Jelaskan KUHP, Kementerian Luar Negeri Panggil Perwakilan PBB dan Dubes AS
Kementerian Luar Negeri RI memanggil perwakilan PBB dan Duta Besar AS untuk Indonesia terkait komentar mereka soal KUHP yang baru disahkan DPR pekan lalu.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Luar Negeri RI mengonfirmasi bahwa pihaknya memanggil perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Senin (12/12/2022). Agendanya adalah untuk meminta konfirmasi mengenai komentar mereka di sejumlah media tentang pengesahan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana oleh Dewan Perwakilan Rakya pekan lalu.
”Mereka memang dipanggil hari ini oleh Kemenlu,” kata Teuku Faizasyah saat temu media yang dilangsungkan secara hibrida, Senin (12/12/2022). Hadir dalam temu media itu Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej.
Faizasyah mengatakan, dalam hubungan diplomasi, interaksi perwakilan asing, termasuk PBB dan kedutaan besar, dilakukan melalui jalur khusus. Media massa, dalam hubungan diplomasi, menurut Faizasyah, tidak digunakan sebagai medium untuk menyampaikan pandangan para pihak, terutama untuk hal-hal yang belum diklarifikasi.
Menurut Faizasyah, sangatlah patut bagi perwakilan asing yang ada di Indonesia untuk tidak terburu-buru mengambil kesimpulan dan mengeluarkan pernyataan sebelum mendapatkan informasi yang lebih jelas dan jernih tentang kebijakan politik Pemerintah Indonesia. Dalam hal ini, kebijakan politik yang dimaksud adalah pengesahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Pertemuan Kemenlu, Edward Omar Sharif, dan sejumlah perwakilan diplomatik asing, Senin pagi, adalah untuk memberikan penjelasan soal pengesahan KUHP yang telah menjadi sorotan sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat. Pertemuan itu, lanjutnya, menjadi kesempatan bagi para diplomat perwakilan asing di Indonesia untuk mendapatkan penjelasan lebih detail soal KUHP.
Dalam pertemuan itu, para perwakilan asing bisa menyampaikan pandangan, pendapat, dan bahkan mengajukan pertanyaan. ”Dan, kami menjawabnya. Hal itu adalah norma diplomatik yang sepatutnya dilakukan perwakilan asing di satu negara,” katanya.
Sejumlah media di Indonesia mengutip pernyataan Sung Kim, Duta Besar AS untuk Indonesia, tentang intervensi negara, dalam hal ini aparat penegak hukum, atas persoalan privat. Saat berbicara pada US-Indonesia Investment Summit, 6 Desember lalu, Kim mengatakan, pasal-pasal yang terkait moralitas dalam KUHP akan berpengaruh besar terhadap kebijakan perusahaan untuk berinvestasi atau tidak di Indonesia.
Pasal 412 dan 413 KUHP yang baru mengatur soal pemidanaan bagi setiap orang yang melakukan kohabitasi (hidup bersama tanpa pernikahan) dan perzinaan. Ancaman itu hanya berlaku apabila ada pihak yang mengadukan atau dengan kata lain delik aduan. Berdasarkan KUHP terbaru, yang berhak mengadukan adalah suami atau istri yang sah serta orangtua ataupun anak dari pasangan tersebut.
Edward mengatakan, apabila yang dikhawatirkan bahwa UU ini akan menyasar orang asing atau turis yang tengah berlibur di Indonesia, hal itu hampir pasti tidak akan terjadi. Dengan dasar bahwa pasal ini adalah delik aduan, menurut dia, akan sulit bagi warga negara asing yang tengah berada di Indonesia dan diduga terlibat dalam hubungan di luar pernikahan yang sah (berdasarkan aturan di negara asal) untuk diadukan berdasarkan KUHP.
Sementara, apabila salah satu pihak yang melakukan kohabitasi adalah warga negara Indonesia, kata Edward, meski dimungkinkan, pengaduan yang dilakukan oleh orangtua atau anak akan mengakibatkan kerabat keluarga mereka yang melakukan kohabitasi dijebloskan ke dalam penjara. ”Orangtua atau anak mana yang akan tega melihat anak atau orangtuanya dipenjara?” ujarnya.