karena mengonsumsi mariyuana pada usia 20-an. Selama 15 tahun hidupnya, Choi sering keluar masuk penjara. Dari mariyuana, ia lalu beralih ke sabu-sabu dan obat-obatan yang lebih kuat. Beruntung, ia kemudian diselamatkan seorang konselor yang dulunya juga pecandu narkoba.
“Saya kira saya akan jadi orang normal setelah keluar penjara. Ternyata tidak, karena di penjara saya justru belajar lebih banyak tentang narkoba ketimbang mendapatkan pengobatan. Saya tidak bisa lepas dari belenggu narkoba,” kata Choi yang berjuang melawan kecanduan selama lebih dari 20 tahun itu.
Choi adalah warga Kota Incheon, Korea Selatan (Korsel). Belajar dari pengalaman buruk masa lalunya itu, ia membuka pusat rehabilitasi narkoba dan menjadi konselor serta ikut mengadvokasi perubahan kebijakan pemerintah terkait narkoba.
Kini, setiap Sabtu, sekelompok anak muda Korsel berkumpul di kota Incheon. Mereka bicara dan saling berbagi cerita mengenai pengalaman berjuang melawan ketergantungan terhadap narkoba.
Choi membuka sesi terapi gratis bagi mereka yang membutuhkan. Pusat rehabilitasi yang didirikannya adalah salah satu dari tiga pusat rehabilitasi yang ada di Korsel dan yang mendapatkan bantuan dana dari Jepang untuk membangun pusat rehabilitasi 10 tahun lalu.
Sampai saat ini, menurut Choi, Korsel hanya memiliki enam pusat rehabilitasi narkoba, termasuk dua yang dijalankan oleh Kementerian Keamanan Pangan dan Obat-obatan Korsel. Jumlah ini jauh dari memadai. Bandinkan dengan Jepang yang memiliki sekitar 90 pusat rehabilitasi.
Tiga pusat rehabilitasi yang mendapat dana dari Jepang itu dioperasikan dengan model Jepang dan hanya mempekerjakan mantan pecandu untuk memberikan konseling dan perawatan. Choi dan konselor lainnya sudah mencoba membangun lebih banyak pusat rehabilitasi dan membuatnya lebih mudah diakses.
Namun, tak ada dana bantuan dari pemerintah. Choi menganggap, itu terjadi karena kurangnya kesadaran akan perlunya fasilitas seperti itu. Salah satu persoalan terbesar dari sistem di Korsel pada soal narkoba adalah terlalu fokus pada urusan hukumannya saja dan bukan pada dukungan rehabilitasi.
Selama beberapa bulan terakhir, Korsel dihebohkan dengan berita penangkapan ahli waris pengusaha kaya raya dan aktor pemenang penghargaan Yoo Ah-in atas tuduhan obat-obatan terlarang. Pada kedua kasus ini, pihak berwenang bergerak cepat menindak operasional peredaran narkotika dan memperketat aturan di bea cukai.
Kejahatan terkait narkoba biasanya dapat dihukum setidaknya enam bulan penjara atau hingga 14 tahun untuk pelanggar berulang dan pengedar. Beberapa kejahatan narkoba juga dapat dihukum mati meskipun Korsel tidak melakukan eksekusi apapun sejak 1997.
Waktu yang paling tepat untuk perawatan kecanduan adalah ketika Anda tertangkap untuk pertama kalinya.
Sebagian besar pelanggar pertama dan kedua biasanya mendapatkan hukuman percobaan dan juga hukuman 30-40 jam pendidikan wajib narkoba di ruang kelas. Namun, menurut Choi ini tidak banyak membantu melepaskan mereka dari narkoba.
“Waktu yang paling tepat untuk perawatan kecanduan adalah ketika Anda tertangkap untuk pertama kalinya. Perawatan itu juga tidak bisa hanya dengan belajar di kelas. Berharap mereka lepas dari narkoba hanya dengan duduk di kelas itu jelas absurd. Tidak mungkin. Mereka butuh perawatan dan rehabilitasi yang tepat supaya bisa membantu mereka memulai hidup baru ketika kembali ke masyarakat,” ujarnya.
Guna memerangi peredaran narkoba, Pemerintah Korsel sudah membentuk tim khusus yang akan memburu pembuat dan distributor narkoba. Menteri Kehakiman Korsel, Han Dong-hoon, tahun lalu, berencana memperluas fasilitas rehabilitasi negara untuk memerangi narkoba.
Namun, Kementerian Keamanan Pangan dan Obat mengaku hanya akan menambah satu pusat rehabilitasi narkoba pada tahun ini karena keterbatasan anggaran. Pada Kamis lalu, Pemerintah Kota Seoul, mengumumkan akan memperluas dukungan pemulihan bagi para pecandu. Di antaranya adalah dengan mengembangkan pusat rehabilitasi di rumah sakit kota. Ada pula rencana bekerja sama dengan organisasi Choi untuk membuka setidaknya dua fasilitas rehabilitasi lagi.
Perang melawan narkoba ini harus serius karena, kata Choi, harga obat-obatan menjadi lebih murah dan lebih mudah diperoleh karena tersedia di media sosial dan peningkatan perjalanan ke luar negeri. Di Seoul saja, narkoba bisa mudah diperoleh di media sosial dan hanya butuh waktu 30 menit sampai di tangan.
Menurut Kejaksaan Agung Korsel, jumlah orang yang dihukum karena kejahatan narkoba melonjak hingga lebih dari 16.000 orang pada 2021, dari sekitar 12.000 orang pada 2015. Sekitar 60 persen dari mereka yang dihukum karena kejahatan narkoba pada 2021 berusia 39 tahun atau lebih muda. Sementara jumlah pelaku berusia remaja melonjak hingga 44 persen pada 2021 dibandingkan tahun 2020.
Volume obat-obatan terlarang yang disita juga meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi 1,3 ron pada 2021 dan ini angka tertinggi sepanjang sejarah. Sebagian narkoba yang disita itu hasil dari investigasi multinasional terhadap jaringan penyelundupan narkoba.
Obat-obatan yang beredar di Korsel antara lain sabu-sabu, kokain, dan mariyuana yang porsinya sekitar 85 persen. Kini, semakin banyak beredar ganja sintetis dan obat penghilang nyeri seperti fentanyl yang 100 kali lebih kuat daripada morfin.
"Volume yang lebih tinggi dan lebih banyak jenis narkoba diselundupkan dalam berbagai bentuk," kata petugas bea cukai di Bandara Incheon, Lee Kyoung-ran.
Volume obat-obatan terlarang yang disita juga meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi 1,3 ron pada 2021 dan ini angka tertinggi sepanjang sejarah.
Presiden Korsel, Yoon Suk Yeol, menyesalkan Korsel bukan lagi negara yang “bebas narkoba”. Ia lalu memerintahkan langkah-langkah yang lebih keras untuk membasmi para penyelundup narkoba.
Pada saat yang sama, para pecandu yang mencoba untuk lepas dari narkoba butuh bantuan. Putus asa untuk bebas dari sabu-sabu, Lee Dong-jae (23), beruntung bertemu dengan Choi tahun lalu.
Choi menawarkan konseling dan tempat tinggal gratis di pusat rehabilitasi serta memberi Lee pekerjaan di restoran milik istri Choi. “Saya tidak pernah punya pekerjaan atau bisa hidup normal seperti sekarang sejak memakai narkoba. Tetapi sekarang saya mulai bisa hidup normal seperti orang lain,” kata Lee. (REUTERS/LUK)