”Pandemi” Budaya Membangun Ekonomi Korea Selatan
Ekspor industri hiburan negeri Ginseng tahun 2018 mencapai 1,15 miliar dollar AS, setara enam kali lipat total ekpor Indonesia.
Melalui budaya pop, Korea Selatan berhasil menciptakan "pandemi" bisnis hiburan yang membawa negara tersebut menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.
Minat masyarakat dunia terhadap gelombang budaya pop Korsel, membuka celah ekspor budaya dan konten kreatif dari negara tersebut. Drama seri dan film adalah contoh konten kreatif asal Korea Selatan yang sangat diminati dunia.
Akhir tahun 1990-an menjadi titik awal masyarakat dunia mengenal drama dan film asal Korea Selatan melalui televisi. Sejumlah lembaga statistik di Korsel mencatat adanya lonjakan pertumbuhan ekspor konten kreatif Negeri Ginseng itu.
Salah satunya adalah Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan. Menurut catatan mereka, tahun 1995 Korsel berhasil mengekspor program siaran (broadcast program) senilai 5,5 juta dollar AS. Berdasarkan genre program, produksi drama menyumbang sebagian besar ekspor.
Baca Juga: Pandemi “Hallyu” Budaya Korea Selatan
Ekspor Meningkat
Kemajuan teknologi dan internet membuat akses terhadap drama dan film Korea Selatan semakin mudah. Permintaan akan karya film maupun drama seri Korsel pun semakin meningkat.
Satu dekade berselang, ekspor broadcast program itu telah meningkat lebih dari 10 kali lipat. Tahun 2004, nilai ekspornya mencapai 71,46 juta dollar AS. Tahun berikutnya, peningkatan semakin masif menjadi 123,49 juta dollar AS, hampir dua kali lipat tahun sebelumnya.
Peningkatan tersebut salah satunya terjadi karena meledaknya tayangan drama seri berjudul Winter Sonata pada tahun 2003. Drama romansa yang merupakan seri kedua dari drama berjudul Endless Love itu bisa dikatakan sebagai penanda keberhasilan drama seri Korea Selatan.
Saking melegendanya, para pebisnis bahkan sampai membuat monumen untuk mengabadikan romantisme pemeran utama drama seri 20 episode tersebut. Monumen itu didirikan di Kawasan Pulau Nami, salah satu lokasi yang paling berkesan dari drama yang dibintangi oleh Bae Yong Joon dan Choi Ji Woo itu.
Baca Juga: Pandemi, Di Rumah Saja, “Mager” dan “Baper” Drama Korea Selatan
Kesuksesan drama dan perfilman Korea Selatan tidak hanya berhenti di situ. Popularitasnya semakin menguat seiring tumbuhnya beragam platform yang menyajikan siaran konten Korea Selatan. Tak heran jika nilai ekspornya terus meningkat.
Dalam publikasi Oxford Economics disebutkan, nilai ekspor film dan pertelevisian Korea Selatan tahun 2018 mencapai 584,60 juta dollar AS. Nilai itu bahkan lebih besar dari ekspor alas kaki serta ekspor gula dan biskuit, dengan besaran masing-masing 496,02 juta dollar AS dan 327,73 dollar AS.
Nilai ekspor sektor film dan pertelevisian Korsel yang tumbuh pesat, berdampak pula pada terbukanya lapangan kerja. Masih merujuk Oxford Economics, industri film dan pertelevisian mampu menyerap 78.010 tenaga kerja pada tahun 2018.
Secara lebih luas, industri tersebut mampu memberi lapangan kerja bagi 315.400 orang dari dampak rantai nilai seluruh rangkain produksi film dan pertelevisian (multiplier effect).
Dampak ekonomi dari sektor film dan pertelevisian Korsel juga tecermin nyata dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto. Nilainya PDB Korea Selatan dari sektor film dan pertelevisian mencapai 7,53 miliar dollar AS pada tahun 2018, atau setara 18,45 miliar dollar AS jika dihitung dengan multiplier effect-nya.
Konten Budaya
Peningkatan drastis bukan hanya terjadi pada ekspor konten drama atau tayangan televisi. Musik pop juga menjadi salah satu konten kreatif Korea Selatan yang tak kalah memikat bagi masyarakat dunia.
Merujuk data yang dihimpun Statista, ekspor industri musik Negeri Ginseng itu mencapai 83,26 juta dollar AS pada tahun 2010. Angka tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Hingga tahun 2018, nilai ekspor musik Korsel tumbuh tujuh kali lipat menjadi 564,24 juta dollar AS.
Adalah Gangnam Style, sebuah single K-Pop (sebutan untuk musik Korea Selatan) yang menjadi salah satu tonggak popularitas industri musik negeri Ginseng. Lagu yang dirilis pada tahun 2012 dengan sajian tarian unik dan enerjik tersebut, ditonton lebih dari 21 juta kali sampai dengan hari ini melalui platform Youtube.
Selain Gangnam Style, grup band Bangtan Boys (BTS), Super Junior, BlackPink, dan puluhan grup lainnya juga sangat digemari masyarakat dunia, khususnya kalangan remaja dan milenial. Secara keseluruhan, ekspor konten budaya Korea Selatan tahun 2018 sebesar 9,61 miliar dollar AS.
Jumlah tersebut terus bertambah menjadi 10,36 miliar dollar AS tahun 2019. Angka fantastis itu tak lepas dari kesetiaan para penggila gelombang Korea yang disebut Hallyu.
Dilansir dari Korea Selatan Times, hingga Desember 2019 terdapat 1.799 klub penggemar Hallyu dengan jumlah penggemar sebanyak 99,32 juta orang. Minat terhadap Hallyu tumbuh karena peningkatan distribusi dan konsumsi konten Korea Selatan Selatan melalui Youtube, Netflix, Viu, dan sejumlah platform digital lainnya.
Pariwisata “Hallyu”
Popularitas konten Korea Selatan dan loyalitas para penggemarnya tak hanya berdampak pada tingginya pendapatan Korsel dari ekspor konten-konten tersebut. Keterikatan kuat para penggemar Hallyu terhadap Korea Selatan, membuat mereka lebih memilih produk keluaran Korsel dibanding keluaran dari negara lain.
Produk-produk tersebut antara lain alat elektronik, kendaraan, hingga fashion. Fanatisme penggemar hallyu tidak hanya berhenti pada produk yang mereka gunakan. Pengenalan mereka akan Korea Selatan Selatan dan budayanya tidak cukup hanya dengan menonton drama seri dan mendengarkan musiknya.
Tidak sedikit dari para penggemar hallyu yang ingin merasakan langsung suasana dan budaya Korea Selatan. Ketertarikan mereka mengunjungi negara tersebut kemudian membuat industri pariwisata Korea selatan tumbuh pesat.
Menurut catatan Organisasi Pariwisata Korea Selatan, jumlah turis asing yang masuk ke Korea Selatan sebanyak 17,50 juta orang pada tahun 2019. Jumlah tersebut terus bertambah dari tahun ke tahun.
Sebelumnya, tahun 2010, pengunjung asing yang datang ke Korsel hanya sebanyak 8,80 juta orang. Artinya, angka wisatawan ke Korsel meningkat lebih dari dua kali lipat hanya dalam satu dekade.
Dari 17,50 juta pengunjung tersebut, dua per tiga tujuan kunjungannya adalah untuk berwisata. Pengunjung terbanyak datang dari China, Jepang, Taiwan, dan Amerika.
Kini, Korsel memetik hasil nyata dari keseriusannya membangun bisnis budaya pop. Secara nyata, Korsel telah mampu bangkit dari keterpurukan akibat perang Korea.
Masa kelam Korsel akibat kolonialisme dan perang Korea tergambar dari besaran pendapatan nasional pasca peristiwa itu. Merujuk data yang dihimpun Bank Dunia, produk domestik bruto (PDB) Korsel secara nasional menduduki peringkat ke-32 secara global pada tahun 1960.
Pendapatan sebesar 3,9 miliar dollar AS itu membawa posisi Korsel jauh di bawah Filipina. Negara lumbung padi tersebut menduduki posisi terbesar ke-21 dengan nilai PDB sebesar 6,68 miliar dollar AS, hampir dua kali lipat dari Korsel. Filipina menjadi salah satu negara Asia dengan pendapatan nasional yang cukup besar pada masa itu, selain China, Jepang, dan India.
Namun, seiring berjalannya waktu Korsel terus berbenah dan menghasilkan buah. Memasuki abad ke-21, pendapatan nasional Korea Selatan Selatan terus meningkat. Hingga pada tahun 2000, Korsel mampu menduduki peringkat ke-13 negara dengan PDB terbesar di dunia. Dengan pendapatan sebesar 576, 18 miliar dollar AS itu, Korsel mampu mengalahkan posisi Belanda, Australia, hingga India.
Data termutakhir dari Bank Dunia menunjukkan, kedudukan Korsel terus meningkat. Tahun 2019, Korsel berhasil menaiki tangga berikutnya dan menduduki peringkat ke-12 negara dengan pendapatan terbesar. Kini, Korea Selatan Selatan masuk pada kelompok G20, yakni kumpulan 20 negara dengan pendapatan nasional terbesar di dunia.
Keberhasilan tersebut tidak lepas dari peran pemerintah yang mendukung popularitas Korea Selatan di mata dunia melalui konten budaya. Kekuatan soft power yang dimiliki Korsel juga turut berperan penting.
Di sisi lain, Korea Selatan juga memiliki desain pemasaran yang jelas dan terarah melalui K-Brand. Mereka mengemas industri hiburan melalui K-Drama, K-Pop, dan K-Beauty menjadi lebih mudah dikenali konsumen.
Berbekal khasanah budaya yang jauh lebih kaya, Indonesia sebenarnya bisa melampaui Korea Selatan. Sungguh disayangkan, strategi cerdik yang dibarengi dengan kesadaran kolektif dan solid belum mampu terwujud di negeri ini.
(LITBANG KOMPAS)