Bulan, Terminal Perjalanan Manusia Menuju Mars
Artemis 1 menjadi misi awal NASA untuk kembali menjelajah tata surya. Artemis akan mencoba membangun fondasi berdirinya pos persinggahan bagi pesawat luar angkasa yang ingin menjelajah lebih jauh.
Para pihak yang terlibat pada uji coba peluncuran roket Sistem Peluncuran Luar Angkasa (SLS), yang menjadi bagian dari Program Artemis-NASA tengah menanti dengan berdebar-debar. Mereka berharap, uji coba peluncuran ke dua yang menurut rencana akan berlangsung pada Sabtu (3/9/2022), berlangsung dengan aman, tak ada kendala apapun.
Sejauh ini perkiraan cuaca tampak bagus bagi uji coba ke dua ini, setelah peluncuran pertama Senin (29/8/2022), mengalami kendala. Masalah teknis yang sebelumnya dihadapi, mulai dari kebocoran dan masalah pada mesin, telah berhasil diatasi.
Percobaan ke dua yang dipusatkan di Pusat Antariksa Kennedy, Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat, dijadwalkan berlangsung pada pukul 14.17 waktu setempat atau pukul 03.17 waktu Indonesia. Sama seperti sebelumnya, NASA juga mengalokasikan waktu dua jam bila terjadi potensi penundaan kembali.
Baca juga : Kebocoran dan Masalah Mesin Tunda Peluncuran Artemis 1
Akan tetapi, melihat kondisi cuaca di sekitar lokasi, ada keyakinan, peluncuran akan mulus. "Cuaca terlihat bagus. Tidak diharapkan jadi faktor yang menghentikan rencana," kata analis cuaca, Melody Lovin, Kamis (1/9/2022).
Teknisi NASA juga telah bekerja untuk memperbaiki kendala teknis teknis yang menyebabkan penundaan di menit-menit terakhir. Manajer Program Roket John Honeycutt mengatakan semula mereka mengira satu dari empat mesin utama (mesin ke tiga) terlalu panas. “Ternyata itu terjadi karena pembacaan sensor yang buruk,” katanya.
Sementara, masalah kebocoran tanki sudah diperbaiki. Kebocoran sudah ditambal. "Kami dapat menemukan apa yang kami yakini sebagai sumber kebocoran dan memperbaikinya," kata Direktur Peluncuran Charlie Blackwell-Thompson. Meski demikian, Manajer Misi Artemis, Mike Sarafin, memilih bersikap hati-hati jelang uji coba peluncuran ke dua. "Tidak ada jaminan bahwa kami akan meluncur hari Sabtu. Tetapi, kami akan mencoba," kata Sarafin.
Mengapa Bulan?
Tujuan penerbangan yang diberi nama Artemis 1 ini adalah menguji SLS dan kapsul awak Orion yang berada di ujung roket. Kapsul itu akan mengorbit Bulan untuk meneliti apakah kendaraan tersebut aman bagi manusia dalam waktu dekat. ”Misi ini beriringan dengan harapan dan impian banyak orang. Dan, kita sekarang adalah generasi Artemis,” kata administrator NASA, Bill Nelson. (Kompas.id, 29 Agustus 2020)
Mengapa kembali ke bulan? Bukankah manusia sudah pernah mendarat di Bulan? Mengapa bukan planet yang lain yang menjadi target pendaratan berikutnya? Ini adalah beberapa pertanyaan yang mencuat di seputar rencana peluncuran. Amerika Serikat, sebagai salah satu negara pertama yang mengirim misi manusia ke Bulan, bersama dengan Uni Soviet, dipandang seharusnya melakukan misi yang lebih ambisius.
Baca juga : Mansoori, Misi Luar Angkasa Arab, dan Mimpi UEA Bangun Koloni di Mars
Barrack Obama saat menjabat sebagai Presiden AS, pada 2010, berkata, NASA harus memiliki misi yang jauh lebih ambisius untuk melakukan eksplorasi, termasuk ke Mars atau benda-benda langit lainnya yang jauh dari Bulan. “Kita sudah pernah ke sana sebelumnya,” kata Obama saat itu, dikutip dari laman New York Times.
Mantan pilot misi Apollo 11 Michael Collins, dikutip dari rekaman wawancara program “60 Minutes Australia” pada 2019 mengatakan, kembali ke Bulan adalah sebuah perjalanan yang menyenangkan. "Akan tetapi, saya lebih suka kita menetapkan tujuan yang lebih jauh, yaitu Mars. Mars selalu menjadi tujuan favoritku,” kata Collins, yang wafat pada April 2021.
Namun Nelson memiliki alasan tersendiri mengapa misi Artemis kali ini adalah kembali ke Bulan. “Ini adalah masa depan di mana NASA akan mendaratkan perempuan pertama dan orang kulit berwarna pertama di Bulan. Selain itu, dalam misi yang semakin kompleks ini, mereka akan tinggal dan bekerja di luar angkasa, mengembangkan pengetahuan serta teknologi untuk mengirim manusia pertama ke Mars,” kata Nelson, dikutip dari NY Times.
Tak hanya itu, misi ini juga berfungsi sebagai ajang pembuktian beberapa teknologi yang dibutuhkan untuk perjalanan manusia lebih jauh dan lama di luar angkasa, terutama ke Mars. NASA juga tengah berpikir untuk membuat unit usaha khusus untuk menerbangkan instrumen ilmiah dan muatan lainnya ke Bulan.
Walau begitu, Nelson mengakui ada sebuah hal yang memicu NASA untuk kembali mengirimkan misi ke Bulan. Dia mengakui, keberhasilan China mendaratkan tiga misi di Bulan dalam beberapa tahun terakhir memotivasi mereka. Ambisi misi luar angkasa China yang ingin mendirikan pangkalan di Bulan pada 2030 diakuinya menjadi pemicu utama.
Baca juga : China Mengirim Misi Robot Angkasa Luar ke Bulan
“Kami harus khawatir mereka akan mengatakan: Ini adalah zona eksklusif kami. Anda tetap di luar. Jadi, ya, itu salah satu hal yang menjadi pertimbangan,” katanya.
Dua dekade setelah misi Apollo 17 pada 1972, rasa penasaran tentang Bulan masih sangat besar. Apalagi sejumlah ilmuwan menemukan bahwa Bulan tidak “sekering” yang mereka kira.
Dikutip dari laman NASA, 43 persen massa di daratan dan bebatuan di Bulan mengandung oksigen. Salah satu yang jamak ditemui adalah ilmenite, mineral gabungan dari unsur besi, titanium, dan oksigen. Dengan persedian yang sangat banyak, Bulan diyakini bisa menjadi tempat persinggahan manusia, mengisi logistik, dan melanjutkan perjalanannya menuju planet lain.
Pusat logistik
Dr Hannah Sargeant, peneliti pada Universtiy of Central Florida, dikutip dari laman BBC, mengatakan, ilmenite bisa menjadi sumber air bagi manusia yang tengah berada di Bulan. “Ada lebih dari 20 cara untuk mendapatkan air dari bebatuan di Bulan. Ilmenite menarik karena banyak ditemukan di sana dan butuh energi yang relatif sedikit untuk mengubahnya menjadi air (dikombinasikan dengan hidrogen),” katanya.
Sargeant, yang masih meneruskan penelitiannya tentang Bulan meyakini, tidak lama lagi manusia akan bisa tinggal lebih lama di Bulan. “Saya merasa generasi kami akan melihat hal ini. Saya yakin bahwa kita akan memiliki, setidaknya, tempat tinggal permanen di orbit sekitar Bulan dan kemdian Anda bisa pergi dan pulang ke permukaan (Bulan),” kata peneliti yang mendapatkan gelar PhD-nya untuk Ilmu tentang Bulan pada 2020 itu.
Ilmuwan lainnya yang bertugas pernah bertugas di NASA Ames Research Center, Antony Colaprete, mengatakan, setelah studi tahun 2009, yang membawa Lunar Reconnaissance Orbiter dan LCROSS ke kawah Cabeus, dekat kutub selatan Bulan menemukan adanya air di dasar. Jumlahnya cukup banyak.
Baca juga : Industri Wisata Luar Angkasa Dimulai
Hal serupa juga ditemui oleh instrumen pengorbit India, Chandrayaan-1, yang melihat adanya tanda-tanda air. Dengan adanya air, yang merupakan penggabungan dua materi, yaitu hidrogen dan oksigen, membuat masa depan Bulan sebagai pusat logistik atau hub perjalanan manusia ke planet yang lebih jauh, termasuk untuk pengisian bahan bakar.
Ilmuwan lain yang pernah bertugas di NASA Ames Research Center, Antony Colaprete, mengatakan, setelah studi pada 2009, yang membawa Lunar Reconnaissance Orbiter dan LCROSS ke kawah Cabeus, dekat kutub selatan Bulan, menemukan adanya air di dasar. Jumlahnya cukup banyak.
Hal serupa ditemui oleh instrumen pengorbit India, Chandrayaan-1, yang melihat adanya tanda-tanda air di Bulan. Adanya air, penggabungan materi hidrogen dan oksigen, menjadikan Bulan sebagai masa depan pusat logistik atau hub perjalanan manusia ke planet yang lebih jauh, termasuk untuk pengisian bahan bakar.
Sarafin, dikutip dari laman NASA, mengatakan, astronot yang akan dikirim pada misi Artemis II akan membuktikan hasil ujicoba misi Artemis 1, khususnya sistem pendukung kehidupan yang dibawa oleh kapsul Orion ke orbit Bulan. Menurut BBC, NASA telah mengumumkan 18 orang calon astronot yang akan terbang dalam misi Artemis II nantinya, yang terdiri dari sembilan perempuan dan sembilan laki-laki.
Orion yang terdiri dari dua bagian utama, yaitu Crew Module dan Service Module, akan berada di orbit Bulan selama 21 hari. Menurut rencana akan ada empat orang astronot yang akan mengawaki modul tersebut pada misi Artemis II pada 2023. Pada misi Artemis III yang dijadwalkan meluncur ke Bulan pada 2025, para astronot akan mendarat di Bulan.
Gateway akan menjadi pos terdepan yang mengorbit Bulan, memberikan dukungan vital bagi manusia mengeksplorasi tata surya.
Bila misi Artemis III sukses, NASA akan meluncurkan misi berawak sekali per tahun. Misi awalnya adalah untuk membangun Gateway, sebuah stasiun luar angkasa kecil yang mengorbit Bulan. Gateway ini akan memiliki kemampuan untuk mendukung eksplorasi dan penelitian serta berfungsi sebagai dok atau pelabuhan untuk berbagai pesawat ruang angkasa yang melakukan kunjungan ke Bulan, termasuk di dalamnya adalah fasilitas HALO (habitation and logistic outpost).
“Gateway akan menjadi pos terdepan yang mengorbit Bulan, memberikan dukungan vital bagi manusia mengeksplorasi tata surya,” kata NASA dalam pernyatannya. (AFP)