Ribuan Warga Ohio Cemaskan Dampak Kecelakaan Kereta Bahan Kimia
Beberapa jenis hewan lain juga dilaporkan sekarat dan tewas di sekitar lokasi kejadian. Sejumlah warga juga mengaku mudah sakit kepala sejak kembali ke rumah.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
OHIO, SELASA — Seluruh penduduk East Palestine, kota kecil di Ohio, Amerika Serikat, cemas akan kesehatan mereka. Kecemasan itu dipicu ketidakjelasan keselamatan mereka setelah kereta pengangkut bahan kimia terguling di kota tersebut. Ada bahan yang pernah menjadi senjata kimia dalam Perang Dunia I.
Badan lingkungan hidup AS, EPA, mengumumkan 181 rumah di East Palestine sedang diperiksa. Sementara 290 rumah lain telah selesai diperiksa pada Senin (13/2/2023). Pemeriksaan dilakukan setelah 20 gerbong pengangkut bahan kimia terguling di kota itu pada 3 Februari 2023. Sebagian gerbong terbakar, sebagian lagi sengaja ditumpahkan isinya.
Insiden itu menyebabkan 2.000 penduduk kota harus dievakuasi selama beberapa hari.
Wali Kota East Palestine Trent Conaway mengatakan, rapat umum warga akan digelar pada Rabu (15/2/2023) untuk membahas lagi perkembangan penanganan dampak insiden tersebut.
Sementara sebagian warga sudah mengajukan gugatan kepada Norfolk Southern Railway, operator kereta tersebut. Mereka meminta perusahaan kereta itu menanggung biaya pemeriksaan dan perawatan kesehatan terkait insiden tersebut. Insiden terjadi tepat sehari sebelum militer AS menembak balon mata-mata di lepas pantai Carolina. Informasi soal kecelakaan kereta itu amat minim sampai beberapa hari setelah kejadian.
Dioperasikan Norfolk Southern Railway, total 150 gerbong ditarik kereta itu pada Jumat pagi. Kereta berangkat dari Madison, Illinois, menuju Conway, Pennsylvania. Di tengah perjalanan, 50 dari 150 gerbong terguling. Di antara 50 gerbong itu, 20 gerbong mengangkut aneka bahan kimia berbahaya.
Bahaya kesehatan
EPA menyebut, gerbong-gerbong itu mengangkut vinil klorida, butil akrilat, etilheksil akrilat, etilen glikol monobutil, dan fosgen. Pemerintah AS sejak lama menyebut vinil klorida bisa mengakibatkan kanker hati, paru-paru, dan otak. Adapun butil akrilat bisa menyebabkan iritasi mata dan paru-paru serta mengakibatkan gangguan pernapasan. Jika dihirup dalam jangka panjang dan jumlah besar, butil akrilat dapat mengakibatkan kerusakan paru. Sementara fosgen dikenal sebagai senjata kimia dalam Perang Dunia I. Jika terhirup, fosgen bisa menyebabkan muntah-muntah serta gangguan pernapasan.
Seluruh bahan itu diketahui tumpah ke tanah dan air di sekitar lokasi kejadian. Sebagian juga menguap. ”Dalam berbagai kejadian lain, sulit menentukan jumlah bahan yang tumpah,” kata juru bicara EPA Kantor Ohio, James Lee.
Petugas tanggap darurat diketahui sengaja membakar sebagian bahan kimia itu. Pembakaran untuk mempercepat penguapan. Asap dan apinya terlihat hingga 30 kilometer dari tempat kejadian.
Conaway mengatakan, sebagian warganya masih bisa mencium bau aneka bahan kimia. ”Kami akan meminta pertanggungjawaban perusahaan kereta,” katanya.
Perintah evakuasi telah dicabut dan sebagian warga sudah kembali ke rumahnya. Sejumlah warga mengaku menemukan ikan dan katak mati di beberapa saluran air di dekat lokasi kejadian. Beberapa jenis hewan lain juga dilaporkan sekarat dan tewas di sekitar lokasi kejadian. Sebagian warga juga mengaku mudah sakit kepala sejak kembali ke rumah.
Salah seorang warga, Maura Todd, memutuskan melanjutkan pengungsian ke Kentucky. Keluarga Todd sempat kembali kala perintah evakuasi dicabut. Karena merasa sakit kepala dan masih terus mencium bau bahan kimia serta asap, ia dan keluarganya kembali mengungsi. Ia mengaku tidak yakin dengan penjelasan pemerintah. Ia merasa sejumlah informasi masih ditutupi meski pemerintah berulang kali menyatakan lingkungan sudah aman.
Salah satu penyebab kemarahan warga adalah aparat dan operator kereta tidak mengungkap jenis dan jumlah bahan kimia di gerbong. Kematian aneka hewan di sekitar lokasi kejadian menambah kekhawatiran warga. ”Pemerintah harus menjelaskan, apakah tumpahan sudah terhenti. Kalau belum, jelas bahaya akan tetap ada,” ujar pengajar kesehatan lingkungan pada Johns Hopkins University, Peter DeCarlo. (AP/REUTERS)