Setelah Tertunda 2,5 Bulan, Misi Artemis Meluncur ke Ruang Angkasa
Misi Artemis dipandang menjadi titik kritis mengembalikan kejayaan program luar angkasa NASA. Bila uji coba ini berhasil, misi berikutnya akan membawa manusia ke orbit Bulan.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
Setelah tertunda hampir tiga bulan, keinginan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) untuk meluncurkan roket generasi baru mereka terwujud. Roket Sistem Peluncuran Luar Angkasa (SLS) tanpa awak melesat ke ruang angkasa dari Pusat Antariksa Kennedy di Cape Canaveral, Florida, Rabu (16/11/2022).
Sekitar 90 menit setelah peluncuran, bagian atas roket mendorong trans lunar injection (TLI) yang membantu mendorong pesawat luar angkasa Orion bermanuver keluar dari orbit Bumi menuju Bulan. Pesawat luar angkasa mungil itu akan berada dalam jalur penerbangan yang akan menempatkannya sekitar 97 kilometer dari permukaan Bulan sebelum mengarungi orbitnya sejauh 40.000 mil di luar Bulan.
"Ini hari yang menyenangkan," kata Direktur NASA Bill Nelson. Wajah Nelson dan seluruh kru pendukung peluncuran berseri-seri setelah serangkaian kegagalan peluncuran sejak akhir Agustus lalu.
Direktur Peluncuran Artemis Charlie Blackwell-Thompson memberi hormat atas kerja keras rekan-rekannya. ”Kita semua bagian dari sesuatu yang sangat istimewa. Peluncuran pertama Artemis, langkah pertama untuk mengembalikan Amerika Serikat ke Bulan dan Mars," katanya disambut tepuk tangan.
Upaya peluncuran kali ini bukan tanpa drama. Sebuah "tim merah" beranggotakan tiga orang dikerahkan ke landasan peluncuran pada jam-jam terakhir hitungan mundur untuk mengencangkan baut pada sambungan yang longgar. Ini diidentifikasi sebagai sumber kebocoran bahan bakar dan berpotensi kembali menggagalkan upaya peluncuran.
Dua hari sebelum peluncuran ini, upaya yang sama gagal karena kondisi cuaca tidak memungkinkan.
Hitung mundur peluncuran roket SLS dan pesawat ruang angkasa Orion, yang merupakan bagian dari program Artemis I, mencapai klimaks ketika empat mesin utama roket R-25 dan penguat roket padat kembarnya meraung hidup. Raungan itu menghasilkan daya dorong 8,8 juta pon yang membuat pesawat tersebut melesat ke angkasa.
"Sungguh luar biasa melihatnya. Sangat terang, sangat keras, Anda bisa merasakannya," kata astronot NASA, Jessica Meir. Ia satu di antara segelintir orang yang dapat dipilih untuk kru Artemis di masa depan.
Membawa roket SLS dan Orion ke Bulan dipandang banyak pihak menjadi titik kritis mengembalikan kejayaan program luar angkasa NASA. Percobaan peluncuran ini lebih dimaksudkan sebagai uji coba dan pembuktian desain pesawat yang cocok untuk membawa astronot ke Bulan, bahkan lebih jauh ke Mars.
Meski tanpa awak, manekin yang ditempatkan dalam Orion dilengkapi berbagai sensor. Tim NASA ingin mengukur tingkat radiasi dan tekanan lain yang akan dialami astronot jika mereka melaksanakan misi lanjutan.
Selain itu, misi lain yang diemban SLS dan Orion adalah menguji daya tahan perisai panas Orion ketika kembali menuju Bumi. Para ilmuwan NASA ingin melihat daya tahan perisai panas ketika bersentuhan dengan atmosfer Bumi dalam kecepatan sekitar 39.429 km per jam, setara dengan 32 kali kecepatan suara. Perisai panas itu dirancang untuk menahan gesekan yang diperkirakan menghasilkan panas hingga 2.760 derajat celcius.
Tak hanya itu, menurut Mike Sarafin, Manajer Misi Artemis, misi Artemis 1 bertujuan menguji sistem pendukung kehidupan yang dibawa oleh Orion ke orbit Bulan (Kompas.id, 3 September 2022).
Bila uji coba ini berhasil, misi berikutnya, Artemis 2, akan menjadi misi manusia pertama NASA ke orbit Bulan, mirip dengan misi yang diemban Apollo 8. Menurut rencana, empat astronot akan ikut dalam misi tersebut.
Sementara misi Artemis 3, meski dijadwalkan akan mengorbit tahun 2025, akan mengalami jeda cukup lama untuk peluncurannya. NASA memperkirakan misi selanjutnya baru terlaksana paling cepat tahun 2026. (AFP/Reuters)