Jaringan pengolah transaksi dollar Amerika Serikat jauh lebih luas dibandingkan pengolah transaksi valuta asing lain. Pasar belum menemukan mekanisme transaksi sekuat pengolah dollar Amerika Serikat.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren meninggalkan dollar Amerika Serikat sebagai sarana transaksi meluas ke ASEAN. Keputusan ASEAN mirip dengan sejumlah negara di beberapa kawasan lain yang memprioritaskan penggunaan mata uang internal untuk transaksi bilateral.
Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi mengatakan, Indonesia berusaha terus mewujudkan tema kepemimpinannya di ASEAN. Tema itu adalah ”ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”. ”Untuk pilar Epicentrum of Growth, beberapa prioritas sedang dibahas dalam tiga bulan terakhir,” ujarnya, Rabu (5/4/2023), di Jakarta.
Bentuknya antara lain upaya penguatan stabilitas keuangan kawasan. Penguatan antara lain melalui penggunaan mata uang negara ASEAN dalam transaksi perdagangan dan konektivitas mekanisme pembayaran di kawasan ASEAN.
”Dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Bank Sentral ASEAN, disepakati komitmen negara ASEAN untuk menggunakan mata uang lokal dan perluasan konektivitas mekanisme pembayaran (regional payment connectivity) guna memperkuat stabilitas keuangan di kawasan,” ujarnya.
Pengumuman Retno menegaskan, negara-negara anggota ASEAN tidak lagi memprioritaskan penggunaan dollar Amerika Serikat (AS) dan mata uang negara lain di luar kawasan. Pengumuman disampaikan hampir sebulan setelah Presiden Joko Widodo memperingatkan potensi bahaya penggunaan pengolah transaksi yang disediakan negara luar kawasan.
Presiden antara lain mengingatkan, sanksi yang kini ditanggung Rusia dan sejumlah negara tidak lepas dari penggunaan mata uang dan sarana pembayaran asing. Dana ratusan miliaran dollar AS milik Rusia dan banyak negara tidak bisa diakses karena rekeningnya dibekukan AS dan sekutunya.
Pembahasan soal pengurangan dollar AS dilakukan pada pertemuan Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN di Bali pada 31 Maret 2023. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, penggunaan mata uang internal ASEAN bagian dari antisipasi risiko krisis. Kini, risiko krisis keuangan dan ekonomi global terus membesar.
”Langkah ini bisa mendorong ekspor, investasi, hingga memperkuat keseimbangan dan cadangan devisa bisa diperkuat. Diversifkasi mata uang ini inisiatif penting dalam menjaga ketahanan,” ujarnya selepas pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN.
Bank sentral di negara-negara ASEAN tengah mematangkan mekanisme pengolah transaksi yang menggunakan mata uang internal itu. Selain itu, bank-bank sentral ASEAN juga terus memperluas penggunaan kode reaksi cepat sebagai alat pembayaran.
Kode yang dikenal sebagai QRIS di Indonesia itu antara lain sedang coba dihubungkan BI dengan bank di Malaysia, Singapura, dan Filipina. Sejauh ini, BI sudah bersepakat dengan Bank of Thailand. Selanjutnya, akan diperluas pula ke Vietnam, Kamboja, Laos, dan Brunei Darussalam.
Dalam laporan akhir Maret 2023, Financial Times menyoroti era multivalas sebagai alat transaksi global. Selama puluhan tahun, dollar AS mendominasi daftar alat transaksi global. Beberapa tahun terakhir, mata uang negara lain terus membesar porsinya sebagai alat pembayaran untuk transaksi lintas negara.
Dalam pertemuan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping di Moskwa Maret lalu, Rusia setuju memakai yuan sebagai alat pembayaran transaksinya dengan Asia dan Afrika. Brasil dan Perancis juga menerima sebagian transaksi ekspor energinya dalam yuan.
Centre for Economic Policy Research menyimpulkan, penggunaan dollar AS sebagai alat pembayaran lintas negara terus berkurang. Pada 1999, sebanyak 79 transaksi global dibayar dalam dollar AS. Pada 2022, hanya 59 transaksi global dibayar dalam dollar AS. Adapun penggunaan yuan dan euro terus meningkat.
Kondisi perekonomian AS dan rangkaian sanksi AS ke sejumlah negara menjadi alasan pengurangan porsi dollar AS. Apalagi, kini perbankan AS sedang dalam masa krisis. Berbagai kajian menunjukkan, ada simpanan bernilai triliunan dollar AS bisa hilang di ribuan bank AS. Sebab, simpanan itu tidak terjamin. Kehilangan uang sebanyak itu bisa menyulitkan perekonomian warga pemilik simpanan.
Rusia bukan satu-satunya raksasa minyak yang mengurangi dollar AS. Arab Saudi juga sedang menjajaki sebagian ekspor energinya dibayar dengan yuan. Iran malah sudah lebih dulu sepakat memakai yuan.
Pada 1999, sebanyak 79 transaksi global dibayar dalam dollar AS. Pada 2022, hanya 59 transaksi global dibayar dalam dollar AS. Ada pun penggunaan yuan dan euro terus meningkat.
Pengurangan dollar AS dalam transaksi minyak bisa berdampak serius. Sebab, minyak dan gas bumi adalah salah satu komoditas utama yang menopang lalu lintas transaksi dollar AS. Sementara Arab Saudi, Rusia, dan Iran merupakan produsen utama minyak global. Adapun China, bersama India, merupakan konsumen utama energi global.
Dilaporkan Financial Times, sejumlah ekonom mengingatkan sejumlah masalah pemakaian yuan. Sampai sekarang, nilai yuan sepenuhnya dikendalikan Pemerintah China. Sebaliknya, nilai dollar AS, euro, dan mata uang sejumlah negara lain diserahkan kepada pasar.
Selain itu, jaringan pengolah transaksi dollar AS jauh lebih luas dibandingkan pengolah transaksi valas lain. Pasar belum menemukan mekanisme transaksi sekuat pengolah dollar AS. (REUTERS)