Asia tidak perlu khawatir dengan pertumbuhan karena perekonomian kawasan ini akan terus tumbuh tinggi. Masalah utama bagi Asia adalah kesenjangan atau ketimpangan karena memunculkan penyakit sosial yang destruktif.
Oleh
Simon Saragih
·3 menit baca
Tetap tumbuh tinggi, tertinggi dari belahan dunia manapun. Itulah Asia sekarang ini. Rata-rata pertumbuhan pada kisaran 5 persen, demikian perkiraan Dana Moneter Internasional (IMF) pada Oktober 2019 lalu.
Dengan situasi tak menentu terutama karena perang dagang, yang mengganggu global supply chain, pertumbuhan 5 persen tergolong tinggi. Untuk tahun 2020 perekonomian Asia masih tetap bakal cerah.
Konsumen kelas menengah bertumbuhan dan jadi sumber permintaan agregat. Proses digitalisasi di Asia terus menggelegar, menaikkan produktivitas dan mobilitas barang. Tentu pertumbuhan ekonomi itu sendiri akan terus menambah daya beli masyarakat.
Sisi keuangan negara di Asia, kecuali Jepang, tergolong kuat dengan kepemilikan dana-dana kekayaan negara. Pemerintahan di Asia memiliki ruang stimulus untuk mendorong perekonomian jika diperlukan. Sisi moneter Asia juga sangat berbeda dengan Barat, tidak berada pada jebakan likuiditas (liquidity trap). Ini sebutan bagi pengguyuran uang ke pasar tetapi tidak mampu mendorong pertumbuhan secara signifikan.
Bahkan Indonesia dengan potensi besar dari investasi infrastruktur menjadi sumber pertumbuhan yang besar. Hal serupa masih terbuka lebar untuk sejumlah negara Asia lain, dimana infrastruktur pendorong pertumbuhan. Majalah Forbes bahkan menuliskan soal beberapa negara Asia yang akan tumbuh pesat pada 2020.
Oleh sebab itu, tidak ada keraguan tentang prospek Asia. Skenario paling pessimistis sekalipun dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) tetap menunjukkan Asia dalam situasi pertumbuhan tinggi.
Pusat ekonomi dunia
Melengkapi semua itu Wang Huiyao, pendiri dan Presiden Center for China and Globalization di situs World Economic Forum (WEF) menuliskan, bahwa pada 2020, ekonomi Asia--menurut ADB sekitar 45 negara--akan memiliki produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia dari sisi keseimbangan daya beli (purchasing power parity).
Aliran investasi dan perdagangan di antara sesama Asia mengukuhkan posisi itu. Nilai perdagangan di Asia sendiri telah melebihi 50 persen dari total perdagangan Asia dengan dunia.
Ada satu sisi yang dinilai mengkhawatirkan soal Asia. Perusahaan-perusahaan di Asia mengalami peningkatan posisi utang. Akan tetapi hal itu memiliki sisi positif karena utang-utang itu bertujuan produktif. Ini tidak mengandung risiko besar, kata Felix Lam, dari BNP Paribas Asset Management di Hong Kong.
Utang di dalam kondisi ekonomi yang tumbuh, tidak terlalu mengkhawatirkan. Utang yang ditutup-tutupi seperti kasus penyebab kebangkrutan Yunani, dan terjadi di tengah ekonomi yang mandek pertumbuhannya, itulah yang paling mengkhawatirkan. Yunani telah menyeret Eropa ke dalam masalah besar. Asia tidak berada dalam posisi Yunani.
Robert Carnell, ekonom senior dan juga kepala riset ING, sebuah bank ternama berpusat di Belanda, menuliskan bahwa ekonomi Asia tidak saja tumbuh tinggi tetapi juga stabil. Salah satu penyebabnya, Asia stabil secara politik, di samping berbagai faktor lainnya yang kondusif.
Tentu ada juga gelombang-gelombang persoalan di Asia meski tidak separah kawasan lain. Ada banyak kasus korupsi, ketimpangan, dan lainnya. Meski demikian secara umum sekarang era Asia semakin mengkristal. “Abad Asia siap segera dimulai” demikian tulisan harian Inggris The Financial Times edisi 26 Maret 2019.
Bob Allen, profesor sejarah ekonomi NYU, Abu Dhabi, menyatakan kenaikan dramatis perekonomian Jepang dan Korea Selatan telah mengejar Barat dan kini diikuti China dengan prestasi yang jauh lebih mencengangkan. Sejumlah pakar yang dikutip harian itu menyatakan arah Asia tetap cerah bahkan lajunya tak tertahankan.
Perkiraan-perkiraan itu muncul di tengah isu perang dagang yang dicetuskan Presiden AS Donald Trump sejak 2017. Sikap keras Trump dan pendukungnya tentang perang dagang memang tidak surut.
Akan tetapi, tampaknya Trump juga ragu melanjutkan kebijakan perdagangan yang mematikan ekonominya itu sendiri. Temuan Bank Sentral AS dari hasil riset menunjukkan perang dagang justru memukul perekonomian AS itu sendiri.
Penyakit utama
Masalah utama di Asia sekarang ini bukanlah sumber pertumbuhan yang sulit. Penyakit akut Asia adalah distribusi pendapatan. Pertumbuhan merupakan warna utama Asia dan masih terus cerah ke depan.
Masih banyak lagi potensi pertumbuhan, termasuk potensi lewat kolaborasi Asia dengan basis multilateralisme. Ini adalah potensi yang akan membuat perekonomian Asia berjalan melenggang dengan pertumbuhan tinggi.
Adalah kesenjangan pendapatan spasial yang menjadi salah satu warna utama. Tugas Asia adalah belajar soal pembangunan inklusif. Ini tangisan nyata setelah sekian lama. Tidak jaminan bagi mekanisme pasar untuk memeratakan kue ekonomi secara otomatis.
Bahaya bagi Asia di depan, ketimpangan itu memunculkan penyakit sosial yang efeknya destruktif. Inilah tugas utama Asia sekarang, bukan khawatir soal pertumbuhan. Hingga, muncul istilah santer tentang aging before getting rich, sebagian besar para warga menua sebelum sempat kaya.
Banyak warga Asia yang berpotensi terjebak ke dalam situasi itu, menua sebelum sempat kaya. Maka pertumbuhan yang didambakan, wajib diiringi dengan kebijaksanaan soal distribusi pendapatan dan kesempatan bisnis yang relatif merata. Di sisi inilah Asia harus lebih banyak berkutat, agar pertumbuhan lebih lestari. (AP/AFP/REUTERS)