Pemberian obat oral Covid-19 di awal infeksi signifikan mencegah timbulnya gejala berat dan kematian. Di dunia, obat tersebut masih menjadi rebutan. Perlu langkah tepat untuk memastikan ketersediaan obat.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Obat oral untuk Covid-19 terus bertambah jenisnya. Pemerintah Jepang sedang mempertimbangkan untuk mempercepat pemberian izin edar dan izin penggunaan obat oral Covid-19 dari perusahaan farmasi Shionogi.
Siaran pers Shionogi pada 31 Januari 2022 menyebutkan, hasil uji klinis fase 2a dari S-217622, kode nama obat oral antivirus, menunjukkan efek pengurangan virus secara cepat dibandingkan dengan plasebo dan tidak ada efek samping serius.
Obat yang dikembangkan Universitas Hokkaido dan Shionogi itu mampu menekan replikasi SARS-CoV-2 dengan menghambat protease 3CL secara selektif.
Selama ini, obat Covid-19 umumnya diberikan secara intravena (suntik atau infus) sehingga harus dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Misalnya, obat antivirus remdesivir, atau antibodi monoklonal untuk mengatasi respons kekebalan tubuh yang berlebihan atau badai sitokin pada penderita Covid-19 yang parah, seperti tocilizumab, sarilumab.
Antivirus oral yang ada sebelumnya, favipiravir, sebenarnya obat flu. Sementara baricitinib adalah obat artritis reumatik yang berfungsi mengurangi peradangan dan sebagai antivirus.
Sejauh ini ada dua obat oral Covid-19 di pasaran, yakni molnupiravir (Lagevrio) produksi Merck dan kombinasi nirmatrelvir dan ritonavir (Paxlovid) produksi Pfizer.
Keberadaan obat oral sangat membantu mengurangi beban fasilitas kesehatan. Pemberian di awal infeksi signifikan mencegah timbulnya gejala berat.
Obat oral bukan pengganti vaksinasi. Keduanya sama penting.
Meski efikasi nirmatrelvir dan ritonavir diklaim 89 persen dan molnupiravir sekitar 50 persen dalam mengurangi risiko rawat inap atau kematian, obat oral bukan pengganti vaksinasi. Keduanya sama penting.
Vaksinasi perlu untuk menimbulkan antibodi yang melindungi tubuh dari virus. Sementara antivirus oral berfungsi menghambat replikasi virus di awal infeksi. Jika diberikan terlambat, saat gejala mulai berat, obat itu tak banyak bermanfaat.
Saat ini, obat oral produksi Merck dan Pfizer sudah diborong dan dipesan negara-negara kaya di Eropa dan Amerika. Bahkan Jepang pun hanya kebagian molnupiravir 1,6 juta dosis dengan membayar 1,2 miliar dollar AS. Kekurangannya akan dipenuhi oleh obat oral Shionogi.
Negara berpenghasilan menengah kebagian dari perusahaan farmasi yang mendapat voluntary licensing (VL) dari pemegang paten. Misalnya, Indonesia membeli molnupiravir dari Hetero Labs Ltd, India.
Belajar dari kasus vaksin Covid-19 yang sempat terhambat ketika negara produsen dilanda gelombang kasus besar, langkah pemerintah untuk memastikan ketersediaan obat sudah tepat. Yakni, mendorong produksi obat di Indonesia. Tentu saja tidak sekadar mengemas, tetapi juga mampu memproduksi bahan baku.