Perundingan Arab Saudi-Iran Terhenti, Teheran Mulai Waspadai Manuver China
Perundingan Arab Saudi dan Iran yang difasilitasi Irak dihentikan sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Teheran menuding Arab Saudi campur tangan terlalu jauh urusan dalam negerinya.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
BAGHDAD, SELASA — Upaya Pemerintah Irak memfasilitasi dialog Iran-Arab Saudi melalui pembicaraan tiga pihak (tripartit) untuk sementara terhenti. Iran menuding Arab Saudi mendukung demonstrasi warga Iran pasca-kematian Mahsa Amini.
Selain itu, Iran menilai pernyataan bersama Arab Saudi dan China menyoal program nuklir Teheran sebagai sumber ketidakstabilan keamanan di kawasan sebagai sikap yang terlalu jauh mencampuri urusan kedaulatan Iran.
Pembicaraan putaran keenam Iran-Arab Saudi, menurut rencana, akan digelar di Baghdad, Irak. Namun, rencana itu mengambang setelah Teheran menolak bertemu pejabat Arab Saudi.
”Pembicaraan Iran-Saudi terhenti dan ini akan berdampak negatif pada kawasan,” kata Amer al-Fayez, anggota Komite Hubungan Luar Negeri Parlemen Irak, Senin (19/12/2022).
Misi Iran di Perserikatan Bangsa-Bangsa mengonfirmasi bahwa pertemuan tripartit sementara dihentikan. ”Pembicaraan antara Iran dan Arab Saudi berhenti sebelum ada perkembangan terakhir di Iran karena berbagai alasan. Mungkin ada baiknya bertanya kepada Arab Saudi,” kata misi Iran dalam sebuah pernyataan.
Sejumlah sumber dari kalangan Pemerintah Irak, kelompok milisi dukungan Iran, hingga tokoh partai politik yang berideologi Syiah dukungan Iran mengatakan, Teheran menolak bertemu karena mereka menilai pemberitaan media Arab Saudi memojokkannya.
Teheran menuding Iran International, media yang berbasis di London dan para pemegang sahamnya memiliki ikatan dengan keluarga Kerajaan Arab Saudi, sejak September lalu secara intensif memberitakan demonstrasi di Iran.
Pernyataan Saudi-China
Selain isu tekanan melalui media, Iran juga tidak suka dengan pernyataan bersama yang dikeluarkan Arab Saudi dan China ketika Presiden Xi Jinping melakukan lawatan ke Riyadh. Dalam pernyataan bersama itu, seperti dikutip dari laman kantor berita resmi Arab Saudi, SPA, Beijing dan Riyadh sepakat tentang perlunya memperkuat kerja sama untuk memastikan program nuklir Iran bersifat damai. Kedua belah pihak juga meminta Iran bekerja sama dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), mempertahankan rezim nonproliferasi (NPT), dan menekankan penghormatan pada prinsip-prinsip bertetangga baik serta tak mencampuri urusan dalam negeri negara tetangga.
Pernyataan bersama itu mendapat tanggapan dari para pejabat Iran. Kantor berita Iran IRNA melaporkan, Penasihat Politik Presiden Ebrahim Raisi, Mohammad Jamshidi, menyebut bahwa Iran adalah negara yang menghadapi skenario besar Arab Saudi dan AS sepanjang lebih dari satu dekade agar wilayah Timur Tengah menjadi tidak stabil. Jamshidi mengatakan, dengan dukungan Washington, telah terjadi ketidakstabilan di Yaman dan memberi dukungan terhadap NIIS di Suriah.
“Sebaliknya, Iran memerangi kelompok-kelompok teror itu agar tidak menyebar dan menimbulkan ketidakstabilan di timur dan barat,” kata Jamshidi.
Sejumlah politisi Iran meminta pemerintahan Raisi meninjau kembali hubungan dan berbagai perjanjian kerja sama dengan China pascakeluarnya pernyataan bersama tersebut. Yaghoub Rezazadeh, anggota Komisi Keamanan dan Hubungan Luar Negeri parlemen Iran, dikutip dari laman middleeasteye.net menyatakan bahwa pemerintah harus merespons pernyataan pemimpin kedua negara.
“Kami memiliki hubungan politik dan ekonomi dengan China, dan mereka membutuhkan minyak dan pasar Iran. Oleh karena itu, negara kita tidak dapat menerima bahwa China menandatangani pernyataan bersama seperti itu," kata Rezazadeh, dikutip dari kantor berita ISNA.
Ali Motahari, mantan legislator, menyarankan otoritas untuk memperbaiki hubungan dengan negara-negara Barat sebagai tanggapan atas langkah China. "Tidak ada jaminan bahwa negara-negara seperti China dan Rusia akan selalu mendukung kami, karena negara-negara ini (hanya) akan mengikuti kepentingan mereka sendiri," katanya kepada berita Ensaf.
China adalah salah satu mitra ekonomi besar Iran di samping Rusia. Selain menjadi konsumen setia minyak Iran, kedua negara juga diketahui menjadi mitra Teheran dalam penjulan senjata. Bahkan, China dan Rusia adalah mitra Iran dalam pengembangan teknologi nuklirnya. Menurut pejabat Irak, Teheran khawatir, hubungan ekonomi yang membaik antara Beijing dan Riyadh dapat mengurai status quo ini.
Pembicaraan tiga pihak ini sendiri diinisiasi oleh Perdana Menteri Irak yang lama, Mustafa al-Khadimi, dan dimulai pada April 2021. Kini, di bawah pemerintahan baru PM Mohammed Shia al-Sudani, Irak tetap mengupayakan proses dialog itu tetap berjalan dan mengupayakan menurunnya ketegangan di kawasan.
Mantan CEO International Crisis Group, Robert Malley, yang kini menjabat Utusan Khusus Pemerintah AS untuk Iran, pernah menyebut bahwa dinamika persaingan antara Iran dan Arab Saudi tak lepas dari persepsi masing-masing negara satu sama lain. Malley meyebut, Arab Saudi dan sekutunya, memandang kebijakan Iran di Suriah, Irak, Lebanon, atau Yaman sebagai kebijakan calon hegemon. Sebaliknya, Teheran melihat kawasan ini didominasi kekuatan regional yang didukung AS mencoba mengisolasi dan melemahkannya (Kompas.id, 11 Februari 2021).
Seorang analis politik Iran, Ihsan al-Shammari, mengatakan bahwa di balik argumen-argumen yang dikeluarkan oleh Pemerintah Iran, sejatinya Negeri Mullah itu tengah menghadapi krisis yang nyata. Argumen yang dikeluarkan oleh Teheran, menurut dia, hanya sebagai cara pemerintahan Raisi mencari orang atau lembaga lain untuk disalahkan dan mencoba meyakinkan bahwa krisis yang dihadapinya adalah hasil campur tangan asing. (AP)
Editor:
MUHAMMAD SAMSUL HADI, BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO