Pemerintahan Donald Trump mendesak kampus-kampus di Amerika Serikat untuk kembali dibuka pada musim gugur nanti. Setiap mahasiswa asing yang kampusnya hanya membuka kelas daring terancam dideportasi.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
AP PHOTO/CHARLES KRUPA
Pejalan kaki berjalan di gerbang Harvard Yard di Harvard University, di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat, 13 Agustus 2019. Harvard dan Massachusetts Institute of Technology mengajukan gugatan federal atas kebijakan keimigrasian AS yang melarang mahasiswa asing untuk tinggal di AS jika program studinya hanya diselenggarakan secara daring.
WASHINGTON, KAMIS — Ratusan ribu pelajar atau mahasiswa asing di Amerika Serikat terancam dideportasi menyusul kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Donald Trump. Kebijakan ini memicu reaksi keras, bahkan dua perguruan tinggi di AS menggugat pemerintahan Trump, Kamis (9/7/2020).
Pada Senin (6/7/2020), Lembaga Imigrasi dan Bea Cukai AS atau dikenal dengan Immigration and Customs Enforcement (ICE) AS mengeluarkan kebijakan yang menyatakan bahwa pelajar atau mahasiswa asing pemegang visa F-1 dan M-1 yang berstatus aktif dan saat ini tinggal di AS serta hanya mengikuti kelas daring diminta meninggalkan AS atau pindah ke sekolah atau kampus yang memiliki program pembelajaran di dalam kelas.
Pemerintah AS tidak akan menerbitkan visa dan tidak akan memberikan izin masuk ke AS bagi pelajar atau mahasiswa yang hanya mengikuti kelas daring pada semester musim gugur 2020.
Namun, kebijakan ini dikecualikan bagi pelajar atau mahasiswa asing yang mengambil program pengajaran di dalam kelas atau program campuran antara daring dan belajar di kelas dengan persyaratan tertentu.
Akibat pandemi Covid-19 yang parah di AS, mayoritas perguruan tinggi di negara itu menyelenggarakan pembelajaran secara daring. Namun, Trump mendesak semua sekolah dibuka kembali pada awal semester musim gugur nanti.
REUTERS/LEAH MILLIS/FILE PHOTO
Presiden AS Donald Trump saat kampanye pertamanya di BOK Center di Tulsa, Oklahoma, 20 Juni 2020.
Berdasarkan data dari The Chronicle of Higher Education, dari 1.110 kampus, hingga saat ini mayoritas (60 persen) kampus akan membuka kembali program di kelas, 23 persen menawarkan program kombinasi di kelas dan daring, sebanyak 8,5 persen belum memutuskan program perkuliahannya, dan hanya 8 persen kampus yang akan menyelenggarakan kuliah daring.
Seorang mahasiswa di Calofornia State University di Los Angeles asal Pakistan, Taimoor Ahmed, mengatakan, dirinya kini takut visa studinya dicabut oleh pemerintahan Trump. ”Saya mungkin termasuk yang terdampak dari kebijakan ini jika mereka tidak menyediakan kelas langsung,” kata mahasiswa teknologi informasi berusia 25 tahun itu. ”Saya takut. Ini berpotensi mengubah rencana dan masa depan saya,” ucapnya, melanjutkan.
The New York Times melaporkan bahwa sebuah petisi daring untuk mendapatkan perhatian Gedung Putih soal kebijakan ini sudah ditandatangani oleh lebih dari 220.000 orang pada hari Rabu. Jumlah penanda tangan ini sudah melewati batas 100.000 sehingga petisi ini masuk dalam daftar isu yang akan dikaji oleh White House.
Selain itu, Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) juga menggugat pemerintahan Trump di pengadilan terkait kebijakan ICE ini.
”Kami akan melanjutkan kasus ini dengan gigih sehingga mahasiswa internasional kami dan mahasiswa internasional di universitas lain di negara ini bisa melanjutkan studi mereka tanpa takut ancaman deportasi,” kata Presiden Harvard Lawrence Bacow.
Jaksa Agung Massachusetts Maura Healey menyatakan, pihaknya juga berencana menggugat kebijakan ICE itu yang disebutnya ”kejam” dan ”ilegal”.
Kantor Jaksa Agung Massachusetts kini sedang mencari potensi langkah hukum apa yang bisa diambil sambil tetap berkomunikasi dengan Harvard dan universitas besar lainnya di negara bagian itu untuk ”mendukung usaha mereka melindungi mahasiswanya”.
Sekretaris Pers Gedung Putih Kayleigh McEnany menyarankan, daripada Harvard dan MIT menggugat kebijakan Trump, mahasiswa yang tidak bisa menjalani program belajar di dalam kelas seharusnya yang menggugat universitasnya.
AP PHOTO/CAROLYN KASTER
Bendera AS dikibarkan di luar Gedung Putih di Washington, AS, 5 September 2017.
”Mungkin sebaiknya gugatan berasal dari mahasiswa yang membayar yang kuliah penuh, tetapi tidak memiliki akses untuk belajar langsung di kelas,” kata McEnany dalam jumpa pers di Gedung Putih.
Mahasiswa Indonesia
Dalam pengumuman yang dirilis di laman resminya, Rabu (8/7/2020), Kedutaan Besar RI di Washington menyampaikan, perwakilan-perwakilan RI se-AS (KBRI dan seluruh KJRI) terus berkomunikasi dengan berbagai pihak terkait di AS untuk memperoleh informasi lebih jauh terkait kebijakan ini.
KBRI dan KJRI se-AS juga terus berkoordinasi dengan Persatuan Mahasiswa Indonesia di AS (PERMIAS) untuk memperoleh informasi perkembangan terkini terkait kebijakan sekolah atau kampus masing-masing dalam menyikapi situasi ini.
KBRI Washington mengimbau semua pelajar atau mahasiswa asal Indonesia untuk tetap tenang dan selalu mengikuti informasi terkait hal ini dari sumber yang resmi. Setiap informasi terbaru akan disampaikan secepatnya oleh KBRI.
Menurut data dari educationdata.org yang dikelola para penelisi di AS, jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di AS pada 2018-2019 sebanyak 8.356 orang. Negara penyumbang mahasiswa asing terbanyak di AS adalah China dengan 369.548 orang atau 43,77 persen dari seluruh mahasiswa asing di AS. (REUTERS/AFP)