Malaysia Siap Berunding dengan China Soal Laut China Selatan
Malaysia siap negosiasi dengan China terkait isu sengketa wilayah di Laut China Selatan. Sebelumnya China juga mengisyaratkan hal itu sekaligus mendorong kode tata perilaku di Laut China Selatan.
KUALA LUMPUR, SENIN - Malaysia siap berunding dengan China terkait sengketa maritim di Laut China Selatan. Dari perspektif Malaysia, langkah itu diarahkan untuk melindungi upaya eksplorasi energi Malaysia. Dikutip Kantor Berita Malaysia, Bernama, Senin (3/4/2023), Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim mengungkapkan, isu LCS menjadi salah satu topik pembicaraan antara dirinya dan Presiden China Xi Jinping beserta Perdana Menteri China Li Qiang, pekan lalu.
”Di daerah itu ada klaim serupa dari China. Saya bilang (kepada mereka), sebagai negara kecil yang butuh sumber minyak dan gas, kita harus jalan terus. Namun, kalau syaratnya harus ada negosiasi, kita siap untuk bernegosiasi,” kata Anwar.
Baca juga: Meredam Bara di Laut China Selatan
Sebagaimana diketahui, China mengklaim kedaulatan atas sekitar 90 persen wilayah LCS. Klaim atas wilayah LCS itu tumpang tindih dengan wilayah yang juga diklaim oleh Malaysia, Brunei, Filipina, Taiwan, dan Vietnam. Klaim China atas wilayah LCS —ditandai dengan sembilan garis putus— dianggap tidak berdasar dan ditolak oleh banyak negara. Putusan Mahkamah Arbitrase pada 2016 memperkuatnya.
Saat ini Petronas, BUMN energi milik Malaysia, mengoperasikan ladang minyak dan gas di zona ekonomi eksklusif Malaysia di kawasan Laut China Selatan. Dalam beberapa waktu terakhir, dilaporkan kapal-kapal China kerap lalu lalang di dekat proyek gas lepas pantai milik Malaysia itu. Malaysia memprotes tindakan tersebut.
Pada tahun 2021, Malaysia memanggil duta besar China untuk menyatakan protes terhadap perambahan perairannya oleh kapal-kapal China. Sebelumnya, pada tahun 2020, kapal survei China sempat berhadapan selama sebulan dengan kapal eksplorasi minyak yang dikontrak Petronas.
Upaya negara-negara Asia Tenggara lain untuk bernegosiasi dengan China atau bersama-sama melakukan aktivitas energi sampai sekarang gagal membuat terobosan. Laporan lembaga kajian Amerika Serikat, Inisiatif Transparansi Maritim Asia (AMTI), pekan lalu, menyebutkan, sebuah kapal penjaga pantai China selama sebulan terakhir beroperasi di dekat pengembangan gas Kasawari Petronas di lepas pantai Negara Bagian Sarawak.
Ladang gas Kasawari diperkirakan memiliki cadangan gas sebesar 3 triliun kaki kubik dan kemungkinan akan mulai beroperasi pada tahun ini. Adapun kapal penjaga pantai China, CCG 5901, merupakan kapal penjaga pantai terbesar di dunia yang terakhir diketahui aktif berada di ladang gas Blok Tuna Indonesia dan ladang minyak dan gas Chim Sao, Vietnam.
Sikap China
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, mengatakan, mereka tidak mengetahui insiden yang dimaksud Malaysia, tetapi yang jelas penjaga pantai China sudah beroperasi di dalam yurisdiksi China dan tidak ada yang keliru dengan operasi mereka.
Harian South China Morning Post, Minggu (2/4), menyebutkan, China sudah mendorong pembicaraan tentang kode tata perilaku (code of conduct/CoC) untuk mengelola sengketa di LCS sambil berkomitmen memperkuat hubungan dengan Malaysia. Li mengatakan, kedua negara, bersama dengan negara lain yang terlibat dalam sengketa LCS, harus mendorong pembicaraan tentang kode etik untuk ”memastikan perdamaian dan stabilitas” di kawasan itu.
Baca juga: Indonesia Tekankan Kode Panduan Laut China Selatan
”Kerja sama yang saling menguntungkan adalah satu-satunya pilihan yang tepat untuk kami,” kata Li.
Perundingan antara China dan Perhimpunan Bangsa- Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tentang CoC sudah berlangsung selama lebih dari 20 tahun. Akan tetapi, hingga saat ini prosesnya masih alot. Bahkan, saat pandemi Covid-19 merebak, pembicaraan tersebut tidak berkembang.
Pada Agustus 2021, Menteri Luar Negeri China saat itu, Wang Yi, mengisyaratkan kesiapan China untuk melanjutkan negosiasi untuk pertama kalinya sejak pandemi. Menurut Ding Duo, peneliti di Institut Nasional untuk Studi LCS, perkembangan negosiasi diperkirakan semakin cepat dengan putaran terakhir pembicaraan di Indonesia, bulan lalu.
Dalam artikel untuk Global Times, Ding menekankan negara-negara yang merundingkan persyaratan harus memastikan CoC itu berfokus pada manajemen krisis dan bukan konsolidasi hak dan klaim. ”Jika terjadi perselisihan, harus dikelola dengan standar dan mekanisme yang ditetapkan dalam dokumen,” tulisnya.
CoC diharapkan selaras dan mematuhi konvensi PBB tentang hukum laut, prinsip-prinsip hukum internasional dalam Piagam PBB, serta memperlakukan semua pihak yang berkepentingan secara setara.
Langkah Filipina
Terkait dengan isu LCS, Filipina mengumumkan lokasi empat pangkalan militer tambahan yang akan digunakan oleh pasukan Amerika Serikat. Salah satu lokasi berada di dekat LCS dan satu pangkalan berada tak jauh dari Taiwan.
Baca juga: Membaca Ambisi China di Tengah Militerisasi Laut China Selatan
Pada Februari lalu, Filipina dan AS sepakat memperluas kerja sama strategis demi mengantisipasi meluasnya pengaruh China di kawasan. Kesepakatan itu memberi ruang kepada Washington mendapatkan akses untuk membangun lima pangkalan militer di wilayah Filipina. Kini, aksesnya ditambah lagi dengan empat pangkalan.
Saat ini Manila tengah berunding dengan pemerintah daerah di mana pangkalan-pangkalan baru akan dibangun. Bagi angkatan bersenjata Filipina, empat lokasi pangkalan tambahan itu dinilai sesuai dan saling menguntungkan.
Direncanakan, pangkalan tambahan itu akan digunakan untuk kepentingan misi kemanusiaan dan penyaluran bantuan ketika terjadi bencana. Seorang pejabat AS menyebutkan, ada tiga lokasi pangkalan tambahan yang akan berada di wilayah Filipina utara, yakni Pangkalan Angkatan Laut dan Bandara Santa Ana di Provinsi Cagayan, berjarak sekitar 400 kilometer dari Taiwan; sebuah kamp tentara di Provinsi Isabela; dan satu lagi di Pulau Balabac di ujung selatan Pulau Palawan. (AFP/REUTERS)