Perdamaian tidak terwujud dengan sendirinya. Manusia harus mengupayakannya dengan menjalin komunikasi dan sikap saling percaya. Seberat apa pun prosesnya, itulah cara bermartabat untuk mewujudkan perdamaian dunia.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·3 menit baca
Mengapa manusia tidak memilih saja untuk berdamai? Mengapa ”tombol” perang harus dipicu? Pertanyaan-pertanyaan itu seolah terasa naif, apalagi bila dihadapkan pada peribahasa Latin yang berbunyi, Si vis pacem, para bellum. Artinya lebih kurang, jika mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk berperang. Sejarah pun mencatat, untuk memaksa Jepang menyerah dalam Perang Dunia II, Amerika Serikat menjatuhkan dua bom atom, satu di Hiroshima dan satu lagi di Nagasaki.
Untuk pertama kalinya, bom berdaya hancur massal itu digunakan. Jepang pun takluk. Namun, setelah itu, bom- bom berbasis reaksi fusi terus dikembangkan. Kekuatannya pun beribu kali lipat. Jika ”Fat Man”—bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki—berkekuatan 15 kiloton, saat ini Rusia—salah satu pemilik senjata nuklir—memiliki rudal nuklir berkekuatan hingga 50 megaton.
Dalam perspektif era kini, para pemilik senjata nuklir dunia mendaku bahwa pengembangan itu sejatinya untuk meningkatkan ”daya tawar”. Sebagai kekuatan pengimbang. Dengan alasan Washington menempatkan rudal-rudal nuklirnya di sejumlah negara NATO, Rusia pun kini mulai menyebar hulu ledak nuklir taktis di Belarus. Sementara itu, ada pula alasan, meskipun turut mengembangkan senjata nuklir, China, misalnya, tidak akan menggunakannya sebagai bagian dari first strike.
Meskipun demikian, apa pun alasannya, senjata pemusnah massal dan perdamaian adalah ironi. Alih-alih membangun sikap saling percaya, manusia justru ”mengasah senjata” untuk berjaga-jaga.
Fakta ini memperlihatkan bahwa harapan manusia pada perdamaian—yang diinginkan oleh setiap orang—ternyata dihadapkan pada ketidakpastian. Manusia harus mengupayakannya karena perdamaian tidak pernah mewujud dengan sendirinya. Merujuk pada pengalaman hidupnya, sebagai makhluk yang menyejarah, ada banyak kemungkinan terjadi dalam relasi antarmanusia.
Ironi menunjukkan pula bahwa ada fakta berbeda dari fakta atau gagasan yang dimaui oleh seseorang. Di sisi lain, ironi juga memperlihatkan adanya kesadaran tentang yang lain. Lantas? Sejarah pun mencatat, manusia berkomunikasi, mencari titik temu, mencari jalan keluar agar ”kesadaran tentang yang lain” itu membuahkan hal yang baik bagi kesejahteraan umat manusia.
Tentang senjata nuklir, lahirlah kesepakatan mengenai penghapusan dan pembatasan jumlah hulu ledak. Lahir kesepakatan untuk saling mengomunikasi pemindahan dan pengembangan senjata nuklir.
Dalam konteks lain, seperti isu Laut China Selatan dan Asia-Pasifik, ada pembahasan tentang kode tata perilaku dan inisiatif sebagaimana dikembangkan oleh ASEAN, yaitu ASEAN Outlook of Indo-Pacific. Alih-alih mengedepankan kekuatan fisik, apalagi militer, mekanisme itu membuka ruang bagi semua untuk menjalin komunikasi. Karena prinsip dasarnya, sebagaimana berkali-kali ditegaskan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi, adalah inklusif. Semua dapat terlibat dengan posisi yang setara.
Ruang-ruang itu memungkinkan ”yang kuat” tidak menjadi semena-mena untuk memaksakan gagasannya. Ruang-ruang itu memungkinkan setiap pihak ”meredakan kontras” dan membangun solidaritas.
Upaya-upaya itu, sebagaimana disebutkan, tentu tidak berjalan dengan sendirinya, tetapi diupayakan bersama. Sejatinya, itu pula yang diharapkan menjadi jalan keluar dari beragam krisis di dunia saat ini, di antaranya perang di Ukraina, konflik Israel-Palestina, termasuk krisis politik di Myanmar.
Paus Fransiskus, saat menyampaikan pesan untuk Kota dan Dunia, Urbi et Orbi, Minggu (9/4/2023), di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, menegaskan kembali pentingnya membangun sikap saling percaya. Inti pesan Paus adalah kesanggupan dan kemauan manusia menjalin komunikasi dan sikap saling percaya. Seberat apa pun prosesnya, itulah cara bermartabat untuk mewujudkan perdamaian dunia.