Bayang-bayang Resesi Global tak Hentikan Momentum Asia
“Saya berharap China tidak tunduk … Saya berharap semua negara bisa berpikir tentang masa depan perspektif kemerdekaan dan kesetaraan. Hanya dengan cara ini kita bisa menemukan masa depan bersama," kata Fukuda.
Ada rasa hambar saat laporan IMF pada 1996 memuji-muji keajaiban ekonomi sepuluh negara Asia. Disebut Ajaib karena tingkat pertumbuhan ekonomi melebihi rata-rata dunia sejak dekade 1960-an hingga 1990-an. Namun pada 1997 dari 10 negara itu, Thailand memicu krisis ekonomi Asia terparah dalam sejarah ekonomi modern.
Indonesia, Malaysia, Korea Selatan, bahkan mengalami trauma akibat krisis yang dipicu kejatuhan kurs baht. Mata uang Filipina, Singapura, Taiwan dan Hong Kong ikut goyang. Hanya China dan Jepang yang relatif stabil. Akan tetapi terbukti kemudian laporan yang dituliskan DR Michael Sarel, ekonom Departemen Asia Tenggara dan Pasifik Dana Moneter Internasional (IMF) saat itu sama sekali tidak meleset.
Baca juga: Asia Tidak Perlu Khawatir Tentang Pertumbuhan
Sarel menuliskan, pertumbuhan tinggi 10 negara Asia, terutama empat macan Asia – Taiwan, Singapura, Hong Kong dan Korea Selatan – melebihi rata-rata dunia. Dia mencontohkan hasilnya adalah rata-rata kekayaan warga non-Asia pada 1990 sebesar 72 persen lebih besar dari kekayaan orangtua mereka pada 1960. Namun, kekayaan rata-rata warga Korea Selatan 638 persen lebih besar dari kekayaan orangtua pada periode yang sama.
Di balik keajaiban ekonomi
Keajaiban ini membuat IMF melakukan riset untuk menjawab mengapa ekonomi Asia begitu melejit. Disebutkan, mobilisasi modal, tenaga kerja, dan adopsi teknologi membuat Asia melaju lebih cepat. “Asia belajar lebih cepat soal penggunaan teknologi dan lebih efisien dari para pesaing,” demikian Sarel.
Ada juga beberapa faktor pendorong lain di balik keajaiban Asia. “Warga menahan konsumsi dan kegiatan bersenang-senang (leisure) demi pertumbuhan,” lanjut laporan IMF berjudul “Growth in East Asia: What We Can and What We Cannot Infer” edisi September 1996.
Hal lain, pemerintahan menjamin hak kepemilikan, kepastian hukum, ketertiban dan pengadaan barang-barang publik pendukung ekonomi. Pemerintah mematok pajak rendah, mengendalikan harga dan mencegah distorsi harga-harga, mencegah defisit melebihi porsi, menjaga aturan keuangan, mendorong keterbukaan pasar dan mengelola kurs.
Baca juga: Ekonomi Kawasan Terkoreksi, Penduduk Miskin Mesti Dilindungi
Pemerintah mendorong pendidikan dengan lebih baik dari belahan dunia lain. Pendapatan dijaga agar tidak terlalu timpang demikian juga redistribusi lahan turut mendorong pertumbuhan. Orientasi ekspor menjadi salah satu pendorong utama keajaiban Asia dan menjadi mesin pertumbuhan.
Semua faktor tersebut telah mewujudkan Asia sebagai mesin pertumbuhan global. Jika ada dekade 1990-an hanya ada 10 negara Asia yang melejit secara ekonomi, kini jumlahnya bertambah dengan kehadiran India dan Vietnam.
Merujuk data Asian Development Outlook, pada Desember 2022 disebut pertumbuhan ekonomi di India pada tahun 2021, 2022, dan 2023 berturut-turut adalah 8,7 persen, lalu 7,0 persen, 7,2 persen. Sementara itu China berturut-turut adalah 8,1 persen di tahun 2021, lalu turun menjadi 3,0 persen di 2022, dan merangkak naik menjadi 4,3 persen di tahun 2023. Sementara itu pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 3,7 persen di 2021, lalu naik menjadi 5,4 persen di tahun 2022, dan diprakirakan turun menjadi 4,8 persen di tahun 2023. Pertumbuhan ekonomi Vietnam tercatat sebesar 2,6 persen di tahun 2021, lalu meroket menjadi 7,5 di tahun 2023, lantas diprakirakan turun pada 2023, menjadi 6,3 persen.
Penurunan di sejumlah negara
Persoalan sekarang adalah bayang-bayang resesi global yang dipicu pengetatan sektor moneter di AS dan Eropa sedang menghantui Asia. Era uang mudah di AS dan Eropa yang meluber hingga ke Asia kini telah berubah. Dengan dunia yang saling terkait secara ekonomi, terutama karena peran dollar AS sebagai alat transaksi global, pergerakan kurs dollar AS akan turut menganggu Asia. Di samping itu Asia dihantui gejolak harga-harga global, termasuk inflasi impor serta gangguan pasokan global.
Baca juga: ADB Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 5,2 Persen
Isu pandemi covid-19 di China menjadi faktor yang menambah kekhawatirkan bagi Asia yang semakin erat dengan perekonomian China. ASEAN yang menjadi mitra dagang terbesar bagi China, seperti dituliskan The Global Times, 9 Mei, terpengaruh. Demikian juga pertumbuhan ekonomi Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan, Singapura yang lebih berorientasi ekspor lebih terganggu karena pasar AS dan Eropa yang juga akan menurun.
Akan tetapi bisa dipastikan semua ini hanya gangguan sementara, seperti menimpa Asia pada akhir dekade 1990-an. Momentum Asia tidak akan terganggu terlalu dahsyat dengan bayang-bayang resesi di AS dan Eropa.
Perkiraan Bank Pembangunan Asia (ADB) tentang pertumbuhan ekonomi Asia pada 2023 tetap berlanjut. Asia tidak akan mengalami resesi, hanya mengalami penurunan pertumbuhan. Di luar negara-negara berorientasi ekspor, ADB melihat potensi lebih besar soal pertumbuhan di Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Indonesia dan India.
Negara-negara ini memiliki kekuatan konsumen, jasa-jasa, turisme yang menjadi pendorong pertumbuhan. Pemerintahan Asia memiliki kekuatan keuangan negara yang lebih kuat dari belahan dunia lain, kecuali Pakistan dan Sri Lanka. Tambahan pula, China pada Januari 2023 akan melonggarkan mobilitas. Keputusan ini diperkirakan menjadi pendorong pertumbuhan kawasan.
Perspektif sejarah
Namun apapun gejolak sementara yang sedang dan akan menimpa pada 2023, momentum Asia tidak akan terhentikan. Vibrasi perekonomian Asia tetap membahana. Asia sedang memiliki momentum besar. Pengalaman pembangunan sejak dekade 1960-an semakin menggelindingkan hasrat untuk meningkatkan harkat dan martabat warga Asia ke level lebih tinggi. Asia khususnya China ingin mencapai bahkan melebihi kemakmuran Barat sekarang.
Baca juga: IMF Peringatkan Ekonomi Global “Genting”, Negara Berkembang Jadi Tumpuan
Akumulasi modal, penguasaan dan inovasi teknologi di Asia menemukan pijakan kuat. Kekayaan membuat Asia memiliki dana-dana investasi. Juga tidak ada lagi teknologi yang hanya menjadi dominasi Barat sekarang ini. Ada faktor demografi berusia muda dan berpotensi menjadi pasar. Asia tidak lagi melihat potensi pasar pada Barat semata.
Aspek historis turut menggelindingkan animo Asia. Profesor Kenneth J Hammond, sejarawan dari New Mexico State University (AS), pada harian China Daily, 27 Desember, menuliskan kolonolisme telah lama menggerakan kesadaran Asia. Gerakan demi gerakan Asia bertujuan memburu dan mengejar kepentingan ekonominya. Ini bergelora lewat perjuangan nasional dan liberalisasi sosial.
Akar gerakan ini tidak kunjung berhenti hingga sekarang meski tidak lagi berbentuk pemberontakan fisik atau perang. Gerakan dan ambisi Asia semakin mengkristal termasuk karena berakar pada trauma kolonialisme.
Semakin mengkristal lagi, karena seperti dituliskan Hammond, kemajuan Asia dilihat oleh elite kaya dan elite kekuasaan Barat sebagai ancaman pada kekuasaan dan privilese Barat, yang telah lama digenggam. Barat khawatir mereka bukan lagi sebagai pemegang kendali.
Para elite Barat tidak mau melepas dominasi seabad lebih. Ada penolakan Barat terhadap perasaan kalah atau dikalahkan dan ingin mempertahankan sistem kolonialisme dalam bentuk modern. Hal ini terwujud dalam bentuk friski Barat dipimpin AS dengan Asia dipimpin China.
Akan tetapi Asia sedang memiliki momentum. Pihak China dalam berapa tahun terakhir, termasuk Dr Yin Jun, Asisten Dekan di Institute Pemikiran Xi Jinping, Peking University, menggelorakan era Asia yang sedang berpihak.
Hammond menambahkan momen Asia akan disikapi hati-hati sembari tetap bergerak maju. Sukses liberalisasi nasional dan perjuangan revolusioner bergema di China, India, Afrika dan Amerika Latin. “China menjadi negara paling sukses dalam inovasi dan pembangunan dan kembali ke jalur dominasi global. China bahkan berinisiatif menularkan kesuksesannya terhadap negara-negara lain,” demikian Hammond.
Ketika Hammond menyerukan aspek kehati-hatian pada Asia agar tidak bentrok dengan Barat, mantan Perdana Menteri Jepang, Yasuo Fukuda menyatakan agar China tidak tunduk pada AS seperti Jepang pada 1980-an. Hal itu dituliskan dalam artikel berjudul “Lessons From Japan’s Failure” di situs “China Us Focus” edisi 22 Februari 2022.
“Saya tidak melihat relasi AS-China dari prisma pesimis …,” demikian Fukuda. Namun ia menyatakan seperti China sekarang ini, Jepang menghadapi isu serupa, tekanan kuat dari AS. Jepang dipaksa menaikkan kurs yen. Hal dramatis terjadi seperti ekspor Jepang mengalami stagnasi diikuti pertumbuhan melambat.
“Oleh karena itu China, harus menemukan cara menaikkan kurs renmimbi dan mendorong permintaan domestik … Harapannya, China tidak mengulangi kesalahan Jepang dan bisa bekerja sama dengan AS untuk mengatasi friksi perdagangan dengan saling menemukan titik masalah,” kata Fukuda.
“Saya berharap China tidak tunduk … Saya berharap semua negara bisa berpikir tentang masa depan perspektif kemerdekaan dan kesetaraan. Hanya dengan cara ini kita bisa menemukan masa depan bersama. Hanya dengan cara ini kita membuat dunia bisa lebih indah,” demikian Fukuda. (AP/AFP/REUTERS)