Israel Akan Persenjatai Warga Sipil
Benjamin Netanyahu memberi lampu hijau untuk mempersenjatai warga sipil Israel. Kebijakan ini dikhawatirkan akan memicu kekerasan baru yang menempatkan banyak warga Palestina sebagai korbannya.
TEL AVIV, MINGGU — Pemerintah Israel berencana mempersenjatai para pemukim Yahudi di wilayah pendudukan. Kebijakan ini merupakan bagian dari serangkaian kebijakan keras terhadap warga Palestina yang tinggal di daerah pendudukan Tepi Barat.
Kebijakan lainnya adalah merobohkan rumah warga Palestina yang diduga terlibat dalam penembakan warga Israel, mencabut hak jaminan sosial warga Palestina, hingga menurunkan lebih banyak tentara ke wilayah pendudukan.
Kebijakan baru Pemerintah Israel ini diambil pada rapat khusus membahas keamanan nasional yang dipimpin Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di Tel Aviv, Sabtu (28/1/2023). Rapat itu digelar sehari setelah terjadi penembakan oleh seorang pria Palestina di luar sebuah sinagog di Jerusalem yang menewaskan tujuh warga Yahudi.
Baca juga : Serangan Israel Paling Mematikan di Kamp Jenin, 9 Warga Palestina Tewas
Sehari sebelumnya, pasukan elite komando Israel menyerang kamp pengungsi Palestina di Jenin, Tepi Barat, hingga menewaskan sembilan warga Palestina. Pada hari yang sama, seorang warga Palestina lainnya tewas dalam baku tembak di Jerusalem.
Insiden ini lantas disusul dengan baku tembak melibatkan roket kelompok Hamas di Jalur Gaza dan serangan udara Israel. Tak ada korban jiwa dalam bentrokan senjata Hamas-Israel itu. Setidaknya 30 warga Palestina, milisi dan sipil, tewas di Tepi Barat sejak awal bulan ini.
Dikutip dari laman Al Jazeera, Netanyahu seusai rapat mengatakan akan mempercepat izin kepemilikan senjata api untuk warga Israel dan pemukim Yahudi. Ia juga menyatakan akan meningkatkan upaya untuk menyita senjata-senjata ilegal. ”Kami tidak mencari eskalasi, tetapi kami siap untuk skenario apa pun,” kata Netanyahu.
Kebijakan terakhir yang muncul, dikutip dari laman Times of Israel, adalah penambahan dua kompi tentara di wilayah Jerusalem dan kota-kota di sekitar Tepi Barat. Sebanyak dua kompi pasukan infanteri akan mulai bertugas pada Senin (30/1). Mereka adalah Brigade Givati dan Golani.
Sejumlah kebijakan keras itu muncul menjelang kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken ke Israel dan Palestina. Kini, dia tengah berada di Mesir untuk melakukan sejumlah pembicaraan dengan para pejabat Mesir, termasuk Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi.
Dari Roma, Minggu (29/1), Paus Fransiskus menyerukan Israel dan Palestina segera berdialog mencari perdamaian. Paus sangat prihatin terhadap kabar tewasnya warga Palestina ataupun warga Israel.
Baca juga : Pasca-serangan Israel di Jenin, 7 Orang Tewas Ditembak di Luar Sinagog Jerusalem
”Dengan sangat prihatin, saya mendengar kabar yang datang dari Tanah Suci. Spiral kematian yang terus tumbuh setiap hari tidak memberikan apa-apa kecuali membunuh kepercayaan yang sudah kecil di antara dua bangsa,” katanya.
Analis politik senior Marwan Bishara mengatakan, keputusan pemerintah Israel mempersenjatai warga sipil adalah langkah yang kontraproduktif dan bisa meningkatkan kekerasan.
“Mereka mencoba mempersenjatai lebih lanjut orang-orang yang sudah bersenjata di Yerusalem dan Tepi Barat. Akan terjadi lebih banyak kekerasan dan lebih banyak penderitaan hanya akan terjadi di tangan [kelompok] paling ekstrem di Israel dan berpotensi di Palestina,” katanya.
Diana Buttu, analis keamanan dan mantan penasihat hukum Pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Mahmoud Abbas, berpendapat, mempersenjatai kelompok sayap kanan dan garis keras Israel akan meningkatkan eskalasi kekerasan di wilayah pendudukan.
“Anda memiliki menteri keamanan nasional yang telah menjelaskan dengan sangat jelas bahwa dia yakin akan pembunuhan warga Palestina, Anda memiliki menteri keuangan yang telah menjelaskan bahwa [warga Palestina] hanya ada di sini untuk sementara. Dan Anda juga memiliki perdana menteri yang menjelaskan bahwa orang harus dipersenjatai dan mereka tidak akan melakukan apa pun untuk menghentikan pembunuhan warga Palestina. Anda dapat melihat resepnya adalah semakin banyak orang Palestina yang akan dibunuh,” kata Buttu, dikutip dari laman Al Jazeera.
Hal sebaliknya terjadi bila ada warga Palestina terbunuh di tangan aparat keamanan atau warga sipil Israel. “Tidak ada satu pun kasus yang diselidiki hingga usai, mengarah pada tuntutan apalagi dakwaan. Bahkan dalam kasus Shireen (Shireen Abu Akleh, jurnalis Al Jazeera yang tewas di tembak sniper Israel di tengah kerja jurnalistiknya),” kata Buttu.
Anda dapat melihat resepnya adalah semakin banyak orang Palestina yang akan dibunuh.
Dia menambahkan, lebih 90 persen serangan yang dilakukan pemukim terhadap warga Palestina tidak ditindaklanjuti polisi. Sementara tentara juga tidak melakukan apa-apa. “Mereka hanya menutup arsip, tidak ada tuntutan yang diajukan,” ujarnya.
Yara Hawari, analis senior di lembaga Shabaka mengatakan, pengumuman mempersenjatai warga Israel dan para pemukim Yahudi itu tidak diragukan lagi akan meningkatkan kekhawatiran akan terjadinya lebih banyak serangan dan lebih banyak pembunuhan di luar proses hukum terhadap warga Palestina. “Dengan langkah ini, Netanyahu memberi lampu hijau bagi semua warga Israel untuk melakukan kekerasan terhadap warga Palestina dengan impunitas penuh,” kata Hawari.
Buttu menambahkan, menjadi pemandangan yang jamak warga Israel bersenjata lengkap dan menggunakan peluru tajam berjalan-jalan di mal, bus, kereta atau tempat ibadah. Yang menjadi masalah adalah lampu hijau yang diberikan oleh Netanyahu untuk “menghilangkan nyawa” warga Palestina.
Tanda Tanya Normalisasi
Eskalasi ketegangan yang semakin nyata di wilayah pendudukan Palestina membuat rencana normalisasi hubungan negara-negara Arab dan Israel menjadi semakin tak jelas. Bahkan, sebenarnya, ketika Netanyahu memenangi pemilihan umum dengan dukungan dari partai sayap kanan dan para politisi garis keras, prospek normalisasi diperkirakan semakin meredup.
Penyerbuan kamp pengungsi Jenin, Kamis (26/1/2023), membuat Arab Saudi dan beberapa negara Arab lainnya mengambil sikap tegas. Pemerintah menyebutkan, tidak ada normalisasi hubungan tanpa stabilitas dan penghormatan terhadap hak-hak serta kehidupan rakyat Palestina.
Baca juga : Arab Saudi-Israel Tukar Guling, Palestina Makin Terpinggirkan
"Kami telah mengatakan secara konsisten bahwa kami percaya normalisasi dengan Israel adalah sesuatu yang sangat menarik bagi kawasan itu. Normalisasi dan stabilitas sejati hanya akan datang dengan memberikan harapan kepada warga Palestina, dengan memberikan martabat kepada warga Palestina,” kata Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan al Saud, kepada Bloomberg TV dalam wawancara yang diadakan di sela-sela Forum Ekonomi Dunia di Davos, Kamis (26/1/2023).
Faisal mengatakan, normalisasi hanya bisa dilakukan di atas kesepakatan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. (Kompas.id, 27 Januari 2023)
Baca juga : Satu Per Satu Negara Arab Jatuh ke Pelukan Israel, Kini Giliran Maroko
Perjanjian Abraham yang ditandatangani Bahrain, Uni Emirat Arab, Maroko, dan Sudan serta Israel, Agustus 2021, semula diharapkan akan menjadi batu loncatan bagi perluasan hubungan yang lebih baik antara Arab dan Israel. Presiden UEA Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahyan menelepon Netanyahu untuk mengucapkan selamat atas pelantikannya dan menyuarakan harapannya untuk mendorong jalan kemitraan dan perdamaian antara kedua negara.
Pemerintah Bahrai juga sempat menyatakan bahwa mereka berkomitmen bekerja sama dengan pemerintahan Netanyahu untuk hubungan yang lebih baik dan erat. Seorang juru bicara pemerintah Bahrain mengatakan kesepakatan itu memberikan jalan menuju perdamaian dengan cara yang menjamin hak-hak rakyat Palestina, dengan pembentukan negara Palestina merdeka dengan Jerusalem timur sebagai ibu kotanya.
Netanyahu juga berjanji melanjutkan pencapaian itu, membuka jalan bagi kemungkinan normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab lainnya. Dia ingin memupuk hubungan bahkan dengan Arab Saudi, pemerintahan yang paling konservatif.
"Perdamaian dengan Arab Saudi akan memiliki dua tujuan. Itu akan mengubah wilayah kita dengan cara yang tak terbayangkan. Dan saya pikir itu akan memfasilitasi, pada akhirnya, perdamaian Palestina-Israel,” katanya dalam saluran TV swasta Saudi Al Arabiya bulan lalu.
Dengan adanya konflik antara Palestina-Israel akan membuat posisi para penandatangan Perjanjian Abraham sangat sulit.
Akan tetapi, dengan adanya konflik antara Palestina-Israel akan membuat posisi para penandatangan Perjanjian Abraham sangat sulit. Apalagi kini Netanyahu dikelilili para politisi sayap kanan dan dikenal dengan sikapnya yang keras terhadap warga Palestina.
“Baik UEA dan Bahrain pasti tidak akan menyukai pemerintah ini karena ini pasti akan menguji hubungan mereka dengan Israel. UEA dan Bahrain akan mengalami tekanan untuk melakukan sesuatu,” kata Aziz Alghashian, seorang analis Saudi yang berspesialisasi dalam hubungan Teluk-Israel.(AP/AFP/REUTERS)