Kecelakaan KA Paling Tragis: Lebih Seratus Orang Tewas
Kecelakaan kereta api pada 19 Oktober 1987 di Kelurahan Bintaro, Jakarta Selatan, merenggut 129 nyawa dan 238 orang luka berat. Peristiwa itu mengungkap masalah mendasar dalam tata kelola perkeretaapian.

MUSIBAH TERBESAR — Tabrakan dua kereta api jurusan Tanah Abang—Rangkas Bitung dan sebaliknya hari Senin pukul 07.05 WIB di Pondok Betung merupakan kecelakaan kereta api terbesar di Indonesia dari segi korban jiwa.
Artikel berikut ini pernah terbit di Harian Kompas edisi 20 Oktober 1987. Kami terbitkan kembali dalam rubrik Arsip Kompas.id untuk mendampingi perilisan Narasi Fakta Terkurasi, aset NFT perdana Harian Kompas.
Jakarta, Kompas
Sudah 101 korban tewas dan 238 orang luka berat yang tercatat hingga Senin malam pukul 22.15 WIB akibat terjadi kecelakaan kereta api terbesar dan paling tragis dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia, Senin pagi pukul 07.10 WIB di kampung Pondok Betung, RW IX, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Presiden Soeharto dan Menteri Perhubungan Roesmin Nurjadin Senin malam pukul 19.30 mengunjungi para korban yang dirawat di Unit Gawat Darurat RSCM. Kepala Negara berada selama setengah jam di rumah sakit umum itu.
Menurut Direktur RSCM Dr Hidayat yang mendampingi Presiden Soeharto, di rumah sakit itu sampai semalam tercatat menampung 101 korban luka-luka. Dari jumlah ini, tiga di antaranya kemudian meninggal, 18 orang telah selesai menjalani operasi, dan empat orang lagi menyusul untuk dioperasi.
Sementara dari kamar jenazah RSCM, sampai pukul 22.15 diperoleh keterangan banyaknya mayat yang dikirimkan tercatat 80. Dari jumlah jenazah itu, 16 sudah diambil keluarganya.
Jumlah 80 jenazah di RSCM ditambah dengan lainnya yang tersebar di rumah sakit Fatmawati, RS Pertamina, RS Setia Mitra mencatat jumlah seluruh korban tewas sebanyak 101 orang.
Kejadian
Kereta api Patas no 220 dengan rangkaian tujuh gerbong dari arah Tanah Abang menuju ke arah Merak bertemu di Desa Pondok Betung dengan KA no 225 dari Rangkasbitung ke Tanah Abang dan tabrakan tak terelakkan lagi, sebab hanya ada satu rel. Tabrakan ini menyebabkan gerbong pertama di belakang kedua loko itu, membungkus loko yang ada di depannya.
Baca juga: Banyak Pelintasan Sebidang Di Sumbar Banyak Rawan Kecelakaan Kereta Api
Di tempat kejadian Kompas, mendapatkan seluruh badan lokomotif BB-303 16 “ditelan” oleh gerbong KB3065 601. Sementara lawannya, lokomotif BB-306 16 hampur separuh badannya ikut pula tertelan gerbong pertama yang ditariknya.
Gerbong KB3-65 601 merupakan gerbong pertama yang ditarik loko BB-303 16. Akibat dorongan kecepatan ketika terjadi benturan kedua lokomotif, gerbong yang meluncur bebas ini “menabrak” dan sekaligus “menelan” penariknya. Gerbong sepanjang sekitar 21 meter dan jika sarat dijejali orang lebih dari 80-an penumpang, seluruh isinya “hilang tergencet” oleh mesin lokomotif yang masih tampak utuh kekar di dalam gerbong itu.
Dari bangkai gerbong ini di atas lokomotif, nampak jelas tubuh seorang pria tergencet dengan tangannya menjulur ke bawah. Dari bagian loko, setelah ata gerbong yang menutupi lokomotif digergaji, berhasil dikeluarkan korban seorang wanita dan seorang anak kecil (mungkin anaknya).

Penanganan KRL yang anjlok di Stasiun Sudimara, Minggu (05/12/2021) pukul 12.20 oleh tim dari KAI Commuter.
Setelah dongkrak besar digunakan dan dinding digergaji, tim penyelamat yang terdiri dari anggota kepolisian, Kodam V Jaya, pemadam kebakaran, dan masyarakat setempat, dikeluarkan seorang pria yang tangannya hilang sebelah tergencet plat baja. Ia masih didapati hidup ketika dikeluarkan.
Ribuan anggota masyarakat menyaksikan para penyelamat berusaha untuk menarik keluar korban-korban dari gencetan dinding kereta. Terutama sekali di bagian belakang gerbong KB3-65601, di mana kursi-kursi duduknya sudah menyatu jadi gepeng dengan bagian belakang lokomotif. Dari gencetan kursi rata itu tampak bagian tubuh yang mencuat dan darah menghitam kental, ditingkah bau anyir menyengat.
Jeritan menusuk hati
Jeritan dan tangis yang memilukan di antaranya dari Topik bin Said (25) yang berasal dari Rumpin, Tangerang. Ia terjepit di antara gerbong dan tersembul di atas. Bagian tangan kiri dan sebagian tubuh bagian bawah terjepit gerbong, namun ia masih hidup. Ia terdengar berteriak, “Tolong pak, tolong, saya masih hidup. Saya Topik bin Said, tinggal di Rumpin, Tangerang, tolong pak, aduh sakit sekali. Ya Tuhan, tolong. Aduh, sakit,” terdengar suaranya menusuk hati. Tapi tak lama kemudian ia meninggal dunia.
Begitu pula tangisan pilu keluar dari arah dalam gerbong yang hancur, suara wanita dan jeritan anak-anak. Umumnya mereka berteriak minta tolong atau kesakitan.
Warga memang mendengar dan tersentuh hatinya, namun apa daya, apa yang sudah dikerjakan untuk meringankan penderitaan korban, tidak membawa hasil apa-apa. Dan teriakan minta tolong makin menjadi setelah matahari menyengat dengan teriknya. Topik di atas gerbong pun berteriak minta minum, juga wanita dan anak-anak yang masih hidup. Serta Sukarja yang masih hidup dan tergantung di samping gerbong.
Baca juga: Sejarah Kereta Api yang Tertinggal di Sudut Stasiun
Tapi atas perintah siapa, tidak jelas, mereka tidak diperkenankan diberi minum. Dan belakangan menurut beberapa penjelasan, jika korban diberi minum saat itu, maka kematian akan segera datang.
Barulah setelah tim dari 118 dan Palang Merah Indonesia datang, para korban diberi infus di tempat, sekalipun masih dalam keadaan terjepit.
Perkembangan tadi malam
Penyelamatan yang berlangsung malam hari hingga pukul 23.00 baru berhasil mengeluarkan tiga dari enam korban yang masih hidup di antara himpitan lokomotif dan gerbong kereta dari jurusan Tanah Abang. Dua di antaranya dikeluarkan hampir berbarengan.
Sementara itu, seorang bocah bernama Juned (9) berhasil diselamatkan sekitar setengah jam kemudian, dalam keadaan selamat. Kedua kakinya diperkirakan patah, karena tertindih jepitan, gerbong. Tapi dia sempat tersenyum, ketika pengunjung yang berjubel menyaksikan upaya penyelamatan itu bertepuk tangan.
“Saya akan tanyakan apakah orangtua bocah itu masih ada. Kalau belum ada yang mengurus saya menyediakan diri menjadi bapak asuh bagi Juned,” ukar Eddy M Nalapraya, wakil gubernur DKI Jakarta yang ikut menyaksikan jalannya penyelamatan hingga malam hari.

MUSIBAH TERBESAR — Tabrakan dua kereta api jurusan Tanah Abang—Rangkas Bitung dan sebaliknya hari Senin pukul 07.05 WIB di Pondok Betung merupakan kecelakaan kereta api terbesar di Indonesia dari segi korban jiwa.
Sementara adik Juned yang bernama Wasjadi (87) yang sejak pagi hingga pukul 19.00 masih terlihat bertahan, akhirnya menghembuskan napas terakhir justru pada saat para penyelamat berhasil mengungkit besi-besi yang menindihnya. Ketika tubuhnya ditarik keluar, bocah itu sudah tak bernyawa.
Dari posisi korban terakhir yang masih hidup itu, nampaknya penyelamatan akan memakan waktu lama. Seandainya pun diputuskan untuk melakukan amputasi terhadap kaki kedua korban, kesulitan utama adalah bagaimana melakukannya. Karena hampir tidak ada ruang gerak yang cukup pada bagian kaki korban.
Untuk mempertahankan nyawa korban, transfusi glukosa dan darah dilakukan terus menerus, karena darah sudah banyak keluar dan makanan tidak bisa diberikan kepada korban yang hanya bisa mengeluh dan merintih itu.
Sementara itu, penyelamatan dilakukan dengan memotong baja dengan alat alas di sekitar tubuh korban yang masih hidup. Puluhan tabung gas sudah dihabiskan untuk merobek baja-baja tebal itu.
Korban yang mati
Korban yang tewas dan belum bisa dikeluarkan dari himpitan gerbong nampaknya masih cukup banyak. Dari bagian-bagian tubuh yang sedikit terlihat dari luar, sedikitnya, masih sekitar 10-15 orang yang ada di dalam gerbong dan lokomotif. Nampaknya, seperti dikemukakan Eddy Nalapraya, korban yang masih hidup lebih diutamakan, sementara yang mati baru bisa dikeluarkan setelah rangkaian gerbong ditarik secara paksa dari kedua arah.
Eddy juga tidak menutup kemungkinan jika rangkaian gerbong yang bertumbukan akan digulingkan dan dipreteli di bawah, untuk evakuasi selanjutnya.
Jadwal kereta
Jalur kereta api antara Pasar Palmerah dan Rangkasbitung setiap harinya terhitung sangat padat. Kereta api pertama dari Rangkasbitung melalui Sudimara menuju Palmerah berangkat pukul 06.11. Sedangkan sebaliknya, pada pukul 05.00 berangkat kereta api pertama dari Tanah Abang ke Rangkasbitung dengan jalur yang sama.
Baca juga: Kereta Ekonomi Riwayatmu (Itu) Dulu
Setiap harinya, kereta yang menuju ke Palmerah tercatat sebanyak 11 kali keberangkatan yang berakhir pada kereta yang berangkat pukul 20.33 ke Palmerah. Untuk arah yang berlawanan, tercatat jalur-jalur padat jurusan Palmerah-Rangkasbitung pada pukul 15.12, pukul 16.17, dan pukul 18.30 yang merupakan kereta terakhir. Menurut catatan pihak PJKA, jam padat kereta api ini bisa membawa penumpang setiap gerbongnya sebanyak 180 orang. Ini berarti, satu rangkaian kereta api yang menarik 6 gerbong penumpang memuat sebanyak lebih dari 1.080 orang.
Selain kereta penumpang yang menghubungkan Palmerah-Rangkasbitung, tercatat juga ada kereta barang yang menggunakan jalur kereta ini. Untuk kereta barang yang berangkat dari Palmerah, kereta yang pertama berangkat pukul 08.44. Kereta barang kedua ke jurusan Rangkasbitung ini setiap harinya tercatat 10 kali pemberangkatan, dengan pemberangkatan terakhir pada pukul 20.36. Termasuk tujuh di antaranya adalah angkutan batu bara.
Sedangkan untuk arah yang sebaliknya, kereta barang dari Rangkasbitung menuju Palmerah diberangkatkan pada pukul 04.15 ke Palmerah. Sedangkan kereta barang terakhir diberangkatkan dari Rangkasbitung pada pukul 21.32.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F17%2F5fa44e7f-f515-4000-9fbf-b4b56ee19875_jpg.jpg)
Petugas keamanan menjaga peron Stasiun Matraman, Jakarta Timur saat hari pertama uji coba, Jumat (17/6/2022). Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, KAI Daop 1 Jakarta, dan KAI Commuter melakukan uji coba pengoperasian Stasiun Matraman yang berada di antara lintas Stasiun Manggarai dan Stasiun Jatinegara yang diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif bagi pengguna untuk naik dan turun selain di kedua stasiun tersebut. Stasiun Matraman ini terletak di antara Stasiun Jatinegara dan Stasiun Manggarai. Stasiun ini membantu bagi penumpang yang hendak menuju Matraman atau Senen. Pengguna KRL yang naik atau turun dari Stasiun Matraman masih sepi pada hari pertama ujicoba tersebut. Stasiun Matraman akan diuji coba selama satu minggu ke depan. Stasiun yang mulai dibangun pada 2016 ini akan melayani perjalanan kereta rel listrik (KRL) lintas Kampung Bandan-Bekasi/Cikarang. Stasiun Matraman diharapkan dapat mengurangi penumpukan pengguna KRL di Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan, dan Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur. Kompas/Riza Fathoni (RZF) 17-06-2022
Jalur kereta api Palmerah-Rangkasbitung dan sebaliknya setiap harinya tercatat sebanyak 39 kali pemberangkatan kereta penumpang dan kereta barang. Selain itu, masih ditambah lagi sebanyak 3 buah kereta barang yang tidak terdaftar dalam jadwal rute kereta api ini. Ketiga kereta barang ini melakukan perjalanan pulang pergi dan tidak melakukan pemberhentian di Pasar Palmerah seperti kereta barang sebelumnya.
Penuturan saksi mata
“Saya dengar ngok dari sana dan bersamaan dengan ngok lagi dari arah sini. Heran, karena itu berarti ada dua kereta datang dari arah berlawanan. Betul juga saya lihat dua loko meluncur cepat dan benar aja seperti saya duga tabrakan nih…” cerita saksi mata Maman (45) kepada Kompas yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri tabrakan maut bagi ratusan penumpang itu.
Saat itu ia tengah duduk menghirup kopi di beranda rumah, kira-kira seratus meter dari tempat kecelakaan, dipisahkan oleh ladang kangkung dan kali kecil. Bunyi “ngok” pertama yang didengarnya datang dari arah pintu kereta-api Pasar Bintaro. Bunyi “ngok” kedua, hanya selang beberapa detik datang dari arah pintu kereta api Bintaro Jaya-Bintaro Permai. Dari rumahnya di atas tanah tinggi, nampak jelas pintu kereta Bintaro ini. Maman yang baru 10 hari tiba dari luar kota, menyaksikan kereta dengan lokomotif nomor BB-306 16 menarik 7 gerbong dari arah Bintaro meluncur, atap gerbongnya penuh dengan penumpang. Dari balik pepohonan pisang ia sempat pula menyaksikan lokomotif BB 303 16 menarik enam gerbong meluncur cepat dari pintu kereta Pasar Bintaro.
“Tahu-tahu aja saya sudah lihat kepala kereta hilang ditelan gerbong. Masih ada orang berdiri di atas gerbong. Saya lari ke tempat kejadian dan teriak-teriak kepada orang di atas karena ada batu tajam di sekitar rel. Tapi orang-orang itu pada loncat dan mengerang kesakitan setelah lompat itu. Kakinya patah!” cerita Maman lagi. Bersama Endang, mereka lalu beri obat merah seperlunya kepada orang-orang yang cedera.

Kecelakaan kereta api pada 19 Oktober 1987 di Kelurahan Bintaro, Jakarta Selatan, merenggut 129 nyawa dan 238 orang luka berat. Peristiwa itu mengungkap masalah mendasar dalam tata kelola perkeretaapian, mulai dari muatan penumpang hingga peralatan yang tidak memenuhi persyaratan.
“Saya tak ingat, tahu-tahu sudah banyak orang bergelimpangan di tanah tepi rel. Lima kali Endang; keponakan saya, dan saya bolak-balik bawa korban ke Balai Rakyat Bintaro. Seorang korban waktu saya gotong ke balai masih hidup. Begitu sampai di balai saya dapatkan pria itu sudah meninggal di pelukan saya,” kata Maman.
Di balai inilah korban-korban pertama yang datang langsung dilarikan dengan mobil-mobil seadanya tersedia di sana. Bahkan colt pasir juga turut melarikan korban-korban pertamanya ke rumah sakit sebelum ambulans datang.
Meski pakai jam tangan, Maman waktu itu tak sempat melihat jamnya untuk mengetahui persis waktu terjadinya tabrakan maut itu. “Saya dengar bunyi lonceng bunyi tujuh kali setelah itu,” tambah seorang ibu yang serumah dengan Maman menambahkan keterangan.
Kompas sendiri menjumpai kereta nahas BB-303 16 lewat pintu kereta Pasar Bintaro sekitar pukul 06.55 meluncur cepat sebelum terjadi tabrakan itu, pada jarak sekitar 300 meter dari pintu kereta ini.
“Biasanya, kereta dari Rangkasbitung/Serpong (nomor lokomotif BB 306 16-Red) datangnya lebih dulu baru nanti lewat yang dari Tanah Abang sekitar pukul 07.00 pagi. Entah kenapa, yang dari Rangkasbitung ini terlambat,” ujar seorang penduduk Desa Bintaro, yang rumahnya di tepi rel hanya beberapa puluh meter dari tempat kejadian. Dijelaskan, pada pukul 06.30, sebuah kereta api dari arah Rangkasbitung sudah lewat, lalu biasanya disusul lagi dengan kereta berikutnya sekitar lima belas menit kemudian dari Serpong. Dari dalam rumahnya, ia merasa getaran kereta datang dari arah pintu kereta Pasar Bintaro sambil klaksonnya dibunyikan. Detik berikutnya benturan keras terdengar olehnya.
Seperti bom meledak
“Bagaikan bom meledak atau letusan dahsyat yang membelah angkasa, terdengar saat kereta api itu bertabrakan. Saya sedang telepon ke seorang teman, sampai kaget setengah mati. Saat itu sekitar pukul 07.10 dan kakak saya Ny Salim segera berlari ke belakang rumah, melihat apa yang terjadi,” kata Ny Dewi, warga di RT 005/RW 09.
“Segera kakak kembali dan meminta agar saya telepon ke polisi, karena ada kecelakaan kereta api. Yakni ada kereta api tabrakan dengan kereta api diikuti dengan suara jerit tangis yang sangat memilukan,” kata Ny Dewi lagi.
Baca juga: Cikal Bakal Kereta Api "Cepat" di Jawa
Ny Salim kemudian bersama dengan seorang dokter wanita, dr Suwarti yang tinggal di dekat tempat kejadian spontan segera berlari ke arah tempat kecelakaan. Juga warga lainnya yang berlarian hendak menolong para korban.
Segala perlengkapan perobatan yang dimiliki dibawah dan mereka turun tangan tanpa diminta, membantu para korban. Umumnya, yang cedera ringan setelah ditolong dengan diberi obat merah atau diplester, langsung pergi dari tempat kejadian. Yang menderita luka parah, dibawa penduduk ke tepian, agak jauh dari gerbong kereta.
Ny Dewi yang tidak berani ke tempat kejadian karena takut melihat orang meninggal dan tidak tega mendengar jerit tangis yang memilukan segera menelepon polisi 5150110 di Polda Metro Jaya.
Operator polisi wanita yang menerima menanyakan apa yang perlu dibantu, tapi Ny Dewi tidak bisa langsung menyahut, karena keterkejutannya masih belum hilang dan rasa ngeri serta pilu masih meliputi dirinya, hingga ia terdiam sejenak.
Ny Dewi menceritakan apa yang terjadi, tapi ia menjelaskan bahwa telepon dari Ny Salim, pemilik rumah. Baru setelah itu, Ny Dewi pun menelepon polisi Sektor Kebayoran Lama yang dianggap terdekat dengan tempat kejadian. Tapi di sini tidak mendapat jawaban.
Ny Dewi pun menelpon 118 Ambulance kecelakaan dan gawat darurat dari RSCM, meminta pertolongan.
Keterangan saksi mata bernama Marhali (35) yang berada di loko kereta jurusan Rangkasbitung - Tanah Abang. Marhali berada di dekat masinis di dalam loko bersama sekitar 30 penumpang lainnya.
“Rasanya, seperti ngelayang-layang. Saya sudah pasrah lihat mau tabrakan,” tutur Marhali ketika dijumpai Kompas di ruang gawat darurat RS Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Marhali menyaksikan sendiri kereta dari arah depan tiba-tiba muncul dari tikungan. Ketika itu, kedua kereta berjarak 20 meter dan masinis di loko yang ditumpanginya segera menarik rem. Sedangkan kereta yang dari arah depan, menurut Marhali, terlihat terus melaju, sehingga tabrakan maut antara kedua kereta itu tidak bisa dihindari lagi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F07%2F02%2Fe25772d4-2007-47e0-9089-47e89802998e_jpg.jpg)
Warga berjemur di atas jalur Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, Jumat (2/7/2021). Beberapa waktu belakangan ini, semakin banyak warga yang berjemur ungtuk memperkuat imun tubuh supaya tidak terinfeksi virus Korona. Berjemur sudah banyak dikenal masyarakat untuk menambah vitamin D yang didapat dari sinar matahari. Vitamin D yang terkadung dalam sinar ultraviolet (UV) dari matahari bisa memperkuat sistem kekebalan tubuh yang bisa menangkal berbagai jenis virus penyebab penyakit, termasuk virus Korona yang mengakibatkan Covid-19. Kompas/Wawan H Prabowo
Dalam kecelakaan itu, Marhali hanya sobek dua jari tangan kanannya dan paha kirinya membengkak karena terjepit besi. Menurut pekerja harian perbaikan rumah ini, dia sudah tidak sempat berteriak lagi melihat kereta pasti akan bertabrakan. “Abis mau loncat keluar nggak bisa, mau menyelamatkan diri ke mana?” tutur Marhali yang terbaring dengan botol infus tergantung di sebelahnya.
Marhali tidak memperhatikan lagi ke mana masinis atau teman-teman satu loko menyelamatkan diri. Yang masih diingatnya, gerbong penumpang yang berada di belakang loko yang ditumpanginya. Sedangkan di bagian depan, loko yang ditumpanginya “ditelan” oleh kereta dari arah depan.
“Saya selamat karena memang nasib saja,” tuturnya berkaca-kaca. Marhali merasa beruntung, karena loko yang ditumpanginya berhidung panjang sehingga caplokan kereta dari arah depan tidak terlalu parah mengenai ruang masinis tempatnya menumpang.
Selain itu, Marhali berada di belakang, sepotong besi sebesar tubuhnya yang memang terdapat di dalam loko itu. “Ngeri, karena belum pernah ngalamin yang seperti ini,” tutur buruh yang sedang sial itu. Pagi itu di pos terakhir sebelum tabrakan, Stasiun Sudimara (Ciputat, Tangerang) kereta yang semula ditumpanginya mogok. Dan Marhali beralih kereta disel yang sedang berhenti sejenak di Sudimara, Jombang, dan segera berangkat karena ia sudah terlambat berangkat kerja pagi itu. “Yah sudah nasib. Untuk luka saya ringan saja.”
Baca juga: Kereta Listrik yang Melaju dari Era Batavia Hingga ke Jakarta
Sementara itu Oman (30) yang juga dirawat di RSPP (Rumah Sakit Pusat Pertamina) karena betis kirinya terluka, pagi itu memilih duduk di gerbong penumpang pertama setelah loko. Untungnya Oman memilih duduk di bagian belakang gerbong, sehingga ketika tabrakan terjadi, dia hanya terluka betisnya karena membentur asbak dan terlempar ke depan. Koran Kompas yang dibacanya ikut terpental karena kursi yang didudukinya menimpa punggungnya. Di tengah jeritan penumpang, Oman berhasil membebaskan diri dan melompat keluar kereta melalui jendela yang sudah pecah berantakan. Sampai di luar, dia hanya terbengong-bengong menyaksikan tubuh-tubuh yang tergencet tubuh kereta.
Yuliati P, suster kepala pada bagian gawat darurat RSPP, yang pagi itu segera berangkat ke lokasi kejadian begitu RSPP mendapat kabar tentang kecelakaan itu mengistilahkan kejadian yang disaksikannya sebagai, “Seperti di rumah pemotongan hewan saja.” Begitu banyak tubuh yang terpotong-potong. Karena banyaknya korban, suster Yuliati tidak lagi sempat memilih-milih korban mana yang harus diselamatkan dulu. Korban yang terdekat segera ditolong.
Kepala stasiun pingsan
Seorang bapak bernama Saridjo, pegawai bank, biasanya ikut kereta api yang berangkat pada jam itu dari stasiun Sudimara. Tetapi kali ini ia tertinggal. “Saya heran mengapa kereta yang biasanya saya tumpangi sudah berangkat. Kereta berangkat agak lebih cepat dari biasanya. Saya tidak mengejar kereta itu, karena masih ada kereta pengangkut semen di stasiun itu,” ucap Saridjo.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F08%2F31%2Ff4f82a4b-7b0d-43b2-ac2c-505c0076a2cd_jpg.jpg)
Suasana Stasiun Rawabuntu di Serpong, Kota Tangerang Selatan, Jumat (31/8). Di stasiun ini akan dibangun TOD (transport oriented development) bersama dengan Stasiun Jurangmangu di Sawah Baru, Ciputat.
Kemudian, ia melihat kepala stasiun membawa bendera merah berupaya memberi tanda kepada masini. Kepala stasiun berusaha lari mengejar. “Celaka kereta itu seharusnya langsir,” terdengar suara kepala stasiun. Kepala stasiun itu berlari kencang berusaha mengejar kereta yang berangkat menuju arah Tanah Abang. Ia mengejar sampai ke Jurangmangu, lebih kurang 2 km dari Sudimara. Ketika kembali, tubuhnya kelihatan lemah dan terus pingsan,” tutur Saridjo.
Seorang penumpang yang selamat bernama Adang (20) bercerita, kepada Kompas, saat peristiwa mengerikan itu terjadi dia berada di gerbong pertama. “Saya dari Sudimara mau ke Kebayoran Lama. Saya terjepit di antara manusia yang memenuhi gerbong itu,” ujar Adang seraya menambahkan dia masih sempat melihat beberapa penumpang di loko melompat ke pinggiran untuk menyelamatkan diri.
Adang yang luka-luka di paha dan celananya robek, menjelaskan suara agak keras terdengar. Sekitar 15 menit, katanya dia tertahan di tengah manusia yang sebagian besar terlempat dari tempat duduknya. “Saya sendiri tak sadar bagaimana saya bisa keluar dari himpitan teman-teman penumpang itu,” ucapnya lagi.
Paling belakang
Saksi mata Sonny Achmad menuturkan kejadian berlangsung begitu cepat dan mengejutkan. Dia yang duduk di gerbong paling belakang, tidak menyangka bahwa tabrakan begitu kencang, karena goncangan di gerbongnya tidak terlalu keras. “Tapi begitu saya lihat keluar, ternyata kedua loko saling berhimpit, masing-masing melesak ke gerbong belakangnya” katanya.
Sonny mengaku langsung pergi ke Stasiun Kebayoran Lama untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi petugas stasiun yang ditemuinya tidak banyak mengetahui, sehingga dia malah yang memberi informasi pertama kepada para petugas. “Lantas saya langsung ke kantor seperti biasanya,” ujarnya menambahkan.
Pegawai swasta yang memang menggunakan jasa KA setiap hari itu mengatakan biasanya di stasiun Sudimara Jobang, kereta berhenti agak lama, karena selain banyaknya penumpang yang akan naik, juga sambil menunggu kereta yang dari arah Tanah Abang langsir. “Tapi kali ini saya bingung, kereta dari Tanah Abang belum lewat kok kereta yang kami tumpangi sudah berjalan,” katanya.
Ade, pemuda berusia 20 tahun duduk di gerbong ketiga dari rangkaian kereta api yang berangkat dari Tanah Abang menuju arah Rangkasbitung sedang membaca buku mengenai desain batik, ketika ia merasa rem kereta api diinjak tiba-tibia. “Seorang ibu yang sedang menyusui bayinya dan duduk di depan saya, terlempar ke depan bayinya. Saya juga kaget, lalu menuju pintu belakang untuk keluar. Saya melihat kondektur jatuh. Mungkin pingsan karena terbentur kepalanya. Saya lalu mencari bantuan untuk mengangkat kondektur. Untungnya ia tidak cedera berat,” ucap Ade yang mengaku punya sanggar batik.
Senin pagi itu ia hendak menuju Rangkasbitung. “Saya naik kereta dari Tanah Abang yang berangkat pukul 06.00, lalu berhenti di stasiun Palmerah dan Kebayoran Lama. Jadi ketika kereta api tiba-tiba berhenti, waktu menunjukkan 07.00 lewat. Semula saya pikir mungkin kereta menabrak mobil atau orang,” tutur Ade. (Tim Kompas)
Arsip Kompas bagian dari eksibisi “Indonesia dalam 57 Peristiwa”, 28 Juni 2022.