Perusahaan di 13 Negara Bantu Myanmar Produksi Senjata
Kapasitas Myanmar memproduksi persenjataan meningkat sejak kudeta militer tahun 2021. Myanmar mendapat bantuan dari perusahaan-perusahaan yang berbeda di 13 negara di Amerika Serikat, Eropa, Asia, dan Timur Tengah.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
BANGKOK, SENIN — Perusahaan yang berasal dari setidaknya 13 negara, di antaranya Amerika Serikat, Eropa, Asia, dan Timur Tengah, selama ini telah membantu junta militer Myanmar membangun kapasitasnya untuk memproduksi persenjataan. Perusahaan-perusahaan dari 13 negara itu memastikan terjaminnya rantai pasok militer untuk kepentingan produksi persenjataan.
Tak heran jika perkembangan industri persenjataan dalam negeri Myanmar tetap bisa tumbuh pesat meski sejumlah negara memberlakukan embargo persenjataan atau menjatuhkan sanksi kepada individu dan perusahaan yang terlibat dalam perdagangan atau pembuatan senjata dengan junta militer Myanmar.
Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar memaparkan temuan mereka, Senin (16/1/2023). Di dalam laporan itu disebutkan, Myanmar telah meningkatkan produksi senjata sejak militer merebut kekuasaan yang memicu gerakan oposisi. Lembaga independen itu meminta perusahaan dari 13 negara itu segera menghentikan dukungan mereka pada junta militer Myanmar dan tidak memfasilitasi pelanggaran hak asasi manusia.
Pada Oktober 2022, Departemen Keuangan AS telah menjatuhkan sanksi kepada Aung Moe Myint, seorang pengusaha yang selama ini berhubungan dekat dengan junta militer Myanmar. Ia disebutkan memfasilitasi kesepakatan persenjataan dengan junta. Saudara Aung, Hlaing Moe Myint, dan perusahaan perdagangan yang mereka dirikan, Dynasty International Company Ltd, juga menjadi sasaran sanksi AS. Begitu pula dengan salah satu direktur perusahaan itu, Myo Thitsar. Pada November lalu, AS juga menjatuhkan sanksi pada perusahaan pemasok pesawat untuk junta militer.
Laporan itu juga menyebutkan Myanmar tidak memiliki perusahaan pembuat senjata swasta sehingga produksi persenjataan dilakukan oleh Kementerian Pertahanan dan Direktorat Industri Pertahanan Myanmar. Untuk bisa membuat senjata, ada sejumlah pabrik lokal yang memanfaatkan teknologi berlisensi dan mendapat pasokan peralatan dari luar negeri berikut dengan dukungan teknis dan dukungan lain yang dibutuhkan. Untuk urusan perawatan dan perbaikan, terkadang peralatan militer atau persenjataan dikirimkan ke Singapura dan Taiwan.
Chris Sidoti, salah satu pakar dalam dewan itu, mendesak agar perusahaan yang membantu Myanmar dalam memproduksi senjata dihukum atau dikenai sanksi. Pasalnya, persenjataan Myanmar jelas-jelas digunakan untuk menyerang warga sipil. ”Perusahaan asing yang mendapat untung dari penderitaan rakyat Myanmar harus dimintai pertanggungjawaban,” kata Sidoti, pengacara HAM dan pernah menjadi anggota Misi Pencari Fakta PBB di Myanmar dari 2017 hingga 2019.
Laporan senada dengan laporan dewan tersebut pernah dikeluarkan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, tahun lalu. Laporan itu juga menyebutkan nama-nama perusahaan terlibat. Perusahaan-perusahaan itu berada di Rusia, China, Ukraina, Israel, Singapura, dan Filipina.
Dulu militer Myanmar disebutkan hanya bisa membuat senjata kecil dan ringan, tetapi kini kemampuannya meningkat dan bisa memproduksi senapan serbu, mortir, senjata antitank dan antipesawat, rudal dan peluncur rudal, serta artileri dan sistem pertahanan udara. Ranjau darat dan ranjau laut juga sudah mulai dibuat Myanmar dan ini dibuktikan oleh foto-foto dari orang-orang yang pernah bekerja di salah satu pabrik persenjataan di Myanmar.
Pabrik senjata yang dikenal sebagai ”KaPaSa”, akronim dari nama lokal untuk Direktorat Industri Pertahanan, menggunakan komponen seperti sekering, pembidik optik, dan tutup peledak yang diimpor dari India dan China. Mereka juga memiliki kontrol numerik komputer, atau CNC, mesin untuk milling, grinding, dan fungsi lain yang dibuat di Austria, Jerman, Jepang, Taiwan, dan Amerika Serikat.
Tidak diketahui secara pasti jumlah pabrik persenjataan yang ada di Myanmar. Namun, dari analisis citra satelit diidentifikasi ada lusinan pabrik. Sebagian besar teknologi yang digunakan dalam industri pembuatan senjata dialihkan untuk penggunaan sipil sebelum militer menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis.
Untuk mengetahui lebih rinci perkembangan produksi senjata di Myanmar, laporan Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar itu menyebutkan masih perlu penelitian lebih lanjut pada jaringan pemasok persenjataan, pemberi lisensi teknologi, dan proses pembuatan senjata. Myanmar sudah didera konflik persenjataan selama puluhan tahun antara pemerintah pusat dan etnis minoritas yang menghendaki otonomi lebih luas, mayoritas di wilayah perbatasan.
Konflik Myanmar menjadi kian rumit ketika junta militer mengudeta pemerintahan sipil dan membalikkan hampir 10 tahun kemajuan Myanmar menuju demokrasi.
Sebelumnya, selama 50 tahun pemerintahan militer. Akibat konflik dan kudeta, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mencatat lebih dari 2.700 warga sipil tewas, termasuk 277 anak-anak, dan sedikitnya 13.000 orang ditahan. (AP)