KKN, Bahaya Laten Industri Keuangan Amerika Serikat
Bangkrutnya Silicon Valley Bank lagi-lagi mengungkapkan persoalan laten Amerika Serikat. Kini Paman Sam hanya punya dua pilihan, menegakkan aturan atau menuai badai keuangan berikutnya.

Sebuah tanda di depan kantor pusat Silicon Valley Bank (SVB) di Santa Clara, California, 10 Maret 2023 . Akibat bangkrut, SVB ditutup dan diambil alih oleh Federal Deposit Insurance Corporation Amerika Serikat. (Photo by JUSTIN SULLIVAN / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / Getty Images via AFP)
Industri teknologi informasi di Amerika Serikat punya citra mentereng. Hal ini tak lepas dari megasukses raksasa-raksasa teknologi yang menjulang dari Silicon Valley. Namun ternyata tidak semuanya demikian.
Tak sedikit perusahaan yang "cerita suksesnya" sebenarnya berdiri di atas dasar tata kelola yang tak kuat dan tak sehat. Dan ini antara lain melibatkan peran institusi keuangan, dalam hal ini Silicon Valley Bank (SVB).
Pengumuman bangkrut dan tutupnya SVB pada Jumat (9/3/2023) mengungkap kepalsuan di sebagian industri teknologi tersebut. Berdiri mulai 1983, SVB tumbuh menjadi bank komersial ke-16 terbesar di AS.
Pengumuman bangkrut dan tutupnya SVB pada Jumat (9/3/2023) mengungkap kepalsuan di sebagian industri teknologi tersebut.
Selama ini, hanya cerita positif yang muncul di permukaan. SVB misalnya, menyatakan memiliki relasi baik dengan perusahaan teknologi dan menjadi mitra inovasi (Fortune, 11 Maret). Lebih dari 2.500 perusahaan modal ventura pendukung perusahaan teknologi bermitra dengan SVB.
Tentu ada nasabah yang sejak lama tumbuh baik bersama SVB seperti Cisco, Coinbase, and Etsy, (Wired, 15 Maret). Akan tetapi nasabah seperti itu hanya segelintir. Lainnya tak sedikit yang hanya mengandalkan pada bisnis bakar uang yang tidak berkelanjutan.

Seorang karyawan (tengah) memberi tahu masyarakat bahwa kantor pusat Silicon Valley Bank (SVB) di Santa Clara, California, tutup per 10 Maret 2023. Regulator keuangan di California menutup SVB setelah bank bangkrut. (Photo by JUSTIN SULLIVAN / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / Getty Images via AFP)
Namun tetap saja yang tampak di permukaan adalah cerita sukses industri teknologi. Apalagi di era pandemi Covid-19, pamor perusahaan teknologi kian melejit.
Rezeki nomplok perusahaan teknologi melesak hingga meraih dana besar saat mencatatkan saham di bursa. Aset SVB turut melejit dari 20 miliar dollar Amerika Serikat (AS) pada 2018 menjadi 209 miliar dollar AS saat bangkrut.
Deposito di SVB yang dikenal mudah dijangkau perusahaan rintisan saat mereka sulit mendapatkan akses pada perbankan umum, akumulasinya meroket. Relasi baik membuat deposito di SVB melejit dari 67 miliar dollar AS pada 2020 menjadi 126 miliar dollar AS pada 2021.
Baca juga : Bisnis ”Bakar Uang” Ancam Sektor Keuangan
Dana stimulus ekonomi AS dari Bank Sentral AS, The Fed, yang berbunga rendah membuat dana murah tersedia banyak. Saat kebanjiran dana, SVB menempatkannya ke dalam surat berharga aman, yakni obligasi pemerintah AS berjangka 10 tahun.
Aset SVB berbentuk surat berharga naik dari 17 miliar dollar AS menjadi 98 miliar dollar AS. Saat bersamaan, perusahaan teknologi bersolek. Aksi bakar uang marak terjadi berkat dukungan SVB.

Situasi berubah drastis pada 2022 ketika sistem kerja dari rumah alias work from home berangsur-angsur memudar. Tambahan pula, banyak perusahaan rintisan tidak menghasilkan pendapatan apapun.
SVB tidak lagi menerima aliran masuk. Di sisi lain, SVB justru mengalami penarikan deposito besar-besaran dari para nasabahnya. Situasi ini membuat perusahaan yang didirikan pada 1983 itu kelabakan.
Guna memenuhi gelombang penarikan deposito, SVB terpaksa menjual rugi sebagian aset obligasi dengan harga diskon. Goldman Sachs, salah satu pihak yang beruntung dengan situasi SVB itu. Aset SVB dalam bentuk obligasi AS pada dasarnya aman tetapi nilainya anjlok seiring dengan naiknya suku bunga di AS.
Guna memenuhi gelombang penarikan deposito, SVB terpaksa menjual rugi sebagian aset obligasi dengan harga diskon.
Para pedagang saham berorientasi jangka pendek atau short seller marak memasang taruhan akan kebangkrutan SVB. “Saya tidak pernah menyaksikan hal seperti itu terjadi dalam waktu singkat,” kata salah seorang short seller saham-saham SVB, Dale Wettlaufer.
Short seller lain, William C Martin, turut mendalami tata kelola pinjaman SVB ke perusahaan rintisan yang sangat lemah (Bloomberg, 11 Maret). Ia ikut-ikutan short-selling. Ia juga mengatakan, “Saya tidak pernah melihat komposisi keuangan lembaga keuangan seburuk SVB,” kata Martin.

Sebuah truk lapis baja parkir di depan kantor pusat Silicon Valley Bank (SVB) yang tutup di Santa Clara, California, 10 Maret 2023. (Photo by JUSTIN SULLIVAN / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / Getty Images via AFP)
Dosa terbesar
Seperti kata mantan Menteri Keuangan AS, Lawrence Summers, satu dosa terbesar SVB adalah mismatch alias tidak sinkronnya pendanaan. SVB tidak menjaga rasio likuiditas untuk mengantisipasi penarikan dana oleh para nasabah.
Mengapa posisi keuangan SVB tidak terpantau? Sebab, Dodd-Frank Act, peraturan tentang pengawasan perbankan AS, berubah pada 2018. Belakangan terungkap bahwa pimpinan SVB Greg Becker berhasil melobi perubahan itu ke Kevin MacCarthy, saat itu ketua fraksi Republikan yang kini menjabat sebagai Ketua DPR AS.
Salah satu perubahan Dodd-Frank Act adalah pada kategori bank yang diawasi, dari sebelumnya beraset 50 miliar dollar AS ke atas menjadi 250 miliar dollar AS ke atas. Dalam peraturan itu, SVB luput dari pengawasan The Fed walau asetnya telah melejit pesat dari 20 miliar dollar AS pada 2018 menjadi 209 miliar dollar AS per Desember 2022.
Salah satu perubahan Dodd-Frank Act adalah pada kategori bank yang diawasi, dari sebelumnya beraset 50 miliar dollar AS ke atas menjadi 250 miliar dollar AS ke atas.
Senator AS, Elizabet Warren (Demokrat) berang. “Presiden Donald Trump dan anggota Kongres AS dari Republikan telah mengubah Dodd-Frank Act. Ini turut berkontribusi pada kehancuran perbankan dengan biaya besar,” kata Warren.
Akan tetapi kaum Demokrat liberal sama saja seperti Republikan. Ada 17 Senator Demokrat dan 33 angota DPR AS dari Demokrat yang turut meneken perubahan Dodd-Frank Act.
Lebih jauh, kaum Republikan membelokkan isu. Anggota DPR AS dari Republikan mewakili Negara Bagian California Selatan, Nancy Mace, mengatakan dua partai saling tuding. “Ini jelas adalah soal masalah ekonomi, efek kenaikan suku bunga dan pengelolaan internal bank yang buruk,” katanya.

Tangkapan layar Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyampaikan pidato kenegaraan di Washington, Rabu (8/2/2023). Di belakang sebelah kiri adalah Wakil Presiden AS Kamala Harris dan di belakang kanan adalah Ketua DPR AS Kevin McCarthy.
Tuntutan makin liar
Lembaga perbankan kini malah menyerukan secara implisit penghentian kenaikan suku bunga oleh The Fed. Pimpinan BlackRock, sebuah perusahaan dana lindung nilai atau hedge fund, Larry Fink pada 15 Maret mengingatkan kenaikan suku bunga agresif oleh The Fed membuat sistem keuangan menjadi rawan. Belum ada kepastian, bagaimana otoritas moneter AS menyikapi seruan tersebut.
Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, menyatakan, meski ada krisis SVB, sistem perbankan AS pada umumnya kuat. Namun situasi mutakhir sementara ini, tak sepenuhnya mendukung pernyataan itu. Deposito dari bank-bank kecil di AS mengalir ke bank-bank besar.
Baca juga : Persekongkolan Bankir Nakal-Politisi AS di Balik Kebangkrutan Bank Silicon Valley
Otoritas keuangan coba mengatasi efek krisis SVB dengan menjamin semua deposito nasabah. The Fed berusaha menjaga ketenangan pasar dengan menyuntikkan likuiditas. Ini membuat kepemilikan aset swasta oleh The Fed meningkat, dari 8,3 triliun dollar AS pada 8 Maret 2023 menjadi Rp 8,7 triliun dollar AS.
Artinya, ada pertambahan uang beredar. Sementara guna menekan inflasi, jumlah uang beredar semestinya diturunkan. Namun, tetap saja ada rasa gelisah pasar. Suku bunga credit default swap (CDS) atau perjanjian pertukaran keuangan perbankan AS meningkat. Ini pertanda simpanan di bank-bank dianggap tidak aman sehingga harus diasuransikan lewat CDS.

Kantor cabang Signature Bank di New York, Amerika Serikat, Minggu (12/3/2023). Regulators mengumumkan bahwa bank yang bangkrut itu ditutup dan aset-asetnya disita. (AP Photo/Bobby Caina Calvan)
Ulah bankir dan politisi
Inilah potret sempurna kesemrawutan perekonomian akibat korupsi, kolusi, dan nepostime (KKN) di AS. Aspek KKN ini tidak membuat perbankan jera dan tidak belajar serius dari krisis masa lalu.
Mantan Ketua Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) Sheila Bair melihat ada bankir yang tidak saksama mengelola perbankan. Bank-bank di AS diduga tetap melakukan penipuan, termasuk Signature Bank yang bangkrut Minggu (12/3/2023) atau dua hari setelah SVB kolaps.
Signature Bank memiliki relasi sangat dekat dengan Donald Trump. Signature Bank sedang diselidiki karena meminjamkan uang ke perusahaan dengan dugaan pencucian uang atau kejahatan keuangan lainnya. Hanya saja bank itu itu tetap tidak mendapatkan tuduhan penipuan.
Dua partai besar di AS tidak bekerja untuk kepentingan jangka panjang rakyat dan negara. Mereka sibuk memanfaatkan momentum yang menguntungkan partai masing-masing.
Efek dari situasi seperti ini adalah kesemena-menaan yang akan terus berlanjut di sektor keuangan AS. Katherine M Gehl dan Michael E Porter di situs Harvard Business School (HBS) pada September 2017, menyebut, dua partai besar di AS tidak bekerja untuk kepentingan jangka panjang rakyat dan negara. Mereka sibuk memanfaatkan momentum yang menguntungkan partai masing-masing.
Duopoli partai telah membawa AS pada potensi gejolak keuangan yang setiap saat bisa meledak. Partai mudah menyerah pada gejolak ekonomi dan keuangan, yang hanya diatasi lewat campur tangan The Fed.
Ketua FDCI Martin Gruenberg mengatakan, pengetatan pengawasan perbankan kini mutlak. Dia mengatakan, kelemahan pengawasan telah menyebabkan posisi keuangan bank-bank menjadi rawan. Pilihan AS hanyalah, menegakkan aturan atau ekonominya terus terombang-ambing di masa depan. (AFP/AP/REUTERS)