AS Keluar dari Afghanistan, China Gencar Bidik Proyek Energi dan Infrastruktur
Setelah Amerika Serikat ”keluar” dari Afghanistan, perusahaan-perusahaan China mengincar proyek energi dan infrastruktur di Afghanistan. Begitu juga dengan Rusia.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
KABUL, MINGGU — Pemerintah Taliban memberi lampu hijau pada sebuah perusahaan minyak China untuk mengelola minyak di cekungan Amu Darya dan cadangan minyak di Provinsi Sar-e Pul, Afghanistan. Sejumlah perusahaan asal ”Negeri Tirai Bambu” juga mengincar proyek-proyek pengembangan energi di Afghanistan. Pemberian kontrak ini tidak lepas dari upaya Taliban untuk mengurangi ketergantungannya terhadap bantuan dari luar negeri.
Penandatanganan kontrak kerja sama dilakukan, Kamis (5/1/2023), di Kabul, oleh Penjabat Menteri Pertambangan dan Perminyakan Afghanistan Sheikh Shahabuddin Delawar dan Xinjiang Central Asia Petroleum and Gas Co (CAPEIC). Kesepakatan ini menjadi kesepakatan pertama Pemerintah Afghanistan sejak Kelompok Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021.
Menurut kantor berita Afghanistan, Bakhtar News Agency, Wakil Perdana Menteri Afghanistan Mullah Abdul Ghani Baradad dan Duta Besar China di Afghanistan Wang Yu hadir dalam penandatanganan kerja sama tersebut. Baradar menyatakan, kontrak kerja sama ini adalah langkah awal karena beberapa proyek sejenis telah disetujui Komisi Ekonomi.
CAPEIC akan mengelola minyak di area seluas sekitar 4.500 kilometer persegi di Cekungan Amu Darya yang melingkupi tiga provinsi, yaitu Sar-e Pul, Jawzjan, dan Faryab Utara. Untuk tahap awal, CAPEIC menginvestasikan dana sekitar 150 juta dollar AS pada tahun pertama.
Pada tahun kedua hingga kelima, nilai investasi akan bertambah menjadi sekitar 540 juta dollar AS. Masa konsesinya Perusahaan ini mendapat hak pengelolaan selama 25 tahun oleh Pemerintah Afghanistan.
Juru bicara Pemerintah Afghanistan, Zabihullah Mujahid, dalam cuitannya di Twitter mengatakan, pemerintah memiliki porsi saham sebesar 20 persen dan bisa ditingkatkan menjadi 75 persen. Sebelum dikelola oleh CAPEIC, selama sepuluh tahun terakhir Cekungan Amu Darya dikelola oleh perusahaan minyak dan gas milik Pemerintah China, China National Petroleum Corp (CNPC). Setelah Taliban mengambil alih kekuasaan, tidak jelas apakah perusahaan yang sama masih mengelola cadangan minyak di cekungan tersebut.
Namun, Baradar mengatakan, sebuah perusahaan China telah menghentikan kegiatan pasca-kejatuhan Kabul, Agustus 2021. Namun, juru runding Taliban itu tidak menyebut secara jelas nama perusahan yang dimaksud.
Cekungan Amu Darya diperkirakan memiliki cadangan minyak sebesar 87 juta barel. Dalam kontrak kerja sama itu disebutkan bahwa minyak akan diproses di Afghanistan sebelum dijual, baik untuk kebutuhan lokal maupun untuk ekspor.
Dubes China untuk Afghanistan Wang Yu mengatakan, kesepakatan itu penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Afghanistan. Di sisi lain, peresmian kerja sama itu juga menjadi langkah awal hubungan yang baik antara Beijing dan Kabul di bawah Taliban.
Afghanistan diperkirakan memiliki sumber daya yang belum dimanfaatkan yang bernilai lebih dari 3 triliun dollar AS. Potensi itu telah menarik minat sejumlah investor asing, termasuk China dan Rusia. Sebuah perusahaan milik Pemerintah China juga sedang dalam pembicaraan kemungkinan pengelolaan tambang tembaga di Provinsi Logar timur.
Selain itu, sebuah perusahaan asal China, Bridge Corporation (CRBC), menurut laporan kantor berita Bakhtar, juga telah mengadakan pembicaraan dengan sejumlah kementerian untuk bisa berinvestasi dalam pembangunan bendungan dan proyek energi di sejumlah wilayah di Afghanistan. Pemerintah juga disebut telah memberi lampu hijau bagi perusahaan itu untuk ikut serta dalam pembangunan proyek-proyek infrastruktur di Afghanistan.
Upaya Taliban mendorong datangnya investor menjadi sangat penting bagi Afghanistan. Sebab, hingga saat ini masih banyak negara yang enggan mengakui secara resmi keberadaan pemerintahan Taliban.
Kebijakan terbaru Taliban yang melarang kaum perempuan mengecap pendidikan tinggi membuat banyak negara meradang dan memikirkan ulang untuk melakukan kontak dengan pemerintahan Taliban. Tanpa memiliki dana yang cukup, perekonomian terus memburuk dan itu akan kembali menggoyah pemerintahan Afghanistan di bawah kendali Taliban.
Penjabat Menteri Perdangan Afghanistan Haji Nooruddin Azizi mengatakan, Rusia, China, dan Iran tertarik untuk berbisnis dengan mereka. Beberapa proyek pembangkit listrik panas bumi saat ini tengah dibicarakan dengan ketiga negara tersebut.
Azizi juga menyebut, 40 perusahaan, termasuk perusahaan multinasional, ikut serta dalam lelang pengelolaan tambang besi di Herat barat dan tambang timah. Perusahaan Rusia juga telah menandatangani kontrak kerja sama untuk memasok gas, minyak, dan gandum serta logistik lain ke negara tersebut.
Pendekatan yang dilakukan Rusia, China, dan Iran pada Taliban, menurut peneliti senior di Quincy Institute of Responsible Statecraft, Anatol Lieven, bisa dibaca melalui perspektif keamanan. ”Negara-negara itu memiliki simpati pada Afghanistan selama Taliban terus memerangi kelompok NIIS-Khorasan (NIIS-K),” kata Lieven, dikutip dari laman Al Jazeera.
Hubungan Kelompok Taliban-NIIS K tidak harmonis. Meski banyak anggota NIIS-K pernah berjuang bersama Kelompok Taliban, sebagai anggota, hubungan ini kurang baik karena kedua belah pihak saling menuduh berkhianat satu sama lain.
Dalam visi dan misi gerakan, antara Taliban dan NIIS-K sangat berbeda. Taliban adalah gerakan nasional yang memiliki visi dan misi untuk membebaskan Afghanistan dari pendudukan asing. Adapun NIIS-K adalah gerakan transnasional.
Oleh karena itu, Taliban dan NIIS-K pernah terlibat perang sengit secara terbuka selama dua tahun dari 2015 sampai 2017. Ini terjadi khususnya di wilayah Afghanistan timur yang merupakan basis Taliban. Saat itu, NIIS-K hendak menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai Taliban.
Perang sengit dua kelompok itu membawa korban besar dari kedua belah pihak. Taliban, saat itu, berhasil memukul mundur NIIS-K yang kemudian memaksanya menjadi sel-sel tidur (Kompas.id, 3 September 2021).
Sementara, bagi Beijing, pendekatan dengan pemerintahan Taliban saat ini tidak terlepas dari upaya menangani kelompok bersenjata Uighur, yang memiliki sejarah berbasis di Afghanistan pada 1990-an. Beijing khawatir kebangkitan Taliban akan memberikan suntikan semangat pada kelompok itu untuk melawan China.
”Oleh karena itu, meskipun Taliban berjanji bahwa mereka tidak akan membiarkan wilayah mereka digunakan oleh aktor non-negara untuk menyerang negara lain, para pemimpin Rusia dan China akan khawatir bahwa, memang, Taliban tidak akan melakukan apa pun untuk mencegah berbagai serangan non-negara. Aktor, seperti Uighur [Gerakan Islam Turkestan Timur atau ETIM] dan kelompok militan Asia Tengah lainnya, meluncurkan serangan teroris ke China dan negara-negara Asia Tengah–perut strategis Rusia,” kata Claude Rakisits, seorang profesor kehormatan di Departemen Hubungan Internasional di Universitas Nasional Australia. (REUTERS)