Pemerintah Swedia menyatakan, hak-hak mengekspresikan pendapat di depan umum di negaranya dijamin UU. Namun, dalam kasus pembakaran Al Quran oleh Rasmus Paludan, Stockholm dikritik mengabaikan UU Antiujaran Kebencian.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·2 menit baca
Dalam sepekan terakhir, sejumlah kota di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim dilanda unjuk rasa. Unjuk rasa memprotes aksi politisi dan aktivis sayap kanan Swedia-Denmark, Rasmus Paludan, yang membakar Al Quran di depan Kedutaan Turki di Stockholm, Swedia, 21 Januari lalu. Di level pemerintahan, beberapa negara—termasuk Indonesia—telah menyampaikan pernyataan resmi kecaman keras terhadap ulah provokatif Paludan.
Pemerintah Turki, selain langsung memanggil duta besar Swedia guna menyampaikan nota protes diplomatik, juga menyebut peristiwa itu sebagai alarm meningkatnya Islamofobia serta gerakan rasis dan diskriminatif di Eropa.
Beberapa hari kemudian, di Belanda, Edwin Wagensveld, pemimpin sayap kanan Pegida, juga merobek beberapa halaman dari Al Quran dan menginjak-injaknya di dekat gedung parlemen. Paludan mengulangi lagi aksinya di dekat sebuah masjid di Copenhagen, Denmark, Jumat (27/1/2023).
Menteri Luar Negeri Swedia Tobias Billstrom serta Kedutaan Besar Swedia di Jakarta melalui pernyataan resminya mengakui dan mengategorikan ulah Paludan sebagai provokasi Islamofobia. Namun, dengan berlindung di balik kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusinya, Stockholm menyatakan tak bisa melarang aksi-aksi provokatif seperti yang dilakukan Paludan.
Di Swedia, hak-hak mengekspresikan pendapat di depan umum dijamin secara luas oleh undang-undang. Namun, penghasutan pada kekerasan atau ujaran kebencian tetap tidak diperbolehkan. Semua unjuk rasa harus mendapat izin kepolisian. Polisi bisa menolak atau tidak memberi izin unjuk rasa hanya dalam kondisi luar biasa, misalnya jika unjuk rasa itu dinilai bisa mengancam keselamatan publik.
”Kebebasan berekspresi adalah bagian fundamental dalam demokrasi,” cuit Ulf Kristersson, PM Swedia, di Twitter.
Perhatian beberapa kalangan, termasuk Pemerintah Turki, tak hanya terfokus pada aksi pembakaran Al Quran oleh Paludan, tetapi juga tertuju pada respons Pemerintah Swedia. Fakta bahwa aksi Paludan mendapat pelindungan polisi memberi kesan: Stockhom melindungi tindakan Paludan.
Kepada koran Swedia, Aftonbladet, Jumat (27/1/2023), Paludan menyatakan akan terus mengulang aksinya tiap hari Jumat di depan Kedubes Turki di Copenhagen hingga Swedia diterima jadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Pelindungan atas kebebasan berekspresi, seperti dalam kasus aksi Paludan, kata Menlu Swedia Billstrom, tidak bisa diartikan bahwa Pemerintah Swedia mendukung pandangan atau sikap yang diekspresikan dalam aksi tersebut. Namun, pada poin itulah, komunitas Muslim menangkap sikap Pemerintah Swedia tutup mata pada substansi yang diekspresikan dalam unjuk rasa yang dilindungi konsitusinya.
Di Swedia, hak-hak mengekspresikan pendapat di depan umum dijamin secara luas oleh undang-undang. Namun, penghasutan pada kekerasan atau ujaran kebencian tetap tidak diperbolehkan.
Muslim Public Affairs Council (MPAC), organisasi advokasi Muslim Amerika berkantor pusat di Los Angeles, AS, menyebut Pemerintah Swedia bersikap ”hipokrit”. Sikap pembiaran yang dilakukan Stockholm dinilai mengabaikan keberadaan UU Antiujaran Kebencian di Swedia.
Laman kepolisian Swedia menyatakan, ”Kejahatan kebencian adalah sebutan kolektif atas kejahatan yang bermacam-macam, yang dilakukan sebagai buah sikap negatif pelakunya terhadap, misalnya, orientasi seksual, warna kulit, atau agama.”
”Pembakaran Al Quran adalah pesan langsung terhadap Muslim Swedia. Maka, hal itu harus dilihat sebagai tindak kebencian untuk mengintimidasi keseluruhan sebuah kelompok minoritas,” demikian pernyataan MPAC.
Peneliti senior The Bridge Initiative Universitas Georgetown, AS, Farid Hafez, dalam artikel yang dimuat koran Israel, Haaretz (24/1/2023), mengungkapkan, hari-hari ini di Swedia terlihat tidak banyak kemauan politik untuk menganggap pembakaran Al Quran sebagai kejahatan kebencian.
Ia menulis, ada poin yang diabaikan pemerintah berhaluan nasionalis sayap kanan di Swedia saat ini: ”Tak seorang pun bisa dipaksa untuk bersikap respek pada orang lain. Namun, kejahatan kebencian mengandung konsekuensi hukum.”