Aktivis Serukan Mogok Kerja Tiga Hari di Iran di Tengah Kabar Pembubaran Polisi Moral
Muncul kabar simpang siur mengenai pembubaran Polisi Iran, yang menjadi sorotan menyusul tewasnya Mahsa Amini, September lalu. Pengunjuk rasa menyerukan mogok kerja di Iran selama tiga hari ke depan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
TEHERAN, SENIN — Massa pengunjuk rasa di Iran meminta agar masyarakat mogok kerja untuk tiga hari ke depan. Mereka juga menyebar pesan mengajak publik berkumpul di Lapangan Azadi pada hari Rabu (7/12/2022) ketika Presiden Ebrahim Raisi dijadwalkan berpidato dalam peringatan Hari Siswa di Iran.
Imbauan mogok kerja itu diserukan oleh pengunjuk rasa di media sosial. Pada hari Sabtu (3/12/2022), seperti dikutip Associated Press (AP), kantor berita semiresmi ISNA menyiarkan pernyataan Jaksa Agung Mohamed Jafar Montazeri. Ia mengatakan, Polisi Moral (Gasht-e Ershad) ”telah dibubarkan”.
Kantor berita ISNA tidak memerinci pernyataan tersebut. Kantor berita resmi Iran tidak melaporkan keputusan itu. Mengutip sumber yang sama, kantor berita AFP menyebutkan, pernyataan Montazeri disampaikan dalam sebuah konferensi keagamaan. Ia menjawab pertanyaan tentang ”mengapa Polisi Moral dibubarkan”.
”Polisi Moral tidak berhubungan dengan lembaga peradilan dan telah dihapuskan,” tulis ISNA, yang dikutip AFP.
Pernyataan Montazeri muncul di tengah unjuk rasa yang telah berjalan selama 11 pekan ini. Para pengunjuk rasa menunjukkan ketidaksukaan masyarakat kepada Polisi Moral. Kebetulan, dalam sepekan terakhir anggota Polisi Moral dikabarkan jarang berpatroli. Polisi Moral di Iran menjadi sorotan menyusul kematian perempuan warga Kurdi, Mahsa Amini (22), saat ditahan mereka pada bulan September lalu.
Namun, terjadi kesimpangsiuran informasi mengenai status lembaga yang mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat Iran itu. AP menyatakan tidak bisa mengonfirmasi mengenai keberadaan Polisi Moral Iran saat ini.
Kantor berita Reuters menyebutkan, tidak ada konfirmasi tentang kabar pembubaran Polisi Moral oleh Kementerian Dalam Negeri Iran yang membawahkan Polisi Moral. Kantor berita Pemerintah Iran menyatakan, Montazeri tidak memiliki kewenangan atas Polisi Moral.
Masyarakat Iran juga menanggapi kabar tersebut berbeda-beda. Ada yang senang, ada pula yang pesimistis. Mereka meragukan bahwa Polisi Moral benar-benar bubar karena kemungkinan besar unit itu hanya berganti nama, tetapi masih memasuki kehidupan pribadi masyarakat.
Dalam laporan yang dilansir ISNA, Minggu (4/12/2022), anggota parlemen, Nezamoddin Mousavi, menyampaikan sinyal tentang pendekatan pemerintah yang tidak terlalu konfrontatif terhadap massa pengunjuk rasa. ”Baik pemerintah maupun parlemen bersikukuh, memberi perhatian terhadap tuntutan rakyat, yang utamanya adalah persoalan ekonomi, merupakan cara terbaik menciptakan kestabilan dan menangani unjuk rasa,” katanya.
Pernyataan tersebut disampaikan seusai pertemuan tertutup dengan sejumlah pejabat senior Iran, termasuk Presiden Ebrahim Raisi. Mousavi tidak menyinggung tentang kabar pembubaran Polisi Moral.
Sejak era Ahmadinejad
Iran mengalami revolusi pada tahun 1979 karena rakyat muak pada keluarga kerajaan yang korup dan kebetulan didukung oleh Amerika Serikat. Revolusi pada tahun itu, selain membuat Iran menjadi republik, juga membawa pendekatan keagamaan yang konservatif. Pemerintahan menjadi republik Islam yang ditandai dengan, antara lain, negara mengatur hingga hal-hal terkecil, termasuk kehidupan pribadi.
Polisi Moral dibentuk di bawah masa pemerintahan Presiden Mahmoud Ahmadinejad (2005-2013) dan berada di bawah pengawasan langsung presiden. Mereka mulai resmi berpatroli pada tahun 2006. Polisi Moral memastikan setiap warga berperilaku sesuai aturan Islam yang dipahami oleh negara Iran.
Hal ini mencakup aturan perempuan wajib berjilbab dengan cara yang ditentukan negara. Adapun laki-laki tidak boleh berambut gondrong ataupun bergaya rambut lain yang dianggap kebarat-baratan.
Kiprah Polisi Moral mengendur selama masa jabatan Presiden Hassan Rouhani (2013-2021). Ia terkenal beraliran moderat dan berkali-kali menekankan kebebasan pribadi. Namun, sejak Ebrahim Raisi yang berhaluan sangat konservatif terpilih menjadi presiden, Polisi Moral kembali aktif.
Mereka pada bulan September menangkap Mahsa Amini. Ia dianggap tidak berjilbab sesuai aturan karena hanya membalut kepala dengan selendang. Amini dikabarkan mengalami penganiayaan selama ditahan oleh Polisi Moral. Ia meninggal di rumah sakit akibat mati otak. Pemerintah Iran menepis kabar yang menyatakan Amini meninggal karena kekerasan aparat. Teheran menyebut, ia meninggal karena masalah kesehatan.
Kematian Amini memicu gelombang protes di sejumlah kota di Iran. Diaspora Iran di Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan juga di Indonesia turut berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Iran sebagai wujud solidaritas.
Pemerintah Iran menuturkan, unjuk rasa berlangsung akibat campur tangan agen-agen asing yang antara lain AS, Inggris, Israel, Arab Saudi, dan gerakan pemberontak Kurdi. ”Pemerintah tentu mendengar kemauan rakyat, yaitu agar ekonomi dan mata pencarian tetap berjalan,” kata Juru Bicara Dewan Presidium Parlemen Iran Seyyed Nazamuddin Mosusavi.
Peneliti di Institut Kajian Semenanjung Arab di Washington (AGSIW), Ali Alfaneh, menjelaskan, kelas menengah Iran yang merupakan golongan berpendidikan umumnya memiliki pandangan moderat terhadap aturan agama. Mereka menilai negara terlalu jauh mencampuri urusan pribadi warga. Sebaliknya, mayoritas warga kelas bawah sangat konservatif dan Polisi Moral adalah ketegasan negara yang bisa mereka lihat.
Data mengenai jumlah korban tewas masih berbeda-beda. Versi pemerintah mengatakan, ada 200 orang yang tewas. Kantor berita HIRANA mendata, ada 417 warga sipil tewas, mencakup 64 anak berusia di bawah 17 tahun; dari aparat penegak hukum ada 61 petugas tewas. Selain itu, 18.210 orang ditangkap polisi. (AP/AFP/REUTERS/SAM)