Sempat Disandera Sepekan, 4 Korban Penculikan di Papua Niugini Dibebaskan
Empat orang yang disandera di Papua Niugini, termasuk seorang warga Selandia Baru, akhirnya dibebaskan. Otoritas Papua Niugini menyatakan, tak sepeser pun ada uang tebusan untuk membebaskan mereka.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
PORT MORESBY, MINGGU — Aparat keamanan Papua Niugini berhasil membebaskan tiga akademisi yang disandera sekelompok orang bersenjata di pegunungan. Mereka dalam keadaan baik-baik saja. Kepolisian setempat setelah mendalami motif pelaku menyimpulkan bahwa kejahatan ini murni dilandasi keserakahan ekonomi.
”Ketiganya dalam keadaan sehat meskipun masih trauma setelah kejadian yang menimpa mereka sepekan ini. Mereka semua sedang dievakuasi ke Port Moresby untuk pengamatan lebih lanjut,” kata Perdana Menteri Papua Niugini James Marape pada Minggu (26/2/2023).
Menteri Luar Negeri Selandia Baru Nanaia Mahuta dan Menlu Australia Penny Wong segera mengeluarkan tanggapan atas keterangan Marape. Mereka mengucapkan terima kasih dan terus memantau perkembangan situasi. Adapun Marape mengatakan bahwa aparat penegak hukum masih mengejar para penculik dan penyandera.
Dari empat korban penyanderaan, hanya satu orang yang diungkap identitasnya. Ia adalah Bryce Baker, warga negara Selandia Baru yang bekerja sebagai arkeolog di Universitas Southern Queensland, Australia. Kewarganegaraan beserta negara tempat kerjanya membuat Australia dan Selandia Baru cermat mengamati perkembangan situasi.
Bryce berada di Papua Niugini untuk mengadakan penelitian. Ia merupakan arkeolog yang berpengalaman dan mendalami kebudayaan negara tersebut. Pada Minggu (19/2/2023), Bryce sedang melakukan riset di Desa Fogomaiyu, yang berjarak dua hari berjalan kaki dari Distrik Komo di Provinsi Hela. Letaknya sekitar 570 kilometer di barat laut Port Moresby. Wilayah ini masuk ke dalam Gunung Bosavi.
Bryce didampingi dua perempuan sesama akademisi. Tidak disebutkan nama-nama mereka, tetapi Pemerintah Papua Niugini mengatakan, satu perempuan ini bekerja di Museum Nasional Papua Niugini dan yang satu lagi adalah mahasiswi pascasarjana jurusan antropologi di Universitas Papua Niugini. Mereka bertiga didampingi seorang perempuan anggota Jaringan Pemimpin Perempuan yang bertindak sebagai pemandu.
Keempat orang ini berada di dalam hutan yang memang agak jauh dari desa. Tiba-tiba muncul sepuluh laki-laki bersenjata api menodong mereka dan menggiring mereka pergi. Distrik Komo memiliki kekurangan sarana komunikasi.
Tidak ada keterangan yang jelas mengenai cara para kelompok penculik itu berkomunikasi. Media-media lokal hanya mengatakan bahwa Distrik Komo sangat kekurangan sarana komunikasi. Satu-satunya alat komunikasi adalah telepon satelit di paroki.
Kepada surat kabar Post Courier, Inspektur Kepolisian Papua Niugini David Manning menuturkan, para penculik meminta uang tebusan 1 juta dollar Amerika Serikat. Jumlah itu luar biasa banyak bagi negara Papua Niugini yang tergolong miskin dan sebagian besar dari 9 juta penduduknya merupakan petani tradisional.
”Kejahatan ini terjadi karena ada kesempatan. Kelompok ini oportunis dan motif mereka murni keserakahan ekonomi. Tidak ada soal politik atau yang lain,” ujar Manning.
Pada hari Jumat, para penculik membebaskan salah satu perempuan yang disandera. Akan tetapi, mereka tetap meminta tebusan, walaupun—menurut Manning—jumlahnya dikurangi. Polisi tetap menekan para penculik. Prosesnya tidak diterangkan kepada media. Manning hanya mengatakan, pada akhirnya tidak sepeser pun uang tebusan dibayar kepada para penculik dan seluruh sandera dibebaskan.
”Kami sedang memburu sepuluh orang ini. Kami sudah mengetahui nama-nama dan suku-suku asal mereka,” kata Manning. (AFP)