Menanti Pulihnya Jalinan Kerja Sama Setelah Perang
Hubungan kerja sama antara Ukraina dan Indonesia mandek sejak serangan Rusia ke Ukraina. Berbagai komoditas ekspor-impor tak sampai, seperti gandum dan minyak kelapa sawit, karena Rusia memblokade pelabuhan di Ukraina.
Oleh
LUKI AULIA, BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·4 menit baca
Hubungan kerja sama Indonesia dengan Ukraina sejatinya sudah terjalin sejak lama, tidak hanya selama 30 tahun. Komunikasi pertama antara Indonesia dan Ukraina sudah terjalin sejak tahun 1946 di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada waktu itu, Ukraina ikut memperjuangkan keanggotaan Indonesia di PBB dan menang.
Ketika Indonesia masih gencar membangun ibu kota Jakarta, banyak insinyur dan ahli dari Ukraina yang ikut berpartisipasi membangun berbagai infrastruktur dan pertambangan meski dulu masih dalam payung Uni Soviet. Banyak kerja sama Ukraina dan Indonesia yang semestinya bisa berlanjut atau dimulai tetapi terpaksa mandek sejak perang berkecamuk pada 24 Februari 2022.
Hal ini diceritakan Duta Besar Ukraina untuk Indonesia Vasyl Hamianin ketika berbicara kepada Kompas, Senin (6/2/2023). Hamianin mengatakan, baik Ukraina maupun Indonesia sama-sama menghadapi tantangan berat akibat serangan Rusia ke Ukraina. Dampaknya terasa langsung pada sektor perdagangan.
Sejak agresi Rusia, Ukraina tidak bisa lagi mengekspor gandum ke Indonesia. Sebaliknya, Indonesia pun tidak bisa mengirimkan minyak kelapa sawit ke Ukraina. Komoditias lain, seperti jagung, biasanya diekspor ke sejumlah negara juga terhambat karena blokade Rusia terhadap Ukraina.
Data dari Kedutaan Besar Ukraina untuk Indonesia menunjukkan Indonesia merupakan mitra dagang terbesar Ukraina di kawasan Asia Tenggara. Volume perdagangan bilateral kedua negara pada 2021 sebesar 1,24 miliar dollar AS dan meningkat 22 persen dibandingkan tahun 2020. Ekspor sebesar 809,8 juta dollar AS dan meningkat 10,1 persen, sedangkan impor meningkat 55,4 persen atau mencapai 432,9 juta dollar AS.
Perputaran perdagangan bilateral pada Januari 2022 senilai 39 juta dollar AS atau 25 persen lebih sedikit dibandingkan tahun 2021. Ekspor Ukraina ke Indonesia sebagian besar komoditas pertanian dan metalurgi. Sementara impor Indonesia ke Ukraina terdiri dari minyak kelapa sawit, produk industri elektronik, kakao, alas kaki, kertas, dan karton. Sejak agresi Rusia dan pemblokadean pelabuhan di Ukraina, perdagangan kedua negara benar-benar terhenti karena hampir semua barang dikirimkan melalui jalur laut.
Bidang yang paling menjanjikan untuk perdagangan bilateral dan kerja sama ekonomi adalah pertanian, seperti gandum, jagung, bubuk telur, tepung terigu, buah segar, dan produk pertanian lain; bidang teknik, seperti pertambangan dan peralatan pompa gas, baja (teknologi dan peralatan baja pabrik); militer-teknis (penyediaan dan perbaikan peralatan dan senjata militer, serta transfer teknologi); energi (pemasok turbin, generator, trafo untuk tenaga panas dan pembangkit listrik tenaga air); serta farmasi.
Untuk jangka panjang, krisis akibat agresi itu memengaruhi banyak hal, seperti bidang pariwisata. Padahal, kata Hamianin, Indonesia dan Ukraina sama-sama sedang membuka diri kembali untuk menerima wisatawan setelah pandemi Covid-19. ”Ada juga potensi kerja sama militer yang juga jadi terganggu akibat agresi Rusia. Ada usulan kerja sama persenjataan dari Ukraina yang terbukti berfungsi dengan baik. Kalau Indonesia tertarik, ini akan menguntungkan militer Indonesia,” ujarnya.
Selain militer, ada juga potensi kerja sama di bidang pendidikan. Ukraina memiliki banyak usulan pada bidang ini, termasuk pertukaran siswa dan guru. Bahkan, saat ini berjalan proyek dari sebuah perusahaan Ukraina untuk pendidikan daring dan dimulai sejak sebelum perang.
Ada pula pendidikan teknologi informasi bagi warga Indonesia yang bertujuan menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak. ”Ini semua agar warga Indonesia lebih sukses dan bisa mendapat lebih banyak uang. Kerja sama di bidang industri kreatif dan telekomunikasi bisa dikembangkan karena Ukraina merupakan salah satu negara dengan sumber daya teknologi informasi yang terbaik di dunia,” ujarnya.
Belum lagi potensi kerja sama untuk transisi energi dan transformasi digital yang dibuat dan dikembangkan perusahaan Ukraina yang berkantor di Singapura, Indonesia, Ukraina, dan Eropa. ”Ini yang sudah dan akan Ukraina lakukan untuk Indonesia. Kita punya banyak prospek dan semoga semua ini bisa dimulai lagi setelah perang berakhir dengan kemenangan Ukraina,” kata Hamianin.
Terkait dengan bantuan dan dukungan Indonesia terhadap Ukraina ketika Indonesia memimpin G20, kata Hamianin, Ukraina sangat menghargai dan menghormati undangan Indonesia kepada Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy untuk ikut berpartisipasi dalam pertemuan G20 di Bali, Indonesia. Namun, bukan Indonesia yang menentukan akhir dari perang ini, melainkan Rusia dan Rusia tidak menunjukkan gejala-gejala mau menghentikan perang apalagi berdamai dan mundur dari Ukraina.
Rusia tidak menghiraukan apa pun usaha yang dilakukan komunitas internasional. Oleh karena itu, dalam pandangan Ukraina, bicara atau diskusi saja tidak cukup dan tidak akan menghasilkan apa-apa sehingga harus dilakukan sesuatu. ”Kita harus berbuat sesuatu untuk menghentikan perang dan agar Rusia mundur dari Ukraina. Saya sangat menghargai upaya Indonesia. Namun, kita harus punya banyak rencana solusi,” ujarnya.
Hamianin juga mengingatkan seluruh rakyat Indonesia agar mewaspadai propaganda dan kebohongan dari pihak Rusia. Ia percaya rakyat Indonesia tidak akan mudah menerima kebohongan, tetapi bisa saja diperdaya oleh propaganda. ”Kita harus memahami apa yang sedang terjadi. Coba proyeksikan ke rumah kita sendiri, keluarga kita dihancurkan oleh mereka (Rusia). Apa yang dirasakan? Apa yang akan dilakukan? Kita pasti akan melawan dan akan lebih memikirkan kepentingan kita dan keluarga kita sendiri,” katanya.