Jerman Didesak Kirim Tank untuk Ukraina
Ukraina meminta diberikan tank berat, seperti Leopard Jerman atau Abrams AS. Jerman terus menolak memberikan persenjataan berat ke Ukraina.
LVIV, KAMIS — Tekanan kepada Jerman untuk memberikan tank berat Leopard kepada Ukraina semakin membesar. Kiriman senjata ke Ukraina dikhawatirkan membuat Amerika Serikat kekurangan persenjataan tahun ini.
Tekanan terbaru pada Jerman diberikan Presiden Polandia Andrej Duda. ”Kami ingin koalisi internasional dan kami telah memutuskan memberikan kontribusi pertama kepada koalisi internasional ini: satu batalyon tank. Polandia sudah memutuskan,” ujarnya, Rabu (11/1/2023) sore di Lviv, Ukraina, atau Kamis dini hari WIB.
International Institute for Strategic Studies (IISS) mencatat, Warsawa punya 242 unit tank Leopard 2A4 dan Leopard 2A5. Di seluruh Eropa, paling sedikit ada 2.000 tank buatan Jerman tersebut. Warsawa sudah mengikat kontrak membeli 416 tank M1A1 Abrams dari AS dan 180 tank K2 dari Korea Selatan.
Baca juga: Washington Panen Miliaran Dollar AS di Tengah Krisis Rusia-Ukraina
Belum diketahui apakah Polandia sudah berkomunikasi dengan Jerman soal hibah kepada Ukraina itu. Dalam kesepakatan pembelian, setiap negara pengguna Leopard harus mendapat izin Jerman jika akan memberikan tank itu kepada negara lain.
Sejak perang meletus hampir setahun lalu, Ukraina telah meminta diberikan tank berat seperti Leopard Jerman atau Abrams AS. Sampai sekarang, Kyiv belum mendapat keinginan itu. Jerman terus menolak memberikan persenjataan berat ke Ukraina.
Sekutu-sekutu di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) terus menekan Jerman agar memberikan tank ke Ukraina. Selain oleh Polandia, tekanan juga dilancarkan Perancis. Jerman semakin ditekan dengan pengumuman Inggris yang mempertimbangkan hibah tank berat Challenger 2. Seperti Leopard dan Abrams, Challenger 2 juga tank berat untuk palagan tempur utama.
Panser
Sejauh ini, Kanselir Jerman Olaf Scholz baru menyetujui pengiriman 40 panser marder. Scholz mengumumkan persetujuan itu bersama Presiden AS Joe Biden pekan lalu. AS juga akan mengirimkan 50 panser Bradley ke Ukraina.
Tepat sehari sebelum pengumuman Biden-Scholz, Presiden Perancis Emmanuel Macron mengungkap, Paris akan memberikan panser AMX-10 RC ke Kyiv. Dalam pengumuman pada Kamis pekan lalu itu, Macron tidak mengungkap berapa banyak panser akan diberikan ke Ukraina.
Selain panser Bradley, AS memberikan 18 meriam swagerak Paladin untuk Ukraina. Ada pula 4.000 roket zuni yang dapat ditembakkan dari pesawat.
Dalam paket bantuan terbarunya, ada 100 unit M113 panser angkut personel. Dengan demikian, kini Ukraina punya 300 unit M113. Bradley dan M113 sama-sama bisa mengangkut pasukan. Bedanya, Bradley dilengkapi meriam yang bisa menembakkan peluru antitank dan lapisan bajanya lebih tebal. ”M113 lebih mirip taksi di medan perang,” kata peneliti senior Center for Strategic and International Studies (CSIS) Washington, Mark Cancian.
Baca juga: Tenaga Alih Daya di Medan Laga, Bisnis Menggiurkan di Tengah Konflik
Moskwa menaksir, sejak perang meletus, Washington dan sekutunya telah mengucurkan persenjataan bernilai sedikitnya 48,5 miliar dollar AS ke Kyiv. Nilai bantuan AS dan sekutunya ke Rusia hanya sedikit di bawah anggaran pertahanan Rusia tahun 2022 yang bernilai 51,1 miliar dollar AS.
Masalah
Pengiriman senjata ke Ukraina bukan tanpa masalah. Meski ikut menekan Jerman soal Leopard, Perancis juga belum memberikan tank berat ke Ukraina. Dalam berbagai kesempatan, Kyiv meminta Paris memberikan tank Leclerc. Menurut Paris, permintaan itu sedang dibahas. Pertimbangan utamanya adalah tank itu tidak diproduksi lagi. Akan sulit mencari suku cadangnya.
Para perwira NATO sedang mencari cara mengirimkan, lalu mengoperasikan tank berat ke Ukraina. Sejak 2015, Kyiv melarang kendaraan dengan bobot lebih dari 45 ton melintas di jalan raya. Padahal, berat Leclerc, Leopard, Challenger, dan Abrams di atas 50 ton.
Direktur Jenderal Angkatan Laut AS Carlos del Toro mengaku cemas pada cadangan persenjataan negara. ”Akan segera tiba masanya AL harus memutuskan mempersenjatai diri sendiri atau Ukraina,” ujarnya dalam acara AL AS pada Rabu malam di Virginia, sebagaimana dikutip Defense One dan Defense News.
Kondisi itu bisa terjadi jika perang terus berlanjut sepanjang 2023 dan tingkat produksi persenjataan masih seperti sekarang. ”Kalau perang berlanjut dalam enam bulan sampai setahun mendatang, jelas akan ada tekanan pada rantai pasok,” ujarnya.
Departemen Pertahanan AS telah mendesak produsen persejataan mempercepat produksi mereka. Direktur Jenderal Pengadaan di Dephan AS Bill LaPlante dan Wakil Menteri Pertahanan AS Kathleen Hicks disebut terus membantu industri pertahanan AS mengatasi hambatan produksi.
Sebelum Del Toro, Panglima Pasukan Gabungan AL AS Laksamana Dary Caudle telah lebih dulu mengungkap kekhawatiran soal itu. Caudle juga cemas AL AS harus memilih mempersenjatai diri sendiri atau Ukraina. Kecemasan itu dilontarkan meski mayoritas hibah dari AS untuk Ukraina berasal dari gudang senjata Angkatan Darat. Sejauh ini, persenjataan laut dari AS ke Ukraina hanya rudal Gagak Laut dan Harpoon.
Caudle menolak alasan yang diajukan produsen pertahanan soal rantai produksi yang masih terdampak pandemi Covid-19. Sebelum pandemi pun, aneka pesanan AL AS terlambat diberikan. Pesanan torpedo Mark 48 dan rudal SM-6 terlambat karena pemasok motor roketnya telat mengirimkan komponen itu. ”Mereka (industri pertahanan) tidak mengirimkan sesuai dengan jadwal,” katanya sebagaimana dikutip Defense One.
Cadangan persenjataan AS kini tidak cukup mempersenjatai 75 kapal perang secara bersamaan. Padahal, AS membutuhkan operasi kapal perang sebanyak itu sebagai jumlah minimal untuk menjaga kepentingan dan keamanannya.
Baca juga: Beragam Senjata Pertahanan Udara Ukraina untuk Tangkis Gempuran Rusia
Juru bicara kantor Kepresidenan Rusia Dmitry Peskov menyebut, AS dan sekutunya sadar persenjataan mereka menipis karena dikirimkan ke Ukraina. Meski demikian, mereka memilih terus mempersenjatai Kyiv agar bisa melawan Moskwa secara tidak langsung. ”AS dan sekutunya siap terus mengucurkan uang dan senjata. Padahal, mereka cemas cadangan senjatanya menipis,” ujarnya sebagaimana dikutip TASS.
Ia menyoroti sejumlah politisi di AS dan sekutunya yang mulai mempertanyakan bantuan untuk Ukraina. Pertanyaan mereka, antara lain, ialah soal cara mengawasi agar bantuan itu tidak disalahgunakan. ”Ini soal uang sangat besar dan tidak jelas bagaimana mekanisme pengawasannya,” kata Peskov.
Dari setidaknya 150 miliar dollar AS bantuan Washington dan sekutunya ke Kyiv, 102 miliar dollar AS, di antaranya, merupakan bantuan keuangan dan produk jadi. Sampai sekarang, AS dan sekutunya ataupun Ukraina tidak pernah menyebut bagaimana cara memantau aliran uang itu. (AFP/REUTERS/AP)