Masalah Myanmar merupakan masalah yang paling banyak mendapat sorotan dan perhatian dunia. Banyak pihak, internasional ataupun regional, menaruh harapan sangat tinggi terhadap keketuaan Indonesia di ASEAN 2023.
Oleh
Rizal Sukma
·4 menit baca
Setelah berhasil melewati berbagai tantangan dan rintangan berat dalam menjalankan presidensi G20 tahun lalu, tahun ini Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan lain yang sama berat. Salah satu-nya masalah Myanmar.
Banyak pihak, internasional ataupun regional, menaruh harapan sangat tinggi terhadap keketuaan Indonesia di ASEAN 2023. Kepemimpinan Indonesia diharapkan bisa menyelesaikan berbagai tantangan dan masalah rumit yang dihadapi ASEAN saat ini.
Masalah Myanmar merupakan masalah yang paling banyak mendapat sorotan dan perhatian dunia. Sejak kudeta militer yang dilakukan Jenderal Minh Aung Hlaing pada 1 Februari 2021, Myanmar kembali terpuruk dalam kubangan konflik dan instabilitas politik yang berlarut-larut.
Korban kekerasan, baik yang tewas oleh kebrutalan militer maupun yang ditangkap, jumlahnya semakin meningkat. Perlawanan yang dilakukan pihak penentang kudeta, yang membentuk People’s Defence Forces (PDF), juga semakin meluas. Perkembangan ini dapat melahirkan konsekuensi serius bagi stabilitas di kawasan.
Upaya ASEAN untuk mencari solusi, melalui Konsensus Lima Poin (Five Points Consensus/5PC) yang disepakati dalam pertemuan para pemimpin ASEAN April 2021 di Jakarta, masih menemui jalan buntu. Alih-alih menjalankan 5PC, pihak junta militer Myanmar malah mengeluarkan Peta Jalan Lima Poin (Five Points Roadmap) tersendiri, termasuk rencana menyelenggarakan pemilu pada bulan Agustus mendatang.
Sikap para pemimpin ASEAN yang semakin keras, misalnya dengan tidak mengizinkan perwakilan junta mengikuti pertemuan tingkat tinggi ASEAN, hanya ditanggapi dengan dingin.
Kini, prospek selesainya masalah Myanmar ini masih tetap belum menemukan titik terang. Namun, hampir semua kalangan berharap Indonesia dapat melahirkan terobosan yang berarti.
Lalu, bagaimana sebaiknya Indonesia mendekati persoalan Myanmar ini?
Indonesia sudah barang tentu harus berjalan berdasarkan, dan merujuk pada, 5PC yang merupakan ”mandat” dari para pemimpin ASEAN. Lagi pula, terlepas dari kekurangannya, sejauh ini hanya 5PC satu-satunya ”kerangka penyelesaian” yang tersedia untuk penyelesaian masalah Myanmar.
Namun, penting bagi Indonesia untuk bersikap realistis, dengan memperhatikan dua karakteristik utama dari masalah Myanmar ini. Pertama, konflik Myanmar ini sangat kompleks, melibatkan multi-aktor, dan mustahil diselesaikan dalam waktu singkat. Oleh karena itu, proses implementasi 5PC perlu diletakkan dalam kerangka bina perdamaian komprehensif, koheren, dan jangka panjang.
Kedua, masalah Myanmar ini juga memiliki dimensi strategis-geopolitik yang tidak memungkinkan ASEAN menangani persoalan ini tanpa bekerja sama dengan dan melibatkan mitra dialog, khususnya China dan India.
Oleh karena itu, adalah tidak realistis untuk berharap bahwa ASEAN di bawah keketuaan Indonesia akan dapat menyelesaikan masalah ini dalam waktu satu tahun. Namun, belajar dari pengalaman keketuaan Brunei dan Kamboja sebelumnya, Indonesia bisa mencoba untuk membangun fondasi yang dapat membuka jalan ke arah penyelesaian.
Oleh karena itu, adalah tidak realistis untuk berharap bahwa ASEAN di bawah keketuaan Indonesia akan dapat menyelesaikan masalah ini dalam waktu satu tahun.
Untuk itu, Indonesia bisa mencoba untuk menjajaki kemungkinan memfasilitasi pelaksanaan poin kedua dari kelima ”mandat” yang diberikan oleh 5PC, yakni fasilitasi dialog yang melibatkan semua pihak di Myanmar.
Namun, fokus demikian membutuhkan dua prasyarat utama. Pertama, Indonesia perlu mengajak negara-negara anggota ASEAN lainnya untuk membahas bagaimana mengoperasionalisasikan 5PC. Misalnya, 5PC perlu disertai terms of reference yang rinci mengenai tugas dan kewenangan Utusan Khusus. Juga perlu ada rumusan konkret mengenai format ”dialog semua pihak” yang bisa ditawarkan oleh ASEAN.
Yang lebih penting lagi adalah, ”dialog semua pihak” itu perlu menyepakati hal-hal krusial, seperti penghentian kekerasan, mekanisme pemberian bantuan kemanusiaan, dan ”solusi” interim terhadap kebuntuan keadaan sekarang.
Kedua, untuk menjalankan pendekatan yang demikian itu, Indonesia perlu mengajak ASEAN untuk membangun komitmen jangka panjang, baik dari segi perhatian yang berkelanjutan, energi dan sumber daya diplomatik yang besar, maupun sumber daya finansial yang cukup.
Namun, pada saat yang sama, komitmen jangka panjang terhadap pencarian penyelesaian masalah Myanmar ini bukan berarti ASEAN hanya memusatkan perhatiannya pada isu ini. Bukan juga berarti bahwa isu Myanmar ini akan dibiarkan menjadi faktor yang mengalihkan perhatian ASEAN dari berbagai agenda dan isu lainnya.
Tantangan rumit ASEAN
Saat ini, ASEAN sedang dihadapkan pada sejumlah tantangan rumit. Tantangan itu, antara lain: (a) bagaimana merespons rivalitas strategis antara AS dan China, serta menjaga otonomi strategis ASEAN; (b) mendorong pemulihan ekonomi pascapandemi, yang kian dipersulit oleh perang Rusia-Ukraina; (c) penguatan kapasitas dan efektivitas kelembagaan ASEAN; (d) sengketa Laut China Selatan; dan (e) ikut menyumbang penyusunan tatanan regional Indo-Pasifik yang sejalan dengan ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP).
Semua isu tersebut memerlukan perhatian dan penanganan yang sama pentingnya dengan isu Myanmar.
Tugas Indonesia dalam hal ini tidak hanya sekadar ”mengetuai” (chairing), tetapi juga ”memimpin” (leading) ASEAN.
Dengan kata lain, meskipun perhatian internasional akan terfokus pada masalah Myanmar, dengan harapan yang tinggi dari komunitas internasional bahwa Indonesia akan dapat menyelesaikannya, isu ini bukanlah isu tunggal yang akan menjadi indikator sukses tidaknya keketuaan Indonesia. Keberhasilan Indonesia menjadi ketua ASEAN 2023 harus dilihat dari respons kolektif ASEAN terhadap keseluruhan agenda.
ASEAN akan sulit menjaga relevansi dan sentralitasnya jika tidak memiliki sikap dan suara yang sama dalam menyelesaikan masalah bersama. Tugas Indonesia dalam hal ini tidak hanya sekadar ”mengetuai” (chairing), tetapi juga ”memimpin” (leading) ASEAN.