Sanksi pada Rusia semakin menyadarkan banyak negara pada bahaya menyimpan aset di bank-bank Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Banyak negara juga semakin sadar bahaya menyimpan aset dalam mata uang dollar AS.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Tumpukan dollar AS di salah satu kantor Bank Mandiri di Jakarta pada April 2018. Pada Maret 2022, pejabat Dana Moneter Internasional memperingatkan peluang dominasi dollar AS tergerus gara-gara sanksi Amerika Serikat dan sekutunya pada Rusia. sanksi pada Rusia semakin menyadarkan banyak negara pada bahaya menyimpan aset di bank-bank AS dan sekutunya. Banyak negara juga semakin sadar bahaya menyimpan aset dalam mata uang AS dan sekutunya.
LONDON, JUMAT — Berbagai sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat dan sekutunya terhadap Rusia bisa terus memukul balik negara-negara itu. Selain krisis energi yang dialami Eropa, pukulan balik itu berupa tergerusnya dominasi dollar AS dalam transaksi internasional.
Wakil Deputi Pertama Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Gita Gopinath memperingatkan peluang penggerusan itu. ”Dollar AS akan tetap menjadi mata yang uang utama. Namun, pasti akan muncul mata uang lainnya. Kita sudah melihat sejumlah negara merundingkan ulang mata uang apa untuk membayar perdagangan di antara mereka,” ujarnya sebagaimana dikutip Financial Times, Kamis (31/3/2022).
Baru-baru ini, India-Rusia tengah menjajaki mekanisme pembayaran transaksi energi antara kedua negara dengan tidak menggunakan dollar AS. Laporan Bloomberg menyebut, Moskwa dan New Delhi juga sudah menjajaki mekanisme pembayaran untuk transaksi energi itu menggunakan SPFS, sistem pengolah transaksi yang dikembangkan bank sentral Rusia sejak 2014.
Moskwa mengembangkan sistem itu setelah menduduki Semenanjung Crimea pada 2015. Setelah menduduki Crimea, AS dan sekutunya mengancam memutus akses Rusia dari SWIFT, sistem pengolah transaksi internasional yang paling luas penggunanya. Kini, sejumlah lembaga Rusia memang sudah dilarang mengakses SWIFT. Akibatnya, ada gangguan rantai pasok karena berbagai komoditas Rusia tidak bisa dijual.
Penggunaan dollar AS dalam transaksi internasional terus berkurang, dari 70 persen menjadi 60 persen dalam 20 tahun terakhir.
Beberapa hari lalu, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengumumkan Rusia hanya akan menerima rubel untuk pembayaran komoditas energinya. AS dan sekutunya menolak memenuhi permintaan itu.
Data IMF menunjukkan, penggunaan dollar AS dalam transaksi internasional terus berkurang. Dari 70 persen menjadi 60 persen dalam 20 tahun terakhir. Sementara mata uang lain terus naik porsinya dalam transaksi internasional.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Tumpukan dollar AS di salah satu kantor Bank Mandiri di Jakarta pada Maret 2018. Pada Maret 2022, pejabat Dana Moneter Internasional memperingatkan peluang dominasi dollar AS tergerus gara-gara sanksi Amerika Serikat dan sekutunya pada Rusia. Sanksi pada Rusia semakin menyadarkan banyak negara pada bahaya menyimpan aset di bank-bank AS dan sekutunya. Banyak negara juga semakin sadar bahaya menyimpan aset dalam mata uang AS dan sekutunya.
Gopinath menyebut, dapat dipahami apabila negara-negara memilih menyimpan mata uang yang paling sering dipakai dalam perdagangan internasionalnya. Fakta itu membuat yuan terus naik penggunaannya. Sebab, China kini menjadi mitra dagang banyak kawasan dan negara.
Sementara pakar kebijakan pasar pada Credit Suisse, Zoltan Pozar, meyakini dollar AS sedang di masa kritis pembalikan perannya. Larangan akses keuangan internasional yang dijatuhkan terhadap Rusia memaksa negara lain semakin memikirkan strategi cadangan devisa. Dari Rusia dan Taliban di Afghanistan, mereka belajar cadangan devisa akan menguap begitu ada masalah geopolitik.
Kementerian Keuangan Rusia mengaku kehilangan akses pada 300 miliar dollar AS aset yang disimpan di negara-negara Asia, Eropa, dan Amerika Utara. Sementara AS membekukan 7 miliar dollar AS dana bank sentral Afghanistan.
Bahkan, Presiden AS Joe Biden mengumumkan akan memberikan separuh dana Afghanistan kepada keluarga korban Peristiwa 11 September 2001. Keputusan sepihak itu memicu kecaman dari berbagai pihak. Mereka menyebut Biden dan AS mencuri dana dari bangsa miskin dan kelaparan.
Ada 41 negara menyepakati penggunaan yuan sebagai alat pembayaran transaksi. Nilainya setara 550 miliar dollar AS.
Sanksi keroyokan oleh AS dan sekutunya terhadap Rusia dan sejumlah negara lain juga bisa menguntungkan China. ”Pembatasan akses Rusia pada sistem keuangan global yang didominasi Barat jelas akan semakin mendorong pendekatan ke China, baik dari segi keuangan maupun perdagangan,” kata ekonom Cornell University, Eswar Prasad.
Mantan Wakil Direktur Pelaksana IMF, Hung Tran, memahami apabila sejumlah negara semakin menjauhi dollar AS dan euro sebagai alat pembayaran dalam transaksi mereka. China, Rusia, dan sejumlah negara lain akan memilih mata uang sendiri dalam perdagangan di antara mereka. Tran, yang juga peneliti pada Atlantic Council, menyebut bahwa ada 41 negara menyepakati penggunaan yuan sebagai alat pembayaran transaksi. Nilainya setara 550 miliar dollar AS.
AFP/JOHANNES EISELE
Tumpukan mata uang China, yuan, di salah satu bank di Shanghai pada Agustus 2018. Porsi yuan sebagai alat pembayaran transaksi internasional semakin meningkat. Pada Maret 2022, pejabat Dana Moneter Internasional memperingatkan peluang dominasi dollar AS tergerus gara-gara sanksi Amerika Serikat dan sekutunya pada Rusia. Sanksi pada Rusia semakin menyadarkan banyak negara pada bahaya menyimpan aset di bank-bank AS dan sekutunya.
ASEAN telah membentuk Chiang Mai Initiative untuk menggunakan mata uang sendiri dalam perdagangan dengan China, Korea Selatan, dan Jepang. Nilainya bisa setara 380 miliar dollar AS per tahun. Nilai itu melebihi separuh perdagangan ASEAN-China yang mencapai 685 miliar dollar AS pada 2020. Adapun nilai total perdagangan ASEAN-AS hanya 362 miliar dollar AS.
Sejumlah negara terus memangkas dollar AS dalam cadangan devisanya. Indonesia mengurangi 2,53 miliar dollar AS dari cadangan devisa 2020. Indonesia memilih menambah cadangan devisa dalam mata uang lain.
Peneliti senior Hudson Institute, Walter Russell Mead, menyebut bahwa sanksi pada Rusia semakin menyadarkan banyak negara pada bahaya menyimpan aset di bank-bank AS dan sekutunya. Banyak negara juga semakin sadar bahaya menyimpan aset dalam mata uang AS dan sekutunya.
Di sisi lain, sanksi AS dan sekutunya pada Rusia menunjukkan pengaruh AS semakin tergerus. Mayoritas negara di Asia-Afrika menolak menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Sebagian, seperti dilakukan India dan Vietnam, mengabaikan ancaman AS dan malah mengintensifkan hubungan dengan Rusia.
Sementara mantan Menteri Keuangan Inggris yang kini jadi ekonom Bruegel Institute, Jim O’Neill, tidak yakin China akan bisa menghadirkan alternatif sistem keuangan global. Sebab, China perlu membiarkan nilai tukar yuan ditentukan pasar jika ingin membuat yuan diterima lebih luas. Sampai sekarang, China tidak mau melakukan itu dan memilih tetap mengendalikan nilai tukar yuan. ”Siapa mau mengambil risiko dengan itu?” katanya. (AFP/REUTERS/RAZ)