ASEAN Ajak Negara Nuklir Teken Perjanjian Bebas Nuklir
Perundingan ASEAN dengan para pemilik senjata nuklir terhenti pada 2012. Sejumlah negara pemilik senjata nuklir menyatakan keberatan atas beberapa bagian protokol itu.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
KAKARTA, KOMPAS — Terhenti lebih dari 10 tahun, ASEAN akan kembali memulai perundingan penandatangan protokol perjanjian kawasan bebas nuklir. ASEAN mengajak negara-negara pemilik senjata nuklir menandatangani protokol itu.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, ada sejumlah isu terkait perwujudan ASEAN Matters. ”Beberapa isu juga masih terus menjadi prioritas dan sedang dibahas terus-menerus,” ujarnya, Rabu (5/4/2023), di Jakarta.
Salah satunya soal protokol Traktat Asia Tenggara sebagai Kawasan Bebas Nuklir (SEANWFZ Treaty). Perundingan ASEAN dengan para pemilik senjata nuklir terhenti pada 2012. Ada sejumlah kendala yang memicu penghentian perundingan itu.
Sejumlah negara pemilik senjata nuklir menyatakan keberatan terhadap beberapa bagian protokol tersebut. Selain itu, belum ada kejelasan apakah para pemilik harus meneken bersama atau mengaksesi secara mandiri.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN 2022 akhirnya disepakati, pemilik senjata nuklir bisa meneken traktat itu secara terpisah. Kesepakatan itu salah satu modal penting untuk melanjutkan lagi perundingan yang terhenti lebih dari satu dekade lalu itu.
Pengumuman Retno diungkap hampir sebulan setelah Amerika Serikat dan Inggris memastikan akan menjual setidaknya tiga kapal selam bertenaga nuklir (SSN) ke Australia. Dalam pengumuman pada 13 Maret 2023 itu, London-Washington juga mengindikasikan Canberra bisa memesan tambahan dua SSN. Penjualan itu bagian kesepakatan aliansi militer yang dikenal sebagai AUKUS.
Diumumkan pada September 2021, AUKUS menjadi salah satu tantangan serius perwujudan kawasan bebas nuklir Asia Tenggara. Selama ini, AS adalah salah satu negara yang rutin membawa aneka senjata dan pengangkut persenjataan nuklirnya ke sekitar Asia Tenggara. Washington telah mengumumkan akan rutin menempatkan pesawat B-52 Stratofortress di Australia. Pesawat itu bisa mengangkut bom nuklir dan rudal balistik yang dipasangi hulu ledak nuklir.
Aksesi
Sejauh ini, China menjadi satu-satunya pemilik senjata nuklir yang telah mengumumkan siap meneken protokol SEANWFZ Treaty. Beberapa pekan setelah AUKUS diumumkan, Presiden China Xi Jinping kembali menyatakan kesiapan Beijing meneken protokol itu.
Sementara kala menerima Sekretaris Jenderal ASEAN Kim Koa Hurn pada 27 Maret 2023 di Beijing, Menlu China China Qin Gang kembali mengulangi sikap itu. ”China berniat memelopori penandatanganan protokol Traktat Asia Tenggara sebagai Kawasan Bebas Nuklir, serta berdampingan dengan ASEAN untuk solidaritas dan kerja sama yang menguntungkan untuk menjaga kestabilan dan keamanan kawasan,” tutur Qin.
Sejak proses perundingan protokol dimulai bertahun-tahun lalu, Beijing memang sudah menyatakan kesiapan menekennya. Karena proses perundingan terhenti, China tidak menandatangani protokol SEANWFZ. ”Sejak 20 tahun lalu, China salah satu mitra ASEAN yang yang paling awal mengaksesi Traktat Persahabatan dan Kerja Sama ASEAN. Sekarang, jika bergabung dengan protokol (SEANWFZ), China akan menjadi contoh bagus bagi negara lain, khususnya negara pemilik senjata nuklir,” kata Direktur Kajian Asia Tenggara pada Chinese Academy of Social Sciences Xu Liping kepada Global Times.
Pengamat militer China Song Zhongping menyebut, sulit melepaskan sikap China soal protokol itu dengan pembentukan AUKUS. ”Hal yang paling mungkin dilakukan AUKUS adalah penyebaran senjata nuklir di kawasan, menjadikan Asia Tenggara sebagai tempat latihan penggunaan senjata nuklir dan zona perlombaan senjata,” ujarnya kepada Global Times.
China memandang amat penting memastikan kedamaian Asia Tenggara. Lebih penting lagi memastikan Asia Tenggara bebas dari senjata nuklir.
Manuver diplomasi
Pakar keamanan dari India, Niranjan Chandrashekhar Oak, mengingatkan bahwa China tidak meneken SEANWFZ Treaty pada 1995. Meski terlibat perundingan protokol sejak awal, China tidak kunjung menandatangani, apalagi meratifikasi dan mengaksesinya. ”Baru sekarang China merasa penting untuk meneken traktat itu,” kata peneliti pada Manohar Parrikar Institute for Defence Studies and Analyses (MP-IDSA) di New Delhi itu.
Memang, dulu bukan isu nuklir yang menghambat China meneken SEANWFZ. Beijing keberatan dengan penegasan batas-batas geografis Asia Tenggara. Sampai sekarang, Beijing masih terus bersengketa dengan sejumlah negara ASEAN soal batas wilayah.
Dengan menyatakan persetujuan menandatangani protokol, China berusaha menunjukkan kepada kawasan bahwa Beijing siap berdialog. Manuver itu ditunjukkan kala AS meningkatkan kehadiran militernya di kawasan. Bahkan, AS akan punya hingga sembilan pangkalan militer di Filipina. Sebagian pangkalan itu berhadapan dengan lokasi-lokasi yang disengketakan Manila dengan Beijing.
Kalaupun kini mau menekennya, China sedang berusaha menunjukkan diri sebagai anak baik di kawasan. Xi sedang berusaha menunjukkan kepada kawasan bahwa China bukan pengacau di Asia Tenggara. Sebab, Beijing malah mendukung traktat yang diinisiasi ASEAN. ”Manuver China tidak lebih dari upaya simbolis daripada upaya mengubah tatanan keamanan kawasan,” kata Oak.
Ia memandang penandatanganan protokol itu tidak akan menghentikan pengembangan senjata nuklir China atau negara lain. Sebab, SEANWFZ secara jelas menegaskan larangan hanya berlaku di wilayah Asia Tenggara. China, Australia, apalagi AS dan Inggris, jelas bukan bagian Asia Tenggara.
Hal lain, di antara pemilik senjata nuklir, hanya China yang tidak akan menjadi pengguna pertama senjata nuklir untuk menyerang pihak lain. Rusia dan AS, pemilik terbanyak hulu ledak nuklir, memastikan siap menyerang lebih dulu dengan nuklir jika merasakan ancaman.
Oak juga mengingatkan, SEANWFZ tidak melarang kapal dan pesawat negara pemilik senjata nuklir melewati perairan Asia Tenggara. Syaratnya, kapal dan pesawat itu dalam mode normal dan misi perdamaian. ”Traktat itu tetap mengizinkan kapal bersenjata nuklir melewati perairan Asia Tenggara,” ujarnya. (AFP/REUTERS)