Junta militer Myanmar masih kukuh dengan sikapnya. Tekanan komunitas dunia belum membuat mereka lebih terbuka.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
YANGON, SENIN - Situasi di Myanmar masih pelik dengan junta militer siap menjatuhkan vonis kepada pemimpin Liga Nasional Demokrasi atau NLD, Aung San Suu Kyi pada hari Jumat (30/12/2022). Hal ini mempersulit posisi Myanmar, terutama setelah lahirnya resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai pembebasan semua tahanan politik, termasuk para pemimpin oposisi.
Informasi mengenai vonis Suu Kyi ini diterima kantor berita Agence France-Presse dari seorang sumber anonim di pemerintahan Myanmar, Senin (26/12/2022). Suu Kyi menghadapi 14 persidangan, mulai dari kasus korupsi hingga tuduhan kecurangan pemilu November 2020.
Suu Kyi sudah diganjar 26 tahun hukuman penjara. Menurut sumber itu, keputusan pada Jumat nanti adalah untuk lima sidang yang tersisa dan masing-masing bervonis 15 tahun penjara. Suu Kyi sendiri telah berusia 77 tahun dan kini ditahan di ibu kota Myanmar, Naypyitaw.
Pekan lalu, DK PBB mengeluarkan resolusi terkait Myanmar yang menitikberatkan penyegeraan pelaksanaan Lima Poin Konsensus yang diputuskan dalam pertemuan para pemimpin Himpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Inti dari konsensus itu adalah membuka akses seluas-luasnya agar utusan khusus ASEAN bisa bertemu dengan junta militer, Pemerintahan Nasional Bersatu (NUG) yang merupakan pemerintahan bayangan Myanmar dan terdiri dari para oposisi junta, serta pelibatan perwakilan masyarakat pemangku kepentingan.
Resolusi itu juga meminta agar junta segera membebaskan semua tahanan politik Myanmar. Berdasarkan data Asosiasi Asistensi Tahanan Politik (AAPP) per November 2022 sebanyak 12.923 orang berada di tahanan dengan alasan menentang junta. Di luar itu, ada 2.525 korban jiwa dan sebanyak 1,3 juta penduduk Myanmar kehilangan tempat tinggal pascakudeta.
Pada Jumat pekan lalu junta mengeluarkan pernyataan resmi yang menentang Resolusi DK PBB dan menolak melaksanakan permintaan di dokumen itu. ”PBB melanggar peraturan sendiri dan mencampuri urusan internal Myanmar. Myanmar tidak akan menerima resolusi yang tidak mendukung pemerintahan ini,” kata junta, mengacu kepada permintaan pembebasan tahanan politik yang mencakup Suu Kyi.
Di hari yang sama, pemimpin junta militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing melakukan pertemuan tidak resmi dengan kepala negara dan pemerintahan Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Laos. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Kamboja Chum Sounry menerangkan, pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan ASEAN.
Meskipun demikian, sejumlah pihak menilai langkah ini kurang bijak karena ASEAN seolah terbelah dalam menangani isu Myanmar. Saat ini, ASEAN tengah ”menghukum” Myanmar dengan tidak membiarkan perwakilan politik, yaitu kepala negara dan menteri luar negeri junta untuk menghadiri segala kegiatan ASEAN.
Ultimatum ini diberikan sampai junta mau membuka komunikasi dengan kelompok oposisi, minoritas, dan semua pihak terkait agar bisa berdialog dengan utusan khusus ASEAN. NUG segera mengeluarkan pernyataan terkait pertemuan tidak resmi itu. Mereka meminta agar seluruh anggota ASEAN kompak dengan ultimatum dan memastikan mengajak junta mematuhi Lima Poin Konsensus.
Perwakilan Indonesia untuk Komisi Hak Asasi Manusia Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum mengatakan, lembaganya telah mengajukan permintaan formal kepada ASEAN agar melibatkan AICHR dalam pelaksanaan Konsensus. (AFP/Reuters)