50 Tahun Setelah Misi Apollo, NASA Kembali Meluncur ke Bulan
Kapsul itu akan mengorbit Bulan untuk meneliti apakah kendaraan tersebut aman bagi manusia dalam waktu dekat. Misi selanjutnya akan membawa astronot mendarat di Bulan, sebelum akhirnya menuju ke Mars.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·4 menit baca
Roket generasi baru milik Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) belum lagi melesat. Namun, mimpi dan harapan untuk membawa manusia kembali ke Bulan, lalu akhirnya ke Mars, telah menggelora.
Sudah 50 tahun berselang sejak misi terakhir Apollo. NASA melalui program Artemis siap meluncurkan roket Sistem Peluncuran Luar Angkasa (SLS) tanpa awak dari Pusat Antariksa Kennedy, Florida, Senin (29/8/2022). Roket itu dijadwalkan lepas landas pukul 08.33 waktu setempat atau pukul 20.33 WIB. Puluhan ribu orang menanti di tepian pantai-pantai Florida untuk menonton peluncuran itu, termasuk Wakil Presiden AS Kamala Harris. Hotel di sekitar Cape Canaveral penuh. Diperkirakan antara 100.000-200.000 penonton menyaksikan peluncurannya.
Penerbangan yang dinamai Artemis 1 ini bertujuan menguji SLS dan kapsul awak Orion yang berada di ujung roket. Kapsul itu akan mengorbit Bulan untuk meneliti apakah kendaraan tersebut aman bagi manusia dalam waktu dekat. ”Misi ini beriringan dengan harapan dan impian banyak orang. Dan, kita sekarang adalah generasi Artemis,” kata administrator NASA, Bill Nelson.
Roket raksasa setinggi 98 meter berwarna jingga-putih telah berdiri di Kompleks Peluncuran 39 B selama sepekan ini. Tangki bahan bakar telah diisi dengan lebih dari 3 juta liter hidrogen dan oksigen cair. NASA menyebutkan, ada 80 persen peluang cuaca yang memungkinkan untuk peluncuran saat jendela waktu selama dua jam.
Di samping faktor cuaca, bisa saja ada masalah teknis yang menyebabkan peluncuran tertunda pada menit-menit terakhir. Penangkal petir pada lokasi peluncuran sempat tersambar petir saat badai pada Sabtu. Pejabat NASA menekankan, ini hanya uji penerbangan. Jika roket tidak bisa melesat pada Senin ini, alternatif peluncuran dilaksanakan pada 2 September dan 5 September.
Untuk pertama kalinya, seorang perempuan, Charlie Blackwell-Thompson, akan memberikan lampu hijau terakhir untuk peluncuran roket. Kamera akan menangkap setiap momen dalam 42 hari perjalanan, termasuk swafoto pesawat luar angkasa dengan Bulan dan Bumi di latar belakang. Kapsul Orion akan mengorbit Bulan dalam jarak terdekat 100 kilometer dan menggeber mesinnya untuk menempuh jarak 40.000 mil, sebuah rekor bagi pesawat luar angkasa yang membawa manusia.
Salah satu tujuan misi ini adalah menguji perisai panas kapsul. Diameternya mencapai 48 meter, terbesar yang pernah dibuat. Sekembalinya ke atmosfer Bumi, pelindung panas ini harus menahan kecepatan 25.000 mil per jam dan suhu 2.760 derajat celsius. Ini separuh dari panas Matahari.
”Yang kita mulai dengan peluncuran pada Senin ini bukan lari cepat, melainkan maraton, untuk membawa tata surya ke lingkungan kita,” kata Bhavya Lal, rekanan administrator NASA untuk teknologi, kebijakan, dan strategi.
Menuju Mars
Misi selanjutnya, Artemis 2, akan membawa astronot ke orbit sekitar Bulan tanpa mendarat di permukannya. Baru pada misi Artemis 3 pada 2025, astronot akan mendarat di Bulan. Manusia terakhir yang berjalan di Bulan adalah dua pria dari tim Apollo 17 tahun 1972, mengikuti jejak 10 astronot lainnya selama lima misi sebelumnya yang dimulai Apollo 11 tahun 1969.
Kala misi Apollo, manusia berjalan di Bulan hanya eksklusif bagi pria kulit putih. Bersama misi Artemis, perempuan dan warga kulit berwarna akan turut serta.
Lantaran manusia sudah mengunjungi Bulan, Artemis menetapkan tujuan lain, yakni misi berawak ke Mars. Program ini berambisi membangun kehadiran manusia di Bulan yang bertahan lama melalui stasiun luar angkasa yang mengorbitnya, yakni Gateway, dan pangkalan di permukaan Bulan. Gateway nantinya akan berperan sebagai stasiun pengisian bahan bakar untuk perjalanan ke Mars yang berlangsung minimal sebulan lamanya.
Dalam artikel ”Why NASA Is Going Back to the Moon” yang dilansir The New York Times, 28 Agustus 2022, disebutkan, misi ini tidak sebatas mendaratkan manusia di Bulan. ”Itu sudah pernah,” kata mantan Presiden AS Barack Obama tahun 2010.
Kini, seperti dijabarkan Nelson, astronot akan tinggal dan bekerja di sana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi guna mengirim manusia pertama ke Mars.
Bukan NASA saja yang ingin ke Bulan. Dalam beberapa tahun terakhir, China telah berhasil mendaratkan tiga misi robot di Bulan. India dan Israel juga mengirim wahana pendarat tahun 2019, meskipun keduanya jatuh dan hancur. Wahana pengorbit Korea Selatan sedang dalam perjalanan. Ambisi China, menurut Nelson, memberi motivasi tambahan bagi misi Artemis.
Bagi para ilmuwan, fokus baru di Bulan menjanjikan pesta data baru di tahun-tahun mendatang. Bebatuan yang dikumpulkan astronot saat misi Apollo menjungkirbalikkan pemahaman tentang sistem tata surya. Analisis isotop radioaktif menyediakan dengan tepat data dari beberapa wilayah di permukaan Bulan.
Batu-batu itu juga menunjukkan kisah asal muasal Bulan. Tampaknya Bulan terbentuk dari puing yang terlepas ke luar angkasa saat obyek seukuran Mars menabrak Bumi 4,5 miliar tahun lalu. (AP/AFP/REUTERS)