AS-Rusia Putus Hubungan Informasi soal Pergerakan Rudal dan Nuklir
AS dan Rusia sudah tak lagi berbagi informasi tentang pergerakan rudal dan nuklirnya. Dengan demikian, mobilitas rudal dan nuklir akan sulit dideteksi sehingga berisiko tinggi.
Amerika Serikat dan Rusia tidak lagi saling berbagi informasi mengenai perkembangan dan penggunaan rudal dan nuklir masing-masing. Hal ini membuat stabilitas keamanan berada di situasi yang tak terprediksi.
Kedua negara adidaya nuklir itu tak lagi berbagi data setelah Rusia menangguhkan partisipasi dari perjanjian pengurangan dan pembatasan persenjataan nuklir atau Strategic Arms Reduction Treaty yang disebut New START. Kebijakan ini diambil Rusia sebagai langkah strategisnya dalam situasi perang Ukraina di mana Amerika Serikat (AS) berada di belakang Ukraina.
”Tidak akan ada pemberitahuan sama sekali. Semua jenis pemberitahuan dan aktivitas dalam kerangka perjanjian itu akan ditangguhkan,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov, Rabu (29/3/2023).
Baca juga: Narasi Baru Putin soal Eksistensi Bangsa Rusia vs Kemampuan Nuklir NATO
AS dan Rusia saling bertukar informasi dan pemberitahuan tentang peluncuran uji coba rudal balistik sejak era Perang Dingin. Jika keduanya tak lagi saling berbagi informasi, pergerakan rudal dan nuklir tidak akan terdeteksi.
Situasi ini cenderung menggiring eskalasi yang berbahaya. Padahal, AS dan Rusia memiliki hampir 90 persen dari total hulu ledak nuklir yang ada di seluruh dunia.
Sesuai perjanjian New START, kedua pihak saling berbagi data kondisi terkini rudal dan nuklir setiap enam bulan sekali. Keduanya juga bertukar informasi dan pemberitahuan sebelumnya jika akan melakukan uji coba rudal dan menyebarkan senjata nuklir mereka.
Mekanisme saling berbagi informasi itu menjadi elemen penting untuk menjaga stabilitas strategis selama beberapa dekade. Ini juga memungkinkan Rusia dan AS untuk menafsirkan langkah masing-masing dan memastikan tidak ada negara yang salah melakukan uji coba serangan rudal.
Dari pihak Rusia, penangguhan New START merupakan langkah strategis sekaligus praktis. Dalam situasi perang Ukraina, Rusia tak ingin mekanisme itu dimanfaatkan oleh AS untuk menggali informasi yang pada gilirannya digunakan untuk mengalahkan Rusia.
Dari pihak Rusia, penangguhan New START merupakan langkah strategis sekaligus praktis.
Perkembangan terbaru bahkan langsung menunjukkan relevansi langkah Kremlin itu bagi misi Rusia dalam perang di Ukraina. Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan akan menempatkan senjata nuklir taktis ke wilayah Belarus, menyusul Kementerian Dalam Negeri Inggris yang menyatakan akan mengirim amunisi berlapis uranium sisa ke Ukraina.
Meski tak mau lagi berbagi informasi, Putin menyatakan bukan berarti pihaknya menarik diri sepenuhnya New START. Rusia akan terus menghormati batasan senjata nuklir yang ditetapkan dalam perjanjian itu.
Baca juga: Ingin Rundingkan Senjata dengan Rusia, Target Utama AS Tetap Menghadang China
Perjanjian New START yang ditandatangani pada 2010 oleh Presiden AS Barack Obama dan Presiden Rusia Dmitry Medvedev itu membatasi jumlah hulu ledak nuklir strategis yang bisa diluncurkan kedua negara. Berdasarkan ketentuan, AS dan Rusia bisa mengerahkan tidak lebih dari 1.550 hulu ledak nuklir strategis dan 700 rudal dan pengebom berbasis darat dan kapal selam untuk mengirimkannya.
Di dalam perjanjian yang akan berakhir pada 2026 itu, masing-masing pihak menyediakan deklarasi kendaraan pengiriman strategis, peluncur, dan hulu ledak yang dikerahkan. Termasuk pula di dalamnya perincian jumlah hulu ledak yang dikerahkan di tiga jenis kendaraan pengiriman berbasis udara, laut, dan darat. Masing-masing juga merinci berapa banyak kendaraan pengiriman strategis dan hulu ledak yang dikerahkan di setiap pangkalan yang diumumkan.
Wakil juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Vedant Patel, mengatakan, pemerintahan Presiden AS Joe Biden sudah mengetahui pernyataan Ryabkov itu. Namun, Washington belum ”menerima pemberitahuan yang menunjukkan perubahan”.
Ia mengaku AS khawatir dengan perilaku Rusia yang ia sebut sombong. ”Rusia belum sepenuhnya mematuhi dan menolak untuk membagikan data yang kami sepakati di New START untuk dibagikan dua kali setahun. Karena mereka menolak untuk mematuhi, kami memutuskan tidak membagikan data,” kata Koordinator Komunikasi Strategis Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby.
Washington belum menerima pemberitahuan yang menunjukkan perubahan.
Williams, Direktur Proyek Masalah Nuklir di Pusat Kajian Strategis dan Internasional, lembaga kajian di Washington, AS, juga menilai retorika Rusia mengkhawatirkan, tetapi sesuai dengan pola perilaku yang terkait dengan Ukraina.
”Mereka menggunakan senjata nuklir untuk meningkatkan volume pada banyak kegiatan mereka yang lain, dan (penangguhan) perjanjian pengendalian senjata itu hanyalah cara terbaru bagi Rusia untuk mencoba mencapai tujuannya di Ukraina,” ujarnya.
Yang lebih memprihatinkan, kata Williams, ialah runtuhnya perjanjian NEW START telah menyebabkan berkurangnya komunikasi antara Washington dan Moskwa yang bisa berisiko tinggi. ”Salah satu tragedi terbesar dari kerusakan di perjanjian NEW START adalah hilangnya saluran komunikasi,” ujarnya.
Selain saling berbagi informasi, perjanjian itu juga mensyaratkan inspeksi untuk memastikan kepatuhan. Inspeksi itu ditunda sejak 2020 karena pandemi Covid-19. Diskusi untuk melanjutkannya seharusnya dilakukan pada November 2022, tetapi Rusia tiba-tiba membatalkan dengan alasan AS mendukung Ukraina.
Setelah tak mau berbagi data, Rusia melakukan latihan militer, Rabu, dengan mengerahkan peluncur rudal bergerak Yars yang bermanuver di tiga wilayah Siberia. Kementerian Pertahanan Rusia menyebutkan, di dalam latihan itu juga dilakukan langkah-langkah untuk menyembunyikan pergerakan militer dari satelit asing dan aset intelijen lainnya.
Baca juga: Rusia yang Terdesak dan Ancaman Perang Nuklir (II-Habis)
Yars adalah rudal balistik antarbenua dengan hulu ledak nuklir yang memiliki daya jangkau sekitar 11.000 kilometer. Rudal ini menjadi andalan pasukan rudal strategis Rusia. Sebuah rekaman video dari Rusia menunjukkan truk-truk membawa rudal.
Ada sekitar 300 kendaraan dan 3.000 tentara Rusia yang ikut latihan. Latihan ini seakan ingin menegaskan pernyataan Putin bahwa Rusia siap menggunakan segala cara untuk menangkis serangan di wilayah Rusia.
”Rusia sudah sabar dan tidak berusaha menakut-nakuti siapa pun dengan keunggulan militer yang ada. Tetapi, Rusia punya senjata modern unik yang mampu menghancurkan musuh mana pun, termasuk AS, jika ada yang mengancam Rusia,” kata Sekretaris Dewan Keamanan Rusia Nikolai Patrushev. (REUTERS/AFP/AP)