”Anda tidak akan bisa menurunkan inflasi jika Anda tidak menuruti aturan seperti pengalaman di masa lalu,” kata John Taylor.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·4 menit baca
Suku bunga yang dipatok Bank Sentral AS akan berkisar 5-7 persen. Patokan paling minimum sebesar 5 persen dan maksimum 7 persen. Patokan yang bersifat hawkish itu dipandang akan memadai menurunkan inflasi di AS ke level 2 persen. Meski demikian, semuanya akan tergantung pada perkembangan inflasi di lapangan.
Demikian perkiraan suku bunga patokan Bank Sentral AS (Fed), yang disampaikan Presiden Federal Reserve St Louis, James Bullard, Kamis (17/11/2022), dalam pidatonya di Louisville, Kentucky. Dia mengatakan, jika ke depan inflasi lebih rendah, kisaran zona suku bunga Fed tersebut juga akan lebih rendah dari 5-7 persen.
Tarik-menarik opini tentang suku bunga Fed tetap berkembang antara kaum optimistis dan pesimistis. Ekonom dari University of Michigan, Justin Wolfers (Fortune, 11 November); ekonom Harvard University, Jason Furman (Forbes, 19 Oktober); dan peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2003 Paul Krugman (The New York Times, 11 November) mengatakan, inflasi sudah mencapai puncaknya. Ini mendorong Wakil Gubernur Fed Lael Brainard, Presiden Federal Reserve Chicago Charles Evans, dan Presiden Federal Reserve Dallas Lorie Logan mengindikasikan besaran kenaikan suku bunga yang akan lebih rendah.
Sehubungan dengan itu, Presiden Federal Reserve San Francisco Mary Daly menyatakan patokan suku bunga Fed akan berkisar 4,75 hingga 5,25 persen. Akan tetapi, Bullard mengatakan, patokan itu masih terlalu rendah. Inflasi di AS, kata Bullard, walau menurun dari 9,1 persen pada Juni menjadi 7,7 persen pada Oktober, masih terlalu tinggi. Oleh sebab itu, patokan suku bunga Fed yang lebih tinggi masih menjadi pilihan.
Aturan Taylor
Bullard mengatakan, ancar-ancar suku bunga Fed itu didasarkan pada aturan Taylor, yang diciptakan pakar moneter Stanford University, John Taylor, 30 tahun silam. Inti dari aturan Taylor, suku bunga riil pinjaman perbankan harus berada di atas angka inflasi sehingga suku bunga inti Fed harus dinaikkan.
Pematokan suku bunga Fed berdasarkan aturan Taylor kerap diterapkan saat Fed dipimpin Janet Yellen, sekarang Menteri Keuangan AS. Taylor pada 12 November lalu mengatakan, kisaran suku bunga Fed ada di level 6 persen. Dasarnya adalah suku bunga sekarang 3,75-4 persen, ditambah lagi kalkulasi terkait faktor inflasi dan pertumbuhan ekonomi, sehingga 6 persen merupakan kisaran yang relatif pas.
Taylor mengatakan, suku bunga Fed sekarang, sekitar 3,75 persen hingga 4 persen, masih sangat rendah. ”Anda tidak akan bisa menurunkan inflasi jika Anda tidak menuruti aturan seperti pengalaman di masa lalu,” kata Taylor.
Bullard optimistis patokan suku bunga 5-7 persen itu tidak akan menyebabkan resesi perekonomian. Kemungkinan yang terjadi sekadar penurunan pertumbuhan ekonomi. Perkiraan Bullard merupakan basis untuk optimisme. Optimisme serupa disampaikan Goldman Sachs dan JPMorgan bahwa resesi parah kecil kemungkinan untuk terjadi.
Resesi di depan mata
Akan tetapi, tidak demikian bagi banyak pihak lain. Presiden Federal Reserve Minneapolis Neel Kashkari pada 17 November mengatakan, penurunan inflasi pada Oktober belum bisa menjadi pegangan kuat untuk optimistis tentang penurunan inflasi dan suku bunga Fed. ”Kita belum berada pada level seperti itu dan saya belum yakin tekanan inflasi sudah mereda,” ujarnya.
Oleh karena itu, Kashkari mengatakan, seberapa tinggi patokan suku bunga Fed juga belum bisa dipastikan. Saran Kashkari, sepanjang belum ada kepastian soal peredaan inflasi, kenaikan suku bunga Fed tetap menjadi keharusan.
Mantan Menteri Keuangan AS Lawrence Summers juga melihat, walau sudah menurun, inflasi sekarang masih terlalu tinggi dan tergolong inflasi yang bandel (stubborn inflation). Resesi ekonomi diperlukan untuk menurunkan inflasi agar kembali ke level 2 persen, kata Summers (Market Watch, 17 September).
Potensi tekanan masih akan dihadapi negara-negara di dunia terkait suku bunga Fed. Masalah terbesar khususnya akan menimpa negara berkembang yang berutang dalam denominasi dollar AS. Kenaikan suku bunga Fed hingga 5-7 persen masih berpotensi kuat memerosotkan kurs banyak mata uang negara berkembang dan menaikkan beban pembayaran bunga utang.
Pakar strategi dari Wells Fargo, Brendan McKenna, mengatakan, suku bunga Fed yang lebih tinggi akan memberikan tekanan depresiasi pada sebagian besar mata uang. ”Kemungkinan Fed tetap mempertahankan sikap hawkish. Kurs dollar AS tetap akan menguat dan memberikan tekanan pada mata uang banyak negara, termasuk negara-negara berkembang,” kata McKenna (Bloomberg, 9 November).
Masalah lain akibat kenaikan suku bunga adalah pasar uang di AS itu sendiri yang sangat rentan bergejolak. Ada potensi rentetan efek ke bursa saham dan pasar obligasi. Gejolak di pasar uang AS, tetapi bisa menggoyang pasar uang dunia.
Masalah lain lagi adalah peredaran barang global yang masih terganggu dan turut menyebabkan inflasi. Ini masalah yang tidak bisa diatasi Fed. Dengan demikian, potensi stagnasi dan inflasi (stagflasi) masih dalam radar, seperti kerap diingatkan ekonom AS, Nouriel Roubini.
Mantan Wakil Gubernur Fed Donald Kohn mengatakan, keinginan semua pihak adalah resesi akan bersifat ringan. Akan tetapi, Kohn yang kini think-tank di The Brookings Institution mengingatkan bahwa prospek di depan sangat tidak pasti. Kohn menegaskan itu saat berbicara bersama John Taylor di New York pada seminar yang diselenggarakan Shadow Open Market Committee, satu kelompok berisikan para akademisi dan para mantan pembuat kebijakan yang memonitor kebijakan Fed. (AP/AFP/REUTERS)