DPR: Kritik Pelapor Khusus PBB Terkait RKUHP Telah Diakomodasi
Kritik dari Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap sejumlah pasal dalam RKUHP disebut mengacu pada draf RKUHP yang lama. Dalam draf RKUHP terbaru, mayoritas kritik diklaim telah dijawab.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Draf terkini Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP dinilai telah mengakomodasi laporan dari Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB yang belum lama ini menyurati DPR. Dengan demikian, beberapa isu yang diungkapkan Pelapor Khusus PBB tersebut, dianggap sudah tidak lagi menjadi masalah.
Pada 25 November 2022, Pelapor Khusus PBB menyurati DPR terkait pasal-pasal problematik dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Di dalam surat yang terdiri dari 12 halaman tersebut, Pelapor Khusus PBB menyampaikan keprihatinan terhadap RKUHP dan menyoroti setidaknya 13 pasal yang dianggap berpotensi mengkriminalisasi kelompok rentan dan sewenang-wenang.
"Kami ingin menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas usulan RKUHP yang akan terus membatasi akses untuk aborsi, diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan, terhadap minoritas agama atau kepercayaan dan kelompok LGBT, kohabitasi dan menghambat kebebasan berekspresi, beragama atau berkeyakinan dan berserikat," tulis laporan tersebut.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari, ketika dihubungi, Minggu (4/12/2022), mengatakan, perhatian yang diberikan Pelapor Khusus PBB terhadap pembentukan RKUHP patut dihargai. Namun, menurutnya, laporan tersebut masih berdasarkan draf RKUHP yang lama yang sudah berbeda dengan draf RKUHP sebagaimana disepakati pada 24 November lalu. "Hal-hal yang menjadi perhatian dalam laporan khusus ini mayoritas sudah terjawab dengan draf RKUHP yang terakhir. Jadi sudah tidak lagi menjadi kekhawatiran karena sudah diperbaiki di draf terakhir dan ada sebagian isu yang sebenarnya tidak ada masalah," kata Taufik.
Taufik menuturkan, beberapa isu yang disoroti dalam laporan tersebut adalah pasal yang mengancam kebebasan dan demokrasi, yakni penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Dalam draf terakhir, pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum sudah tidak ada.
Pasal tersebut digabungkan ke pasal penghinaan terhadap lembaga negara namun dengan batasan yang ketat, yakni menjadi delik aduan dan hanya bisa diadukan oleh pimpinan lembaga, sehingga bukan sembarang orang bisa melaporkan. Yang dimaksud dengan penghinaan juga dibatasi hanya untuk perbuatan yang merendahkan harkat, martabat, menista serta memfitnah.
Demikian pula pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden juga diganti dengan pasal penyerangan harkat dan martabat terhadap presiden dan wapres. Pasal tersebut juga dibatasi menjadi delik aduan dan hanya yang bersangkutan yang bisa melakukan aduan.
Sementara, lanjut Taufik, terkait dengan kebebasan beragama, dalam RKUHP sudah tidak ada istilah penodaan agama yang selama ini dikenal sebagai pasal karet. Dalam RKUHP yang diatur adalah tindak pidana terhadap kegiatan yang bersifat permusuhan, menyatakan kebencian atau permusuhan, serta menghasut melakukan permusuhan. "Justru rumusan yang ada adalah untuk menjamin kebebasan beragama. Ketika ada orang yang ingin menghalangi kebebasan beragama orang lain dengan menyebarkan permusuhan dan kebencian, dia justru yang bisa dipidana," tutur Taufik.
Terkait dengan kohabitasi, draf RKUHP telah mengambil jalan tengah dengan menjadikannya sebagai kejahatan terhadap perkawinan dan kejahatan terhadap keluarga. Konsepnya pun diubah menjadi delik aduan pihak pengadu yang juga dibatasi. Dengan demikian, tidak sembarang orang bisa mengadu. Tidak hanya itu, RKUHP juga mengatur bahwa jika terdapat peraturan yang mengatur terkait kohabitasi, semisal peraturan daerah, maka dinyatakan tidak berlaku dan hanya merujuk kepada RKUHP.
Hal lain yang juga menjadi perhatian Pelapor Khusus PBB adalah mengenai aborsi. Dalam RKUHP, aborsi tetap bisa dilakukan bagi perempuan yang mengalami korban perkosaan sepanjang janin belum lewat 14 minggu serta atas alasan medis yang membahayakan si ibu. Adapun terkait dengan persoalan LGBT, kata Taufik, RKUHP tidak mengatur mengenai hal itu atau bersifat netral gender.
Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, surat dari Pelapor Khusus PBB kepada DPR tersebut merupakan penilaian yang obyektif. Hal tersebut juga konsisten dengan keyakinan dan evaluasi masyarakat sipil selama ini.
"Pemerintah Indonesia sebagai anggota PBB dan anggota berbagai konvensi internasional di dalamnya, tentu akan dievaluasi oleh berbagai badan HAM PBB. Indonesia menunjukkan tidak punya komitmen yang kuat," kata Isnur.
Selain itu, surat tersebut juga merupakan teguran yang keras bagi pemerintah maupun DPR. Sebab, surat tersebut menunjukkan bahwa RKUHP tidak mengakomodasi semangat hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi dan berbagai undang-undang yang sebenarnya merupakan ratifikasi dari berbagai konvensi internasional.
Secara terpisah, Wakil Koordinator II Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar, berpandangan, surat dari Pelapor Khusus PBB itu tidak memiliki dampak langsung jika DPR atau pemerintah tidak mengindahkannya. Namun demikian, sikap itu akan menjadi preseden buruk ke depan.
"Salah satu rekomendasi adalah mendorong Indonesia agar RKUHP tidak multitafsir karena itu akan berbahaya pada kebebasan sipil di Indonesia. Terlebih lagi, ada pasal yang masih membuka celah bagi praktik hukuman mati. Ini yang paling sering direkomendasikan untuk dihapuskan celah tersebut," tutur Rivanlee.
Selain preseden buruk, menurut Rivanlee, jika pemerintah tidak mengindahkan rekomendasi PBB tersebut, maka Indonesia bisa dipermalukan atau disebut beberapa pihak di PBB sebagai tidak taat pada prinsip universalisme hak asasi manusia. Sebab, rekomendasi tersebut dimaksudkan agar pasal bermasalah di dalam RKUHP tidak ada lagi.
Di sisi lain, menurut Rivanlee, pemerintah dan DPR tidak bisa hanya berlindung di balik relativisme. Sebab, dalam universalisme, setiap orang memiliki hak yang sama.
"Misalkan pasal bermasalah ini masih terus ada, berarti Indonesia akan dianggap memiliki cara pandang tersendiri dalam menegakkan atau menghormati hak asasi manusia," kata Rivanlee.