Ingin Rundingkan Senjata dengan Rusia, Target Utama AS Tetap Menghadang China
Keinginan AS menarik China ke perundingan pembatasan senjata makin besar setelah, Oktober 2019, untuk pertama kali China memamerkan rudal balistik antarbenua, Dongfeng-41. Rudal ini bisa menjangkau AS kurang dari 1 jam.
Oleh
Luki Aulia & Mh Samsul Hadi
·4 menit baca
MOSKWA, RABU — Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov dan Utusan Amerika Serikat Marshall Billingslea akan bertemu di Vienna, Austria, 22 Juni mendatang, untuk memulai perundingan perjanjian pengurangan senjata strategi atau New START yang masa berlakunya berakhir Februari 2021. Pemerintah Rusia, Selasa (9/6/2020), mengingatkan desakan AS untuk mengikutsertakan China akan membuyarkan perundingan ini.
New START (Strategic Arms Reduction Treaty atau Traktat Pengurangan Senjata Strategis) merupakan perjanjian antara AS dan Rusia tentang langkah-langkah pengurangan dan pembatasan senjata-senjata serangan strategis. Perjanjian ini ditandatangani pada April 2010 oleh Presiden AS Barack Obama dan Presiden Rusia Dmitry Medvedev. Perjanjian New START akan berakhir pada Februari 2021 dan bisa diperpanjang lagi jika AS dan Rusia menyepakati hal itu.
Presiden AS Donald Trump berminat untuk melanjutkan perjanjian tersebut. Perjanjian ini mewajibkan AS dan Rusia mengurangi setengah dari stok peluncur rudal nuklir strategis mereka. Langkah Trump tersebut berbeda dari keputusan-keputusan dia sebelumnya, yang cenderung menarik diri dari sejumlah kesepakatan, termasuk kesepakatan nuklir Iran dan Pakta Kekuatan Nuklir Jarak Menengah (INF).
Hanya saja, pemerintahan Trump menilai China harus diajak ikut dalam perundingan New START, salah satu warisan Perang Dingin, dan meski jumlah simpanan nuklir China tak sebanyak nuklir AS dan Rusia. Pada pertemuan Dewan Hubungan Luar Negeri melalui konferensi video, Ryabkov menghargai keinginan AS memulai lagi perundingan. ”Kami mau mendengar dulu apa keinginan pemerintahan AS,” ujarnya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying, menegaskan, China tidak tertarik ikut dalam perundingan itu. Bahkan, China menuding AS hanya berusaha mengalihkan tanggung jawab kepada pihak lain.
Utusan AS Marshall Billingslea, melalui cuitan di Twitter, meminta China untuk mempertimbangkan kembali terlebih dahulu sebelum menolak ikut dalam perundingan tersebut. ”Mencapai status Kekuatan Besar menuntut perilaku dengan tanggung jawab Kekuatan Besar. Tak ada lagi Tembok Raksasa Kerahasiaan mengenai nuklir yang dikembangkan. Kursi (perundingan) menanti China di Vienna,” cuit Billingslea.
Ryabkov mengindikasikan, Rusia sebenarnya tidak menentang ”undangan” AS untuk melibatkan China dalam perundingan itu. Akan tetapi, Rusia yakin China tidak akan mau. ”Kini tergantung pada AS saja, apakah AS merasa layak untuk melanjutkan perundingan ini dengan Rusia atau, dalam sudut pandang AS, partisipasi China itu mutlak harus ada dan tanpa itu AS tidak akan melanjutkan perundingan yang bermakna dan berpandangan ke depan dengan Rusia mengenai pengendalian senjata,” ujar Ryabkov.
Menarget China
Dalam pidatonya bulan lalu di Institut Hudson, AS, Billingslea mengatakan bahwa Trump tidak tertarik pada perjanjian apa pun jika tidak ada kepentingan atau tujuan lainnya. Ada kecurigaan China mengembangkan nuklir dan memperbanyak stok nuklirnya untuk mengintimidasi AS dan negara-negara lain. Intelijen AS menduga China tengah memperbanyak simpanan nuklirnya.
Menurut Asosiasi Pengendalian Persenjataan (Arms Control Association) yang bermarkas di Washington, AS dan Rusia masing-masing memiliki lebih dari 6.000 hulu ledak nuklir pada 2019. Sementara China mempunyai 290 hulu ledak, Perancis memiliki 300 hulu ledak, dan Inggris 200 hulu ledak. Adapun negara-negara nuklir lainnya, seperti India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara, juga memiliki simpanan nuklir meski jumlahnya lebih sedikit.
Laporan majalah The Economist edisi 22 Mei 2020 memaparkan, langkah-langkah AS di bawah kepemimpinan Trump terkait perundingan senjata dimaksudkan untuk melibatkan China dalam upaya pembatasan senjata. Ketika pada Agustus 2019 AS secara resmi keluar dari kesepakatan dengan Rusia dalam Pakta Kekuatan Nuklir Jarak Menengah (INF)—yang melarang AS dan Rusia memiliki peluncur rudal, rudal jelajah, dan rudal balistik berbasis darat dengan jangkauan 500-1.000 kilometer (jarak pendek) serta 1.000-5.500 kilometer (jarak menengah)—Washington menyebut kecurangan Rusia sebagai penyebab keputusannya mundur dari kesepakatan.
Rusia menepis tuduhan itu dan balik menuding AS kerap melanggar kesepakatan tersebut. Namun, seperti dikutip The Economist, Pentagon tidak menutupi keinginannya untuk menghadang upaya China yang tidak terkontrol dalam pengembangan senjata-senjata tersebut. Keinginan AS untuk menarik China duduk dalam perundingan pembatasan senjata semakin besar setelah pada Oktober 2019, bertepatan dengan peringatan HUT Republik Rakyat China, untuk pertama kali rudal balistik antarbenua milik China, Dongfeng-41 (DF-41), dipamerkan di Beijing.
Rudal antarbenua DF-41 memiliki jangkauan hingga 15.000 kilometer. DF-41 bisa membawa hingga 10 hulu ledak nuklir dengan sasaran berbeda. Dengan DF-41, China bisa menjangkau seluruh wilayah Amerika Serikat kurang dari 1 jam. Rudal ini bisa diluncurkan dari jalan raya, membuatnya lebih sulit diantisipasi oleh senjata-senjata AS dibandingkan rudal yang ditembakkan dari silo atau peluncur tetap.
Jika China mau dibujuk untuk bergabung dalam perundingan, kesepakatan New START diharapkan AS bisa meredam pengembangan senjata rudal China, seperti DF-41. Dalam kesepakatan New START antara AS dan Rusia, yang mencakup senjata-senjata strategis—termasuk rudal jarak jauh—kedua belah pihak diberi kesempatan saling memeriksa stok senjata pihak lain 18 kali dalam setahun.
”Target pemerintahan (AS) adalah mencegah stok (persenjataan) berkembang,” kata Tim Morrison dari Hudson Institute, yang menjabat posisi di Dewan Keamanan Nasional pemerintahan Trump hingga Oktober lalu, seperti dikutip The Economist.
Masa berlaku perjanjian New START akan habis sekitar dua pekan setelah masa kepemimpinan Trump berakhir. Rusia dan sejumlah pejabat AS dari Partai Demokrat mengusulkan agar masa berlaku New START diperpanjang karena mereka tidak yakin akan bisa tercapai kesepakatan pada Februari mendatang