Rusia Ingin Nord Stream Ditangani PBB, AS Ngotot Sekutunya yang Investigasi
Rusia ingin agar PBB membentuk komisi independen untuk menginvestigasi ledakan Nord Stream. Sementara Amerika Serikat dan sekutunya bersikeras investigasi cukup dilakukan oleh internal masing-masing negara sekutu saja.
NEW YORK, RABU – Dua pekan setelah beredar laporan investigasi jurnalistik oleh wartawan veteran Seymour Hersh tentang pengeboman Nord Stream, Rusia meminta agar PBB membentuk komisi untuk menginvestigasi insiden tersebut. Sementara Amerika Serikat dan sekutunya ngotot agar investigasi dilakukan secara internal dan terpisah oleh Swedia, Denmark, dan Jerman.
Rusia meminta Dewan Keamanan PBB menggelar pertemuan untuk membahas ledakan Nord Stream pada Selasa (22/2/2023). Moskwa pada akhir pekan lalu telah mengedarkan rancangan resolusi kepada seluruh anggota Dewan Keamanan PBB.
Resolusi itu intinya meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterrez untuk segera membentuk komisi guna menginvestigasi kasus ledakan Nord Stream. Para pakar Dewan Keamanan PBB menggelar konsultasi tertutup pada Senin (20/2/2023) untuk membahas rancangan resolusi tersebut.
Baca juga : Jurnalis Top AS Sebut Washington sebagai Dalang Sabotase Nord Stream
Dalam rapat konsultasi tersebut, para diplomat Barat menentang permintaan Rusia. Menjelang pertemuan konsultasi, duta besar dari Denmark, Swedia, dan Jerman mengirim surat kepada anggota Dewan Keamanan PBB bahwa mereka tengah menggelar investigasi. Salah satu kesimpulan yang diperoleh adalah ledakan dahsyat yang terjadi di Nord Stream 1 dan 2 disebabkan sabotase.
Masih dalam surat yang sama, Denmark, Swedia, dan Jerman menegaskan kembali bahwa sabotase terhadap Nord Stream ”tidak dapat diterima, membahayakan keamanan internasional, dan menimbulkan keprihatinan mendalam”. Ketiga negara juga khawatir efek tidak langsung pada emisi gas rumah kaca adalah ”substansial dan mengkhawatirkan”.
Surat tersebut juga menyebutkan bahwa ketiga negara masih melangsungkan investigasi masing-masing. Belum jelas kapan investigasi akan selesai. Mereka menyatakan telah menginformasikan kepada pihak Rusia tentang perkembangan investigasi tersebut.
Kepada wartawan, Wakil Duta Besar Rusia untuk PBB Dmitry Polyansky menyatakan hal itu tidak benar. ”Mereka mengklaim menginformasikan kepada Rusia tentang investigasi yang mana tidak benar. Setiap usaha kami mendapatkan informasi selalu ditolak atau diabaikan oleh mereka,” katanya.
Mereka jelas-jelas tidak transparan dan sangat jelas bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah usaha untuk menutup-nutupi jejak dan tetap setia kepada saudara Amerika-nya.
Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia menyatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa Rusia tidak percaya pada investigasi terpisah yang dilakukan Denmark, Swedia, dan Jerman. Namun, Rusia percaya jika investigasi digelar oleh komisi independen yang dibentuk oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Nebenzia juga menyatakan, Moskwa sampai sekarang tidak diizinkan untuk ikut dalam tim investigasi yang digelar oleh Denmark, Swedia, dan Jerman. ”Mereka jelas-jelas tidak transparan dan sangat jelas bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah usaha untuk menutup-nutupi jejak dan tetap setia kepada saudara Amerika-nya,” ucapnya.
Pada diplomat dari AS, Inggris, Perancis, dan sekutu Washington lainnya menyatakan, otoritas dari tiga negara tengah mengadakan investigasi. Jadi, mekanisme investigasi sebaiknya diserahkan pada langkah tersebut.
Alasan Rusia sesungguhnya mengangkat insiden Nord Stream 1 and 2, menurut mereka, adalah untuk mengalihkan perhatian pada setahun perang Ukraina. Langkah Rusia itu juga untuk mengalihkan perhatian terhadap kegiatan level atas PBB selama tiga hari ke depan, termasuk rencana mengadopsi resolusi Majelis Umum PBB mengecam keras invasi Rusia di Ukraina.
Baca juga : Hersh Punya Cerita Soal Nord Stream
”Pertemuan hari ini adalah upaya terang-terangan untuk mengalihkan perhatian dari hal ini. Saat dunia bersatu pekan ini menyerukan keadilan dan memastikan perdamaian di Ukraina yang konsisten dengan Piagam PBB, Rusia ingin mengubah subyek,” kata Menteri Konselor AS John Kelley kepada Dewan Keamanan PBB.
Kelley menyatakan tuduhan bahwa AS terlibat dalam sabotase Nord Stream jelas-jelas tidak benar. ”AS tidak terlibat dalam cara apa pun,” katanya.
Berbicara di depan Dewan Keamanan PBB, ekonom dari Universitas Columbia, AS, Jeffrey Sachs, menyatakan, konsekuensi dari sabotase Nord Stream sangat besar, tidak saja dari kerugian ekonomi, tetapi juga makin intensnya ancaman pada semua infrastruktur lintas batas negara, termasuk kabel internet bawah laut dan ladang pembangkit listrik tenaga bayu di lepas pantai.
”Ini adalah tanggung jawab Dewan Keamanan PBB untuk membawa pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang melakukan aksi (sabotase) itu sampai pada jawabannya. Ini penting dalam rangka membawa pelaku ke pengadilan internasional, memastikan para pihak yang dirugikan mendapatkan kompensasi, dan mencegah aksi serupa terjadi di masa depan,” tutur Sachs yang merupakan Direktur Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan PBB sekaligus anggota Komisi Broadband untuk Pembangunan PBB.
Hanya segelintir aktor tingkat negara yang memiliki kapasitas teknis sekaligus akses ke Laut Baltik untuk menjalankan operasi tersebut, termasuk AS, Rusia, Inggris, Polandia, Norwegia, Jerman, Denmark, dan Swedia, entah itu dilakukan sendiri-sendiri ataupun dengan beberapa kombinasi.
Sachs berpendapat, kerusakan yang terjadi pada Nord Stream mensyaratkan ”tingkat perencanaan, kepakaran, dan kapasitas teknologi yang tinggi”. Guna menjalankan eksekusinya di zona ekonomi eksklusif Denmark dan Swedia adalah suatu operasi yang sangat kompleks.
”Hanya segelintir aktor tingkat negara yang memiliki kapasitas teknis sekaligus akses ke Laut Baltik untuk menjalankan operasi tersebut, termasuk AS, Rusia, Inggris, Polandia, Norwegia, Jerman, Denmark, dan Swedia, entah itu dilakukan sendiri-sendiri ataupun dengan beberapa kombinasi. Ukraina tidak memiliki teknologi yang dibutuhkan dan tidak memiliki akses ke Laut Balik,” papar Sachs.
Pada Rabu (8/2/2023), muncul sebuah laporan investigasi jurnalistik berjudul ”How America Took Out the Nord Stream Pipeline”. Laporan yang diunggah di Substack itu terdiri atas 26.231 karakter. Jika dituangkan ke dalam dokumen Word, terdiri atas 16 halaman.
Adalah Seymour Hersh (85), wartawan investigasi dan penulis politik AS terkemuka dan dikenal kritis terhadap kebijakan Washington, penulisnya. Ia telah menyabet sederet penghargaan prestisius berkat kerja-kerja jurnalistiknya. Salah satunya adalah Pulitzer 1970 untuk laporan investigasinya pada ”Pembantaian My Lai di Perang Vietnam” yang diterbitkan pada 1969.
Baca juga : Pengungkap Pembantaian di Vietnam ”Jatuhkan Bom” ke Media-media AS
Laporan investigasi Hersh terbaru menuding AS sebagai dalang di balik pengeboman jaringan Nord Stream pada 26 September 2022. Laporan itu menyebutkan, keputusan mengebom jaringan pipa dibuat secara rahasia oleh Biden bersama para pembantunya. Tujuannya, menghentikan kemampuan Moskwa menghasilkan miliaran dollar AS sekaligus menghilangkan pengaruh politik Rusia yang besar atas Jerman dan Eropa Barat.
Mengutip satu sumber anonim, Hersh menuduh bahwa gagasan itu muncul pertama kali pada Desember 2021 dalam diskusi di antara penasihat keamanan nasional utama Biden. Konteksnya adalah bagaimana respons AS jika Rusia menginvasi Ukraina.
Di bawah kedok latihan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pada Juni 2022, penyelam Angkatan Laut AS dengan bantuan dari Norwegia menanam bahan peledak di saluran Nord Stream. Peledakan dilakukan tiga bulan kemudian dari jarak jauh.
Badan Pusat Intelijen AS (CIA) kemudian mengembangkan rencana tersebut. Di bawah kedok latihan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pada Juni 2022, penyelam Angkatan Laut AS dengan bantuan dari Norwegia menanam bahan peledak di saluran Nord Stream. Peledakan dilakukan tiga bulan kemudian dari jarak jauh.
Nord Stream adalah jaringan pipa bawah laut yang menyalurkan gas dari Rusia ke Jerman dan sejumlah negara Eropa lain. Jaringan ini membentang di dasar Laut Baltik, dari Vyborg di Rusia menuju Lubmin, daerah dekat Greifswald di Jerman.
Gazprom, badan usaha milik negara Rusia, menguasai 51 persen sahamnya. Sisanya dipegang oleh empat perusahaan Barat sebagai mitra. Rusia adalah pemasok utama gas kebutuhan Eropa. Porsinya mencapai 40 persen dari total gas yang diimpor ”Benua Biru” pada 2021. (AP/REUTERS)