Merekam Bumi dari Luar Angkasa
Berkat satelit, momen dramatis letusan gunung api bawah laut di Tonga, selatan Samudera Pasifik berhasil direkam. Satelit bagai mata manusia di luar angkasa yang mampu merekam perubahan lingkungan Bumi.
Erupsi gunung api bawah laut di Pulau Hunga Tonga-Hunga Ha'apai di selatan Samudera Pasifik beserta kerusakan yang ditimbulkan berhasil direkam oleh kamera sejumlah satelit. Berkat satelit, proses pemantauan Bumi dan mitigasi bencana yang terjadi, termasuk di wilayah terpencil sekalipun, bisa lebih mudah dilakukan.
Letusan gunung api bawah laut di Tonga yang berhasil direkam itu terjadi Sabtu (15/1/2022). Akibat erupsi ini, material gas dan debu vulkanik gunung dilemparkan ke angkasa hingga ketinggian 20 kilometer (km) dan tersebar hingga radius 246 km. Erupsi juga memicu gelombang pasang di ibukota Kerajaan Tonga, Nuku'alofa serta tsunami di sejumlah negara.
Salah satu satelit yang berhasil merekam momen letusan menakjubkan itu adalah Geostationery Operational Environmental Satellite (GOES) milik Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat (NOAA) serta Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS (NASA). Ini adalah satelit cuaca dengan tipe orbit geostasioner atau berada di ketinggian 35.785 km.
Satelit GOES yang merekam peristiwa itu adalah GOES West yang terletak di atas garis bujur 137,2 derajat bujur barat. Sistem satelit GOES ini memang terdiri atas beberapa satelit. Sebelum beroperasi dengan nama GOES West pada 12 Februari 2019, satelit yang diluncurkan pada 1 Maret 2018 ini bernama GOES-17 atau GOES-S.
Baca juga: Tsunami dari Erupsi Tonga Terdeteksi di Indonesia
Dikutip dari situs Badan Meteorologi Dunia (WMO), satelit dengan bobot 5.192 kilogram (kg) itu dilengkapi sejumlah instrumen untuk memantau Bumi, seperti Advanced Baseline Imager (ABI) untuk memperoleh citra cuaca, iklim, dan lingkungan Bumi, Geostationery Lightning Mapper (GLM) untuk memetakan petir, dan Geostationery Search and Rescue (GEO S & R) untuk mitigasi bencana.
Dari salah satu citra yang diperoleh GOES West, tampak bagaimana abu letusan gunung memancar dan menyebar ke angkasa. Dengan menggunakan ABI, citra yang diperoleh memiliki resolusi sangat tinggi hingga memudahkan peneliti untuk mengidentifikasi penyebaran abu vulkanik dan gas belerang dioksida (SO) dari letusan tersebut.
Namun, letusan yang terjadi pada 15 Januari lalu bukanlah yang pertama. Seperti dikutip dari Space, Sabtu (15/1/2022), GOES West telah mengikuti letusan gunung api itu sejak Desember 2021. Hasilnya, letusan terakhir yang memicu hujan abu di sekitar Tonga dan tsunami di sejumlah negara itu berkekuatan tujuh kali lebih besar dibanding letusan sebelumnya.
Selain GOES West, satelit yang berhasil mendeteksi letusan gunung api bawah laut di Tonga itu adalah Himawari-8 milik Badan Meteorologi Jepang. Satelit seberat 3.500 kg ini diluncurkan pada 7 Oktober 2014 dan memiliki orbit geostationer yang diletakkan pada 140,7 derajat bujur timur. Himawari-8 memiliki alat yang disebut Advanced Himawari Imager (AHI) untuk memperoleh citra berkualitas tinggi.
Ada pula satelit Korea Selatan Geo-Kompsat 2A (GK-2A). Satelit multifungsi ini juga memiliki orbit geostasioner yang diletakkan di atas 128,2 derajat bujur timur. Satelit yang diluncurkan pada 4 Desember 2018 dan memiliki instrumen Advanced Meteorological Imager (AMI) ini juga berhasil merekam 'jamur' letusan gunung api bawah laut dari sudut yang berbeda.
Satelit Eropa juga tak mau ketinggalan. Satelit Sentinel-1A yang dikelola Badan Antariksa Eropa (ESA) itu terbang di atas wilayah Tonga pada 12 jam setelah erupsi yang terjadi, Sentinel-1A adalah satelit orbit rendah yang mengitari Bumi pada ketinggian 693 km.
Baca juga: Kondisi Tonga Pasca Disapu Tsunami Akibat Erupsi Gunung Hunga Tonga-Hunga Ha'apai
Berbeda dengan GOES West, Himawari-8 dan GK-21, Sentinel-1A adalah satelit dengan orbit near-polar artinya satelit ini mengitari Bumi di dekat dua kutub Bumi, bukan di khatulistiwa, serta orbit sun synchronous sehingga akan melintasi satu titik di Bumi pada waktu yang sama setiap hari.
Satelit yang dilengkapi Synthetic Aperture Radar (SAR) dan diluncurkan 3 April 2014 itu berhasil merekam sebaran abu vulkanik yang menutupi hampir seluruh wilayah Tonga dan menyaksikan kerusakan bangunan yang terjadi di sana. Selama proses letusan berlangsung, sulit bagi satelit untuk melihat apa yang terjadi dibawah gumpalan abu vulkanik tersebut, kecuali satelit yang dilengkapi dengan radar seperti Sentinel-1A ini.
Antariksawan yang tengah bertugas di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) pun tak mau ketinggalan. Antariksawan NASA Kayla Baron berhasil memotret gumpalan abu dari letusan gunung api bawah laut Tonga itu pada Minggu (16/1) saat melewati wilayah Selandia Baru yang berjarak sekitar 2.000 km dari lokasi gunung api.
Saat itu, abu gunung api telah mencapai ketinggian 39 km. Gumpalan abu vulkanik membuat wilayah yang ada di bawahnya tampak gelap dan memberikan sensasi pemandangan yang menakutkan bagi antariksawan di ISS yang berada di ketinggian sekitar 420 km, paling dekat dibandingkan posisi satelit-satelit yang menangkap citra letusan gunung api Tonga.
Pemantau Bumi
Perekaman langsung letusan gunung api bawah laut yang dahsyat di wilayah yang terpencil di muka Bumi itu berhasil dilakukan berkat adanya satelit pemantau Bumi yang dioperasikan sejumlah negara. Sebagian satelit dengan orbit geostasioner mengamati Bumi dari lokasi yang tetap, sedangkan satelit dengan orbit yang lebih rendah terus mengitari Bumi hingga beberapa kali dalam sehari.
Perekaman langsung letusan gunung api bawah laut yang dahsyat di wilayah yang terpencil di muka Bumi itu berhasil dilakukan berkat adanya satelit pemantau Bumi yang dioperasikan sejumlah negara.
Data yang diperoleh berbagai satelit itu, seperti dikutip dari BBC, 17 Januari 2022, dapat dimanfaatkan untuk melakukan sejumlah upaya tanggap darurat, baik untuk penyelamatan penyintas bencana maupun mencegah bahaya lebih lanjut. Selain itu, citra yang diperoleh bisa dimanfaatkan ilmuwan untuk mempelajari lebih lanjut peristiwa yang terjadi.
Untuk kasus gunung api bawah laut di Tonga, satelit cuaca paling berperan dalam mendeteksi terjadinya letusan tersebut, seperti GOES West, Himawari-8 dan GK-2A. Mereka berhasil menangkap momen paling dramatis saat letusan terjadi hingga menyemburkan banyak abu dan debu vulkanik ke angkasa.
Baca juga: Ribuan Barrel Minyak Tumpah akibat Erupsi Gunung Tonga
Lokasi satelit memang terletak di dekat lokasi bencana dan lokasi bencana masuk dalam jangkauan operasional satelit tersebut. Satelit cuaca itu memindai muka Bumi setiap beberapa menit sekali. Citra yang mereka peroleh akan dikirimkan ke pusat operasional di Bumi guna dianalisis demi membuat prakiraan cuaca.
Namun, semburan gas dan debu vulkanik itu membuat apa yang sebenarnya terjadi di permukaan tanah sulit diketahui. Belum lagi, putusnya jaringan komunikasi membuat kondisi riil masyarakat di lokasi bencana sulit diketahui. Persoalan ini bisa diatasi dengan teknologi radar yang mampu menembus awan dan debu, seperti yang ada pada Sentinel-1A.
Teknologi ini banyak ditemukan pada satelit surveilans atau pemantau Bumi. Namun, butuh kemampuan lebih khusus untuk bisa memahami citra radar. Kemampuan ini banyak dimiliki oleh ahli penginderaan jauh yang memang terbiasa membaca citra radar.
Dari citra yang diperoleh, munculnya gelombang kejut akibat letusan yang bergerak ke segala arah. Seperti dilaporkan Kantor Meteorologi Inggris (Met Office), gelombang kejut ini terdeteksi di Inggris pada Sabtu (15/1) malam. Namun hingga 24 jam sesudahnya, riak gelombang atmosfer yang ditimbulkannya masih terjadi. Riak gelombang ini terjadi karena atmosfer Bumi bersifat seperti fluida.
Besarnya jumlah abu yang dilepaskan ke atmosfer juga terdeteksi oleh satelit Aeolus milik ESA. Satelit ini mengukur sifat angin dari permukaan tanah hingga ketinggian 30 km dengan cara menembakkan sinar ultraviolet. Namun, sinar yang ditembakkan pada Minggu (16/1) itu nyatanya terhalang oleh debu gunung api yang menandakan tebalnya awan debu dan banyaknya debu yang dilepaskan gunung api.
Namun dari pemetaan sebaran belerang oksida yang dilakukan satelit Sentinel-5P, jumlah belerang oksida dari gunung api bawah laut di Tonga ini tidak terlalu besar dalam mendinginkan iklim global. Situasi ini berbeda dengan letusan Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991 mampu menurunkan suhu rata-rata Bumi hingga setengah derajat celsius selama beberapa tahun.
Pendinginan itu terjadi karena belerang oksida yang dilepaskan gunung api ke atmosfer akan berikatan dengan air hingga membentuk kabut tipis yang memantulkan sinar Matahari yang menuju permukaan Bumi. Akibatnya, paparan panas Matahari ke Bumi pun berkurang hingga menurunkan iklim Bumi.
Meski demikian, di luar persoalan pemanfaatan citra satelit letusan gunung api bawah laut Tonga tersebut, hal paling penting yang harus dilakukan sekarang adalah memantau kerusakan yang terjadi, baik akibat sebaran abu vulkanik maupun tsunami yang menyertai. Proses penyelamatan dan tanggap darurat bagi penyintas bencana harus segera dilakukan.
Untuk itu, sejumlah satelit pemantau Bumi beresolusi tinggi dikerahkan untuk memantau kondisi dampak kerusakan di Tonga.
Satelit Indonesia
Indonesia sebagai negara dengan kerawanan bencana sangat tinggi dan memiliki segala bentuk bencana alam sebenarnya juga membutuhkan satelit-satelit pemantau Bumi. Satelit itu diharapkan tak hanya bisa digunakan untuk mendeteksi dan menangani bencana, namun juga sarana komunikasi saat bencana karena seringkali jaringan telekomunikasi di daerah bencana ikut terdampak bencana.
Pada 2019, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang kini menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional telah menggagas pengembangan satelit komunikasi orbit rendah sebagai prioritas riset nasional. Satelit yang dihasilkan diharapkan bisa mendeteksi bencana dan penanganan bencana, termasuk sebagai sarana komunikasi selama bencana.
Untuk mewujudkan ambisi itu, seperti dikutip Kompas, 31 Maret 2021, Pusat Teknologi Satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional atau kini Pusat Riset Teknologi Satelit BRIN menyebut dibutuhkan sembilan satelit dengan orbit ekuatorial untuk diletakkan di orbit rendah. Dana yang dibutuhkan sebesar Rp 901 miliar dan akan dilaksanakan pada tahun 2020-2024.
Namun, pandemi Covid-19 dan penataan semua lembaga riset pemerintah menjadi BRIN mengubah banyak rencana. Hingga kini, nasib dan pendanaan program pengembangan satelit komunikasi orbit rendah menjadi tidak jelas.
Sebagai bangsa yang besar dengan ekonomi terus tumbuh, sudah sewajarnya Indonesia ikut bersaing dalam perlombaan teknologi antariksa, terutama satelit. Selain itu, wilayah kepulauan yang luas dan jumlah penduduk besar membuat pengembangan satelit akan berdampak besar bagi pengembangan ekonomi berbasis inovasi.
Sudah saatnya Indonesia bangsa ini mandiri dalam teknologi satelit karena kebutuhan pasar dalam negeri akan terus membesar. Sejak 1976 saat Indonesia menjadi negara ketiga di dunia yang menggunakan satelit komunikasi hingga saat ini, semua satelit disewa, diproduksi dan diluncurkan dari negara lain.
Terwujudnya kemandirian satelit ini akan berdampak besar bukan hanya pada ekonomi, tetapi juga kebanggagan bangsa. Capaian ini bisa menginspirasi anak muda untuk mau menekuni sains dan teknologi, khususnya yang terkait dengan antariksa.