Seoul dan Washington Berbeda Pemahaman Soal Strategi Penangkalan
Korea Selatan dan Amerika Serikat berbeda pandangan soal strategi penangkalan untuk mencegah penggunaan kekuatan nuklir Korea Utara. Isu nuklir menjadi isu yang sensitif dan kompleks.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
SEOUL, SELASA — Korea Selatan dan Amerika Serikat memiliki pandangan yang sama soal meningkatnya ancaman nuklir Korea Utara terhadap keamanan di Semenanjung Korea. Akan tetapi, keduanya tidak sepaham soal tindakan pencegahan yang perlu dilakukan untuk menangkal penggunaan atau pengembangan senjata nuklir Korea Utara.
Ketidaksepahaman itu terungkap setelah Presiden AS Joe Biden dan Presiden Yoon Suk Yeol memberikan keterangan yang berbeda soal perencanaan bersama dan latihan yang bisa melibatkan aset nuklir.
Dikutip dari kantor berita Yonhap, Selasa (3/1/2022), dalam sebuah wawancara dengan media, Presiden Yoon menyatakan, kedua belah pihak tengah berdiskusi soal perencanaan dan kemungkinan latihan bersama yang melibatkan aset nuklir untuk “mencegah” tindakan penggunaan rudal balistik berhulu ledak nuklir milik Korea Utara.
"Senjata nuklir itu milik Amerika Serikat. Akan tetapi, soal perencanaan, pembagian informasi, latihan, dan pelatihan harus dilakukan bersama oleh kedua negara," kata Yoon, dalam wawancara dengan surat kabar Chosun Ilbo, Senin (2/1/2022). Dia menambahkan bahwa AS "cukup positif" tentang gagasan yang dilontarkannya itu.
Akan tetapi, beberapa jam setelah hasil wawancara itu terbit, Biden menyatakan dirinya tidak memberikan lampu hijau soal latihan nuklir bersama. Saat ditanya soal latihan nuklir bersama, Biden dengan tegas menyatakan, “Tidak.”
Seorang pejabat senior Pemerintah AS mengatakan, sejak keduanya bertemu di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Kamboja, November lalu, AS dan Korea Selatan sepakat untuk meningkatkan kerja sama informasi, perencanaan kedaruratan hingga tabletop exercise untuk mencari ara mengatasi ancaman Korut.
Berbeda dengan tabletop exercise yang masih bersifat perencanaan strategis, pejabat tersebut mengatakan, latihan nuklir secara reguler akan sagat sulit dilakukan mengingat Korsel bukanlah negara pemilik persenjataan nuklir. Korsel juga merupakan salah satu negara penandatangan traktat nonproliferasi senjata nuklir (NPT).
“Ini (tindakan pencegahan) akan dilakukan melalui berbagai cara, termasuk seperti yang dikatakan Presiden Yoon, melalui peningkatan berbagi informasi, perencanaan bersama, dan memperluas jangkauan kontijensi yang kami rencanakan, serta pelatihan, dan dengan ide yang pada akhirnya mengarah pada tabletop exerise," kata pejabat itu kepada Reuters.
Untuk meredam perbedaan pendapat, seperti tercermin dari pernyataan pemimpin kedua negara, kantor Kepresidenan Korsel mencoba menetralisir dengan mengeluarkan pernyataan terbaru yang menyebut kedua pemimpin tidak membicarakan soal latihan nuklir bersama. Yang dikerjakan oleh kedua negara adalah perencanaan kegiatan sebagai bentuk respon terkoordinasi yang efektif melalui atas sejumlah skenario yang mungkin terjadi, termasuk penggunaan senjata nuklir oleh Korut.
"Seperti yang dikatakan Presiden (Biden), kami tidak membahas latihan nuklir bersama. Korea Selatan adalah negara non-senjata nuklir," tulis juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih (NSC) Korsel dalam email ke Kantor Berita Yonhap. Kedua pemerintahan telah membentuk tim untuk berkoordinasi.
Kantor Yoon juga berusaha untuk mencegah penyebaran pandangan bahwa AS, sekutu Korsel, berbeda pendapat tentang masalah yang sensitif secara geopolitik, mengutip jargon "latihan nuklir bersama”. "Latihan nuklir bersama adalah istilah yang digunakan antara kekuatan nuklir," kata Sekretaris Senior untuk Urusan Pers Kim Eun-hye.
Kedua negara menghidupkan kembali konsultasi tentang penangkalan setelah tidak aktif selama beberapa tahun terakhir, setelah Korut meningkatkan kemampuan nuklir dan rudalnya. Pyongyang sendiri telah mendefinisikan Korsel sebgai musuh dan berjanji untuk meningkatkan kemampuan persenjataanya. apalagi setelah militer Korut berhasil mengirimkan beberapa drone militer untuk terbang mendekati Seoul, bulan Desember lalu.
Peneliti Asan Institute for Policy Seoul Go Myong-hyun mengatakan, strategi AS tidak mengkuti kemajuan program nuklir Korut. Dia juga menilai, strategi deterence hampir tidak memiliki perbedaan ketika kemampuan nuklir Korut masih tidak terlalu kuat dan tidak signifikan.
Akan tetapi, dalam pandangan Kim Don-yup, profesor di Universitas Kyungnam, komentar Biden memperlihatkan keengganan AS untuk berbagi informasi tentang kemampuan nuklirnya yang dipandang sebagai sebuah hal yang sensitif. (AFP/Reuters)