Pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit akhirnya mendapatkan pengobatan dengan obat dari Barat, yakni Paxlovid dari Pfizer. Biasanya, China memilih obat produksi dalam negeri dan obat tradisional China.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
Ketika ayahnya yang berusia 83 tahun dan menderita diabetes mulai sering batuk dan mengeluhkan nyeri di seluruh badan, Li panik dan mencari obat Covid-19 ke mana-mana. Ia khawatir ayahnya tertular Covid-19 meski belum diperiksa secara medis. Li mendengar kabar ada obat antivirus bernama Paxlovid Pfizer yang mujarab. Namun, obat itu hanya diberikan kepada mereka yang dirawat di rumah sakit. Itu pun jika stok obatnya tersedia.
Li pun membawa ayahnya ke rumah sakit untuk melakukan CT-scan. Hasilnya, paru-paru ayahnya sudah terinfeksi. Begitu minta dirawat inap, rumah sakit menolak Li dengan alasan tidak ada dipan yang tersedia. Selama dua hari, Li meminta bantuan keluarga dan teman untuk mencari rumah sakit yang mau merawat ayahnya. Akhirnya ada rumah sakit lain, tetapi pasien harus tes antigen lanjutan dan CT-scan lagi sebelum mendapatkan obat Paxlovid Pfizer. Ayahnya pun langsung dirawat di unit perawatan intensif.
Namun, sudah terlambat. Ayahnya meninggal di hari yang sama ia mendapatkan Paxlovid Pfizer. ”Obat itu terlambat masuk. Ayah saya sudah terinfeksi selama seminggu, baru obat itu kami dapatkan,” kata Li kepada kantor berita Reuters, 12 Januari lalu.
Pengalaman Li ini ramai diperbincangkan di media lokal dan media sosial China yang menceritakan susahnya mendapatkan Paxlovid Pfizer di China melalui jalur resmi. Paxlovid—kombinasi dua obat antivirus—merupakan salah satu dari sedikit obat minum asing yang sudah disetujui China dan lolos uji klinis sejak Februari 2022.
Obat ini diketahui mampu menekan jumlah pasien yang membutuhkan rawat inap dan efektif bagi pasien berisiko tinggi. Namun, sejak disetujui, obat ini hampir tidak digunakan di China hingga akhirnya digunakan sejak Desember lalu ketika kasus Covid-19 kembali melonjak. Otoritas kesehatan China mengakui, pasokan Paxlovid ini belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan.
CEO Pfizer Albert Bourla, pekan lalu, mengatakan, tahun lalu pihaknya sudah mengirimkan ribuan Paxlovid dan dalam beberapa pekan terakhir sudah jutaan kemasan dikirim. ”Pfizer mengamankan pasokan Paxlovid yang memadai untuk China. Kami berkomitmen memenuhi kebutuhan pengobatan Covid-19 dan bermitra dengan Pemerintah China,” sebut pernyataan tertulis Pfizer.
Obat-obatan Barat
Demi menekan jumlah kematian akibat Covid-19, China terpaksa ”menyerah” pada obat-obatan dari Barat. Biasanya China enggan menggunakan obat-obatan dari Barat dan lebih memilih menggunakan produksi dalam negeri, terutama obat-obatan tradisional China. Namun, karena jumlah kematian bertambah cepat, China terpaksa menggunakan Paxlovid Pfizer serta sudah menyetujui obat antivirus Covid-19 dari Merck & Co dan kini sedang meninjau obat yang dikembangkan Shionogi Jepang.
Paxlovid dilindungi oleh asuransi negara meski hanya sementara hingga akhir Maret mendatang. Karena masuk dalam asuransi negara, pasien secara teori hanya perlu membayar 29 dollar AS, sepersepuluh dari harga normal.
Pemerintah China tidak memberikan data jumlah kasus yang mendapatkan Paxlovid dan di mana obat itu bisa dibeli. Karena serba tidak jelas, banyak pasien yang mengandalkan informasi dari media, informasi dari mulut ke mulut, bahkan sampai mengimpor secara ilegal di pasar gelap. Mereka yang akhirnya berhasil menemukan pemasok biasanya harus membayar obat itu dengan harga selangit. Apalagi, karena permintaan Paxlovid sedang melonjak.
Pasar gelap
Harian Guangzhou Daily menyebutkan, pasien di rumah sakit United Family Healthcare di Guangdong harus membayar 891 dollar AS untuk pemeriksaan kesehatan sebelum diperbolehkan mendapatkan Paxlovid dengan harga 2.300 yuan atau sekitar Rp 5 juta di rumah sakit.
Perusahaan data kesehatan, Airfinity, pada Desember lalu, memperkirakan, China akan membutuhkan 49 juta obat selama lima bulan ke depan dengan lebih dari 22 juta untuk kebutuhan Januari saja. Paxlovid bisa juga dibeli dengan harga 2.170 yuan atau sekitar Rp 4,5 juta dengan resep melalui platform online. Namun, biasanya sudah terjual habis dalam hitungan detik saja.
Saking susahnya, banyak yang membeli obat itu lewat pasar gelap. Ada yang memang sedang sangat membutuhkan untuk keluarga yang sakit, tetapi lebih banyak yang membeli hanya untuk berjaga-jaga saja jika membutuhkan.
Chen Jun, warga Provinsi Hainan, mengaku membeli Paxlovid dari penjual yang diperkenalkan teman bisnisnya. Obat itu disebut berasal dari Hong Kong. Untuk dua kotak Paxlovid yang dibutuhkan orangtuanya yang sudah lansia dan menderita kanker, Chen harus membayar 20.000 yuan atau sekitar 2.972 dollar AS pada 2 Januari lalu.
”Ada orang yang mau beli dengan harga dua kali lipat. Harga itu menjadi tidak mahal saat ada keluarga kita yang sangat membutuhkan. Obat apa pun akan dibeli daripada harus ke rumah sakit,” kata Chen.
Ray, pembeli Paxlovid, juga mengaku mendapatkan dua kotak Paxlovid dari Amerika Serikat. Di sana, stok Paxlovid masih banyak dan resep dokter bisa diperoleh dengan mudah setelah konsultasi online. ”Prosesnya sangat mudah dan mereka tidak bertanya macam-macam,” ujarnya. Setelah membeli secara online, ia kemudian meminta bantuan teman di AS untuk mengirimkannya ke China.
Ada juga seorang analis di perusahaan sekuritas China yang menceritakan atasannya sampai pergi ke Hong Kong untuk membeli Paxlovid dan memberikannya sebagai hadiah kepada klien. Pasalnya, obat itu sekarang lebih dihargai ketimbang minuman keras yang populer dan mahal sekalipun. ”Itu adalah hadiah yang lebih baik daripada minuman keras Moutai,” ujarnya. Harga satu botol Moutai dengan volume 500 mililiter dijual dengan harga sekitar Rp 2 juta.
Data jujur
Pemerintah China, Sabtu lalu, melaporkan terdapat 59.938 orang meninggal akibat Covid-19 hanya dalam waktu sebulan atau sejak 8 Desember 2022 hingga 12 Januari 2023. Ini jumlah korban resmi yang pertama kali diumumkan Komisi Kesehatan Nasional China (NHC) sejak kebijakan pembatasan terkait Covid-19 dilonggarkan, awal Desember lalu. Angka 59.938 orang ini jauh melebihi jumlah kematian yang selama ini dipublikasikan, yakni sekitar 5.500 orang. NHC menyebutkan, angka 59.938 orang ini hanya korban yang meninggal di fasilitas medis dan tidak termasuk mereka yang meninggal di rumah. Ini artinya, jumlah korban kemungkinan lebih banyak.
Dari jumlah 59.938 orang itu, 5.503 orang di antaranya meninggal karena kegagalan pernapasan akibat Covid-19 dan 54.435 orang meninggal karena komplikasi penyakit yang sudah diderita dan menjadi parah karena Covid-19. Rata-rata usia korban yang meninggal adalah 80,3 tahun dan lebih dari 90 persen kematian di atas usia 65 tahun.
China merevisi metodologinya untuk mengategorikan kematian akibat Covid-19 dengan hanya menghitung mereka yang meninggal karena gagal pernapasan yang disebabkan oleh Covid-19. Kebijakan ini dikritik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menilai definisi itu terlalu sempit. Sekretaris Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus meminta China memberikan data mengenai jumlah pasien rawat inap dan jumlah kematian dengan lebih cepat dan tepat serta bisa dipercaya.