Pemilu Turki Seret Isu Swedia, Suriah, dan Gempa Bumi
Suhu politik di Turki saat ini cukup panas dan dinamis. Semua kebijakan terkait dalam negeri dan luar negeri di Turki kini selalu mempertimbangkan isu pemilu.
Tahun 2023 adalah tahun politik di Turki. Dijadwalkan pemilihan umum parlemen dan presiden Turki akan digelar pada 14 Mei mendatang secara bersamaan. Dengan demikian, penyelenggaraan pemilu parlemen dan presiden di Turki sudah sangat dekat atau sekitar tiga bulan lagi.
Semula jadwal pemilu Turki pada 18 Juni 2023. Namun, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memutuskan memajukan jadwal pemilu dari 18 Juni 2023 ke 14 Mei 2023 dengan dalih tanggal 18 Juni bersamaan dengan masa libur di Turki dan tradisi warga pulang kampung pada masa liburan.
Maka, semua kebijakan terkait dalam negeri dan luar negeri di Turki kini selalu mempertimbangkan isu pemilu. Dengan kata lain, semua kebijakan atau komentar di Turki, baik dari pemerintah maupun kubu oposisi, senantiasa untuk tujuan meningkatkan perolehan suara mereka pada pemilu Mei.
Baca juga : Menunggu Lawan Tangguh Erdogan
Karena itu, suhu politik di Turki saat ini cukup panas dan dinamis. Isu besar, seperti isu Swedia, Suriah, dan gempa bumi pun ikut mengemuka menjelang pemilu tersebut.
Maka, tidak perlu heran jika Pemerintah Turki mengambil sikap keras dan konservatif dalam menghadapi isu pembakaran kitab suci Al Quran di depan kantor Kedutaan Besar Turki di Stockholm oleh kelompok ekstrem kanan Swedia.
Turki pun mengancam dan bahkan menghambat upaya Swedia masuk anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sebagai balasan atas pembakaran Al Quran di Swedia. Selain itu, juga ada faktor tindakan Pemerintah Swedia yang masih melindungi para aktivis Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang dianggap kelompok teroris di Turki.
Pemerintah Turki yang berasal dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) mengambil sikap keras tersebut, tentu tujuan utamanya untuk konsumsi pemilu 14 Mei agar popularitasnya semakin tinggi di mata para pemilih kaum konservatif. Kelompok konservatif ini menguasai wilayah perdesaan dan merupakan mayoritas pemilih di Turki.
Upaya Pemerintah Turki menormalisasi hubungan dengan rezim Presiden Bashar al-Assad di Damaskus, Suriah, terakhir ini juga untuk tujuan konsumsi pemilu 14 Mei. Melalui normalisasi hubungan dengan Suriah, Pemerintah Turki bermaksud bisa mengembalikan para pengungsi Suriah di Turki yang berjumlah sekitar 3,6 juta jiwa ke negaranya.
Kehadiran para pengungsi Suriah tersebut menjadi sasaran kritik kubu oposisi. Sebab, mereka dianggap sebagai salah satu faktor memburuknya perekonomian Turki saat ini. Pemerintah Turki ingin mengurangi beban kritik kubu oposisi yang bisa mengganggu elektoralnya dalam pemilu dengan mengusung program normalisasi hubungan dengan Suriah.
Baca juga : Erdogan, Permainan "Kartu Veto" di NATO, dan Insting Politiknya di Turki
Bencana gempa bumi yang menghantam Turki dan Suriah pada Senin (6/2/2023) juga menjadi isu sensitif menjelang pemilu. Para pengamat netral di Turki menyerukan agar pemerintah dan oposisi tidak memanfaatkan isu gempa bumi untuk tujuan kepentingan pemilu.
Organisasi-organisasi kemanusiaan di Turki mengimbau agar gempa bumi yang menelan korban lebih dari 24.000 jiwa di Turki dan Suriah dilihat sebagai bencana alam yang menuntut pemerintah dan oposisi bahu-membahu dalam menghadapi isu kemanusiaan itu.
Pemerintah Turki memang tampak sangat berhati-hati dalam mengambil kebijakan agar tidak keliru dan berdampak buruk terhadap perolehan suara dalam pemilu 14 Mei. Apalagi, Erdogan dan AKP akan menghadapi lawan yang sangat tangguh, yakni kekuatan oposisi yang bersatu dengan calon tunggal presiden yang mereka usung.
Jika tidak ada aral melintang saat-saat terakhir, kubu oposisi akan mengumumkan calon tunggal presiden dari mereka pada Senin (13/2/2023) ini. Siapa kubu oposisi itu yang akan menjadi lawan tangguh Presiden Erdogan?
Ada enam partai politik utama di Turki yang pada 13 Februari 2022 sepakat berkoalisi untuk melawan Erdogan dan partai AKP yang berkuasa di Turki sejak tahun 2002 atau selama dua dekade terakhir. Koalisi enam partai politik utama itu kemudian oleh media Turki disebut dengan ”Enam Meja”.
Baca juga : Korban Gempa Turki Terus Bertambah, Begitu Juga Kritik terhadap Erdogan
Partai-partai oposisi tersebut, yang juga disebut koalisi keumatan, adalah Partai Rakyat Republik (CHP) pimpinan Kemal kilicdaroglu yang beraliran sosial demokratik/tengah kiri, Partai Kebaikan (IYI) yang beraliran liberal konservatif pimpinan Meral Aksener, Partai Saadet (SP) yang beraliran Islamis kanan pimpinan Temel Karamollaoglu, Partai Demokrat (DP) yang beraliran tengah-kanan pimpinan Gultekin Uysal, Partai Demokrasi dan Progresif (DEVA) pimpinan Ali Babacan, serta Partai Masa Depan (GP) pimpinan Ahmet Davutoglu.
Adapun Erdogan juga membangun koalisi partai-partai politik yang disebut koalisi kerakyatan untuk menghadapi koalisi keumatan. Koalisi kerakyatan terdiri dari tiga partai politik, yaitu Partai Gerakan Nasionalis (MHP) pimpinan Davlet Bahceli yang beraliran ultranasionalis kanan, Partai Persatuan Besar/Great Unity Party (BBP) pimpinan Mustafa Destici yang beraliran ultrakanan Islamis, serta AKP pimpinan Erdogan yang beraliran Islamis kanan.
Di luar koalisi kerakyatan dan keumatan itu ada lagi koalisi kerja dan kebebasan. Koalisi kerja dan kebebasan terdiri dari Partai Rakyat Demokratik (HDP) pimpinan Selahattin Demirtas yang berbasis massa kaum Kurdi, Partai Gerakan Pekerja (TIP) pimpinan Erkan Bas yang beraliran kiri, dan Partai Buruh (EMEP) pimpinan Ercument Akdeniz yang beraliran kiri.
Dari tiga koalisi tersebut, tentu yang terkuat adalah koalisi kerakyatan dan keumatan. Artinya, pertarungan pada pemilu nanti adalah pertarungan antara koalisi kerakyatan dan keumatan.
Adapun kekuatan koalisi kerja dan kebebasan yang berasal dari partai-partai politik beraliran kiri di Turki kurang diperhitungkan. Dalam tradisi politik di Turki, partai-partai politik berideologi kiri kurang mendapat tempat di hati pemilih, alias perolehan suaranya kecil.
Perolehan suara koalisi kerakyatan akan turun pada pemilu 14 Mei karena tergerus oleh suara partai DEVA dan GP akibat bergabungnya kedua partai tersebut ke koalisi keumatan itu.
Pada pemilu tahun 2018, hanya HDP yang beraliran kiri dan berbasis etnis Kurdi yang berhasil meraih 10 persen suara. Partai-partai kiri lainnya gagal mendapat suara cukup yang bisa mengantarkan masuk parlemen.
Sementara koalisi kerakyatan pada pemilu 2018 meraih 53 persen suara berbanding hanya 33 persen suara yang didapat koalisi keumatan. Namun, koalisi keumatan pada pemilu mendatang diperkuat oleh dua partai politik pecahan dari AKP, yaitu DEVA pimpinan Ali Babacan dan GP pimpinan Ahmet Davutoglu.
Kalkulasi para pengamat di Turki, perolehan suara koalisi kerakyatan akan turun pada pemilu 14 Mei karena tergerus oleh suara partai DEVA dan GP akibat bergabungnya kedua partai tersebut ke koalisi keumatan itu.
Hal sama bakal terjadi pada pemilu presiden. Banyak pengamat memprediksi Erdogan belum tentu menang pada pemilu jika koalisi keumatan mengajukan calon tunggal Ahmet Davutoglu atau Ali Babacan. Jika skenario ini terjadi, suara kubu Islamis di Turki akan pecah, antara Erdogan dan Davutoglu atau Babacan.
Mayoritas suara di Turki berada di area perdesaan yang masih tradisional dan konservatif. Suara di perdesaan inilah yang menjadi ajang pertarungan sengit antara koalisi kerakyatan dan keumatan pada pemilu 14 Mei nanti.