Ukraina Menanti ”Resolusi Perdamaian” Majelis Umum PBB
Ukraina berharap 193 negara anggota PBB mendukung resolusi PBB yang menyerukan perdamaian dan mengakhiri perang. Resolusi itu kemungkinan besar disetujui, tetapi ada berapa banyak negara yang memilih ”ya”.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
NEW YORK, RABU — Menjelang satu tahun invasi Rusia, Ukraina gencar melobi 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendukung resolusi PBB yang menyerukan perdamaian dan menjamin ”kedaulatan, kemerdekaan, persatuan negara yang dilanda perang, dan integritas teritorial”. Resolusi ini akan berkontribusi pada upaya bersama untuk mengakhiri perang dan melindungi prinsip-prinsip dasar hukum internasional dan Piagam PBB.
Pemungutan suara untuk resolusi itu akan dilakukan pada Kamis (23/2/2023). Tidak ada veto di Majelis Umum sehingga resolusi ini pasti akan disetujui. Namun, pertanyaan besarnya adalah ada berapa banyak suara ”ya” yang akan didapat.
Sebelumnya, ”Resolusi 12 Oktober” yang mengecam upaya aneksasi ilegal Rusia atas empat wilayah Ukraina dan menuntut pengembalian segera mendapatkan suara tertinggi dari lima resolusi, yakni 143 setuju, 5 menolak, dan 35 suara abstain. China dan India termasuk negara yang memilih abstain.
Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba, Rabu (22/2/2023), meminta negara-negara anggota PBB untuk membuktikan dukungan mereka terhadap Piagam PBB dan resolusi itu. Dalam sesi khusus darurat Majelis Umum PBB, Kuleba mengatakan, Rusia masih tetap ingin menghancurkan Ukraina sebagai sebuah bangsa.
Pemungutan suara resolusi ini merupakan momen yang menentukan untuk menunjukkan dukungan, persatuan, dan solidaritas. Imbauan serupa pernah dia serukan untuk mencegah perang beberapa hari sebelum invasi Rusia pada 24 Februari 2022. Kuleba menegaskan, Ukraina menggunakan haknya untuk membela diri dan telah mampu menghentikan agresor yang jauh lebih kuat serta menendangnya keluar dari setengah wilayah yang baru diduduki.
”Batasan antara yang baik dan yang jahat sangat jelas. Satu negara hanya ingin hidup. Sementara yang lain ingin membunuh dan menghancurkan. Tidak ada negara lain di dunia ini yang menginginkan perdamaian seperti halnya Ukraina,” kata Kuleba.
Jika negara-negara tidak ingin memihak Ukraina, Kuleba mendesak mereka untuk memihak pada Piagam PBB, hukum internasional, dan lima resolusi Majelis Umum PBB yang sudah diadopsi sejak invasi Rusia serta membela pelestarian integritas teritorial setiap negara. ”Apakah ada yang mau memberikan 1 meter persegi wilayahnya kepada tetangga yang haus darah?” kata Kuleba kepada para diplomat yang hadir.
Presiden Majelis Umum PBB Csaba Korosi dan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres membuka sesi khusus darurat ini dan sekitar 80 negara akan berbicara sebelum proses pemungutan suara, termasuk lebih dari selusin menteri. Guterres menyebut invasi Rusia sebagai ”penghinaan terhadap hati nurani kolektif” yang melanggar Piagam PBB serta menantang ”prinsip dan nilai landasan sistem multilateral”.
Posisi PBB tegas dalam mendukung prinsip-prinsip Piagam PBB dan berkomitmen pada kedaulatan, kemerdekaan, persatuan, dan integritas teritorial Ukraina dalam batas-batas yang diakui secara internasional. Selama satu tahun terakhir, kata Guterres, invasi Rusia hanya mendatangkan penderitaan dan menghancurkan hak asasi manusia. ”Ini waktu yang tepat untuk mundur dari jurang kehancuran,” ujarnya.
Majelis Umum merupakan badan PBB terpenting yang berurusan dengan Ukraina karena Dewan Keamanan, yang bertugas menjaga perdamaian dan keamanan internasional, lumpuh akibat hak veto Rusia. Meski lima resolusi Majelis Umum sebelumnya tentang Ukraina tidak mengikat secara hukum-sebagaimana resolusi dewan-mereka penting sebagai cerminan opini dunia.
Sekutu dekat Rusia, Belarus, mengusulkan serangkaian amendemen yang akan dipilih terlebih dahulu. Usulan itu berupa menghapus kalimat yang mengacu pada ”invasi skala penuh ke Ukraina”, ”agresi oleh Federasi Rusia”, dan tuntutan agar Rusia segera menarik semua pasukan militernya dari wilayah Ukraina. Mereka juga akan menyerukan dimulainya negosiasi perdamaian, mendesak negara-negara untuk menahan diri mengirim senjata ke zona konflik, dan meminta negara-negara anggota PBB mengatasi akar penyebab konflik, termasuk masalah keamanan yang sah dari negara-negara anggota.
Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia mengklaim Ukraina menghabiskan semua potensi militernya pada minggu-minggu pertama setelah tahap aktif krisis Ukraina dimulai. Setelah itu, Ukraina bergantung pada bantuan kolektif dari Amerika Serikat, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), dan Uni Eropa dalam hal persenjataan, amunisi, dan informasi intelijen. ”Sangat jelas terlihat krisis Ukraina hanya akan menjadi katalis bagi munculnya sentimen anti-Rusia yang mendalam,” ujarnya. (AP)