Ketika Universitas Harvard Tersandung Isu Konflik Palestina-Israel
Setelah dikecam dan menjadi sasaran kritik terkait isu kebebasan akademik dan pengaruh donatur, Universitas Harvard mengoreksi keputusan menolak beasiswa penelitian bagi mantan direktur eksekutif Human Right Watch.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·4 menit baca
Universitas Harvard, salah satu universitas paling bergengsi di AS—dan juga di dunia—menarik kembali keputusannya menolak beasiswa bagi pegiat hak asasi manusia (HAM), Kenneth Roth yang selama ini bersikap kritis terhadap Israel. Melalui pengumuman, Kamis (19/1/2023), Dekan Harvard Kennedy School, Douglas Elmendorf, menyatakan, pihaknya kini memutuskan memberi beasiswa (fellowship) pada Roth.
Roth, Direktur Eksekutif Human Rights Watch (HRW) 1993-2022, awalnya direkrut oleh Carr Center for Human Rights Policy pada Harvard Kennedy School untuk menjadi peneliti. Ia menerima undangan itu. Namun, beberapa pekan kemudian, pada Juli 2022, Roth ditelepon oleh pihak Carr Center for Human Rights Policy dan diberi kabar bahwa Elmendorf tidak menyetujui perekrutan dirinya.
Saat itu Roth tidak diberi tahu alasan mengapa dirinya ditolak oleh Harvard. Ia meyakini, hal itu terkait kritik-kritiknya dan HRW yang dipimpinnya terhadap Israel. Dalam artikelnya yang dimuat Guardian (10 Januari 2023), Roth menduga tanpa memberikan bukti bahwa Elmendorf kemungkinan cemas dengan reaksi para donatur Harvard pro-Israel andai Harvard menerima Roth.
Hal itu disampaikan lagi Roth dalam wawancara dengan The New York Times (NYT). ”Kelihatan jelas ini masalah pengaruh donatur yang menggerogoti kebebasan intelektual,” kata Roth. Saat diminta tanggapan oleh NYT mengenai hal itu, juru bicara Universitas Harvard mengatakan, pihaknya maupun Rektor Lawrence Bacow tidak memiliki komentar.
Majalah The Nation, mengutip Kathryn Sikkink, akademisi bidang HAM di Harvard Kennedy School, menyebutkan bahwa penjelasan Elmendorf atas penolakan terhadap Roth dikaitkan dengan pandangan HRW yang dinilai ”bias anti-Israel” dan kritik-kritik Roth—termasuk melalui cuitan-cuitan di Twitter—pada Israel.
Dalam pernyataannya, Kamis (19/1/2023), Elmendorf mengaku bersalah dan meminta maaf atas keputusannya sebelumnya menolak beasiswa Roth. Ia menegaskan, keputusan awal dirinya tidak dipengaruhi oleh para donatur atau terdorong untuk membatasi perdebatan di Kennedy School. Keputusan itu, kata Elmendorf, didasarkan pada ”evaluasi saya terhadap potensi kontribusi terhadap (Harvard Kennedy) School”.
”Saya meminta maaf karena keputusan itu secara tidak disengaja telah mencuatkan keraguan terhadap misi (Harvard Kennedy) School dan komitmen kami untuk membuka perdebatan lewat cara-cara yang tidak saya inginkan dan saya tidak yakini seperti itu adanya,” ujar Elmendorf.
Melalui pernyataan yang diunggah pada akun Twitter-nya, Roth mengatakan dirinya ”sangat gembira” pada keputusan terbaru Harvard. Kepada kantor berita Associated Press (AP), ia berharap bisa memulai riset dan keterlibatan di Universitas Harvard, Februari mendatang. ”Saya sudah lama merasa, Carr Center and the Kennedy School akan menjadi tempat yang cocok bagi saya untuk menulis buku yang sedang saya kerjakan,” kata Roth.
Transparansi
Meski demikian, Roth juga mendesak transparansi dari Harvard untuk menjelaskan apa yang menyebabkan Elmendorf membuat keputusan awal menolak beasiswa terhadap dirinya. Roth juga menginginkan, Harvard bisa menunjukkan bahwa respons atas kasus dirinya bukan semata karena dia adalah ”sosok yang dikenal”.
Ia menambahkan, dirinya tetap khawatir soal isu kebebasan akademik. Menurut Roth, kasus dirinya menjadi perhatian luas, tak lepas dari posisinya selama hampir tiga dekade sebagai nakhoda HRW. ”Saya berharap, Kennedy School dan Universitas Harvard akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menegaskan kembali komitmen mereka pada kebebasan akademik, termasuk saat Israel dikritik sekalipun,” kata Roth kepada AP.
Saya berharap, Kennedy School dan Universitas Harvard akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menegaskan kembali komitmen mereka pada kebebasan akademik, termasuk saat Israel dikritik sekalipun.
”Persoalan orang dihukum atas kritiknya terhadap Israel tidak terbatas pada diri saya. Sebagian besar sarjana dan mahasiswa tidak memiliki kapasitas yang sama (seperti saya) dalam memobilisasi perhatian publik,” ujarnya.
Roth, anak keturunan Yahudi yang mengungsi dari persekusi Nazi Jerman, mengungkapkan bahwa aktivitas-aktivitas dan tugas-tugasnya telah membuat dirinya dijadikan musuh di seluruh dirinya. Ia menuturkan pembicaraan singkat antara dirinya dan Elmendorf sebelum tawaran beasiswa dirinya ditolak.
Kepada Elmendorf, Roth menyampaikan bahwa ia didukung oleh Pemerintah Rusia dan China dan ”cukup yakin, Pemerintah Israel membenci saya”. ”(Kata-kata) itu ternyata menjadi penyebab kekacauan ini,” ujar Roth.
Selama bertahun-tahun, HRW merilis sejumlah laporan yang menyatakan Israel diperkirakan telah melakukan kejahatan perang terhadap warga Palestina. Pada 2019, Israel mengusir direktur HRW di Palestina dan Israel, Omar Shakir, dengan tuduhan dirinya memboikot Israel dan teritorialnya.
Mengomentari hal tersebut, Roth—kala itu masih menjadi Direktur Eksekutif HRW—menyatakan Israel masuk ”kelompok pemerintah yang cukup buruk” dengan mencekal para peneliti HRW. Dua tahun kemudian, HRW juga menyebut kebijakan-kebijakan Israel terhadap Palestina sudah sama dengan apartheid. Israel dengan keras menolak label dan perbandingan dengan era apartheid Afrika Selatan.
Tentang kredibilitas
Keputusan awal Harvard menolak Roth menjadi perhatian banyak kalangan. Organisasi American Civil Liberties Union menyebut penolakan itu ”sangat meresahkan” dari sudut pandang hak asasi manusia maupun kebebasan akademik.
PEN America, kelompok pendukung kebebasan berpendapat, kasus tersebut mencuatkan ”pertanyaan serius tentang kredibilitas program Harvard”. Lebih dari 1.000 mahasiswa, staf, dan alumnus Harvard menandatangani surat berisi kecaman atas keputusan awal Elmendorf.
Karena itu, ketika Harvard merevisi keputusannya dengan menerima kembali Roth, banyak kalangan menyambut gembira. ”Penting bagi lembaga-lembaga untuk mampu mengakui pada sisi mana mereka membuat kesalahan yang melampaui batas kebebasan berbicara dan kebebasan akademik, dan kemudian meluruskannya; Harvard pantas menerima pujian atas hal itu,” ujar Jonathan Friedman, Direktur Kebebasan Berpendapat dan Pendidikan pada PEN America, melalui pernyataan.
Komite Solidaritas Palestina di Harvard juga menyampaikan dukungan atas keputusan terbaru Harvard. ”Kehadiran Roth di Kampus Harvard akan memberi nilai lebih pada para mahasiswa Harvard Kennedy School dan wacana lebih luas tentang HAM,” kata kelompok itu.
”Meski demikian, pengelola Harvard juga harus berbuat lebih banyak lagi untuk secara aktif mengetengahkan suara-suara dan perspektif Palestina,” lanjut komite tersebut.
”Seperti ditunjukkan dalam kasus Roth, para mahasiswa dan fakultas di Harvard semakin sadar akan ketidakadilan-ketidakadilan yang dialami Palestina di dalam maupun di luar kampus dan tidak akan tinggal diam jika universitas tersebut terus berupaya membungkam kritik terhadap Israel.”
Namun, kelompok pro-Israel mengkritik keputusan terbaru dan memuji keputusan sebelumnya. Isu konflik Palestina-Israel akhir-akhir ini menjadi pembahasan yang semakin intensif di banyak kampus di AS. Seruan gerakan memboikot Israel mendapat ruang lebih luas di kampus-kampus itu. Para pendukung Israel menuding gerakan boikot tersebut merupakan bagian dari agenda mendelegitimasi dan, bahkan, menghancurkan Israel. (AP/AFP/REUTERS)