Penembakan massal di Amerika Serikat seakan tak berujung. Rakyat tak lagi merasa aman pergi ke mana pun karena penembakan bisa terjadi di mana saja. Pemerintah AS didesak tegas kendalikan senjata.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
Saat masyarakat di seluruh dunia tengah bergembira merayakan Tahun Baru dan menata harapan untuk hidup lebih baik, Amerika Serikat justru memulai tahun 2023 dengan serentetan penembakan massal. Belum juga Januari berakhir, 11 orang tewas saat sedang merayakan Tahun Baru China atau Imlek di sebuah aula dansa yang populer di kalangan orang lanjut usia Asia-Amerika di California, Senin (23/1/2023). Seorang ibu remaja dan bayinya tertembak dalam serangan yang menewaskan lima generasi. Seorang anak berusia 6 tahun menembak gurunya di kelas.
Menurut data penembakan massal yang dikelola kantor berita the Associated Press, USA Today, dan Northeastern University, pada tahun lalu, di hari yang sama, 23 Januari 2022, enam penembakan merenggut 39 nyawa. Kekerasan bersenjata dan penembakan massal seperti itu tidak akan berakhir jika Pemerintah AS tidak segera melakukan sesuatu.
”Selama beberapa tahun terakhir, banyak kasus kekerasan massal seperti ini. Kapan ini akan berakhir?” kata Guru Besar Kesehatan Masyarakat di University of North Carolina di Charlotte, AS, Apryl Alexander.
Pembantaian di aula dansa Star Ballroom Dance Studio di California mengungkit kenangan menyakitkan bagi keluarga korban penembakan di sekolah di Uvalde, Texas, tahun lalu. Beberapa keluarga dan orangtua dari Uvalde, Selasa (24/1/2023), mendatangi gedung Capitol di Washington DC untuk kembali mendesak pemerintah mengesahkan undang-undang yang mengatur persenjataan dengan lebih ketat. Mereka sadar peluang mereka untuk menang kecil karena badan legislatif dikendalikan Partai Republik.
”Orang-orang sekarat setiap hari. Ini seharusnya tidak terjadi,” kata Veronica Mata. Anak Mata, Tess, yang berusia 10 tahun termasuk di antara 19 anak dan dua guru yang tewas ditembak di Uvalde. ”Jika kami harus datang setiap minggu, kami akan melakukannya sampai kami melihat ada perubahan,” katanya.
Banyaknya penembakan massal di AS membuat hidup rakyat tidak tenang karena bisa terjadi di mana saja, bisa di toko kelontong, konser, taman, sekolah, di rumah teman atau tetangga, bahkan di gereja. Persoalan apa pun bisa menjadi pemicunya: kebencian atau dendam pada orang lain, komunitas lain, ketidakpuasan pada situasi, atau kecemburuan pada orang lain. Celakanya, itu sering kali berakhir dengan penggunaan senjata api.
”Tidak ada konflik atau persoalan yang jelas. Alasannya tidak jelas. Laki-laki itu masuk saja ke toko lalu mulai menembak,” kata Kepala Kepolisian Yakima Matt Murray, yang menjelaskan perihal penembakan di toko serba ada Circle K yang menewaskan tiga orang itu, Selasa.
Senjata laris
Penjualan persenjataan di AS mencapai titik tertinggi dalam sejarah. Sedikitnya 23 juta senjata api terjual pada 2020. Pada 2021, penjualan melonjak 75 persen pada bulan yang sama ketika massa pendukung mantan Presiden AS Donald Trump menyerbu gedung Capitol. Lalu pada tahun ini penjualan turun menjadi sekitar 16 juta senjata.
Para ahli memperkirakan terdapat 393 juta senjata yang ada di tangan warga di seluruh AS. Jumlahnya sudah melebihi jumlah penduduk AS yang mencapai 333 juta jiwa. Banyak warga AS yang mengeluhkan tidak merasa aman lagi tinggal di mana pun di AS. Asosiasi Psikologi Amerika dalam studi terbarunya menunjukkan mayoritas warga AS merasa stres dan mulai menghindari tempat-tempat tertentu.
Untuk mencoba mengatasi persoalan ini, ada sebagian orang yang mulai mengajarkan ketrampilan resolusi konflik di sekolah atau memperbaiki pandangan masyarakat mengenai maskulinitas. Alexander mengatakan, pembelajaran sosio-emosional mengajarkan anak cara mengidentifikasi perasaan mereka, cara mengekspresikan diri, serta cara mengelola konflik baik di dalam diri dan yang berhubungan dengan orang lain. Ini bisa dilakukan sejak di dalam keluarga.
Jika ini dilakukan, peristiwa seorang anak berusia 6 tahun di Virginia yang menembak dan melukai gurunya di depan teman-teman sekelasnya tidak akan terjadi. ”Anak-anak pasti nantinya akan menjadi orang dewasa. Jika mereka tidak tahu cara mengelola konflik atau menangani konflik, kekerasan bersenjata atau pembunuhan massal tidak akan bisa hilang,” ujarnya.
Jika di dalam keluarga persoalan tidak segera ditangani, bisa jadi seseorang akan melampiaskannya ke keluarga sendiri atau orang di luar keluarga. Seperti yang terjadi dalam kasus pembunuhan massal 4 Januari lalu di Utah. Seorang laki-laki Utah pernah diadukan karena kasus pelecehan anak pada 2020 tetapi tidak pernah dituntut. Ia menembak dan membunuh istrinya, ibunya, dan kelima anaknya sebelum kemudian ia bunuh diri. Tidak jelas apa persoalannya.
Terlalu banyak senjata di negara ini. Harus ada perubahan. Kita sebagai masyarakat modern tidak bisa hidup dengan cara begini.
Sejak 2006, diketahui ada 2.793 orang yang kehilangan nyawa dalam penembakan massal. Pada tahun 2022, terjadi 42 penembakan massal. ”Terlalu banyak senjata di negara ini. Harus ada perubahan. Kita sebagai masyarakat modern tidak bisa hidup dengan cara begini,” kata Presiden Dewan Pengawas San Mateo County Dave Pine.
Ada yang menduga kekerasan di AS terkait dengan masa-masa pandemi Covid-19 ketika orang terpaksa mengisolasi diri satu sama lain dan menghilangkan kemampuan untuk mengatasi kesulitan hidup. Masyarakat kemudian cenderung membiarkan dan menganggap biasa penyakit keputusasaan seperti kesepian, kecanduan, dan kekerasan senjata. Media sosial, gereja, pekerjaan dari jarak jauh, dan realitas virtual mungkin ”nyaman”, tetapi secara moral semua itu tidak bisa menggantikan hubungan antarmanusia yang sangat penting.
”Pandemi memperkuat dan mempercepat begitu banyak tren yang berbahaya. Kita mengalami resesi sosial yang benar-benar menghancurkan jiwa. Orang juga menjadi kurang berpartisipasi secara sosial dan keagamaan,” kata Presiden Princeton Theological Seminary Jonathan Lee Walton. (AP)