Kantongi Skema Pembiayaan di G20, Indonesia Akan Pensiunkan PLTU
Forum G20 jadi titik awal Indonesia memulai langkah penghentian operasionalisasi PLTU. Sejumlah inisiatif yang disepakati memberikan dukungan bagi Indonesia untuk dapat memulai langkah tersebut.
Oleh
agnes theodora
·6 menit baca
BADUNG, KOMPAS – Biaya untuk memulai transisi energi di sektor pembangkit listrik yang selama ini bergantung pada energi fosil tidak murah. Lewat sejumlah inisiatif kerja sama yang digagas di forum G20, Indonesia mendapat sokongan dana untuk memulai proyek menghentikan operasionalisasi pembangkit listrik tenaga uap dan membuktikan keseriusannya dalam menekan emisi karbon.
Pendanaan itu didapat dari skema Kerja Sama Transisi Energi yang Adil (JETP) melalui kerja sama pembiayaan publik dan swasta senilai 20 miliar dollar AS atau sekitar Rp 310 triliun serta Mekanisme Transisi Energi (ETM) senilai 500 juta dollar AS atau Rp 7,7 triliun. Kedua inisiatif itu diluncurkan di sela-sela ajang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Nusa Dua, Badung, Bali.
Untuk JETP, Indonesia mendapat dana dari Amerika Serikat dan Jepang. Adapun kerja sama lewat ETM dilakukan dengan dukungan bank pembangunan multilateral, seperti Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Pembangunan Islam (IsDB), dan Bank Dunia (World Bank).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dalam konferensi pers di Nusa Dua, Bali, Selasa (15/11/2022) mengatakan, dalam enam bulan ke depan, melalui skema JETP, pemerintah bersama tim dari AS dan Jepang akan mengembangkan rencana investasi untuk mempercepat capaian target niremisi di sektor ketenagalistrikan Indonesia 10 tahun lebih cepat, dari awalnya tahun 2060 menjadi 2050.
Ia belum mengungkap PLTU mana saja yang akan dipensiunkan lebih cepat melalui skema pendanaan JETP. Namun, targetnya, pemerintah akan menyasar menghentikan operasional 5,2 gigawatt (GW) PLTU. Adapun pembiayaan publik dan swasta itu akan dilakukan dalam periode 3-5 tahun dengan menggunakan dana hibah, pinjaman lunak, jaminan, dan investasi swasta.
”Banyak yang harus kita lakukan dalam enam bulan. Kita punya bayangan soal skemanya, tetapi itu butuh waktu untuk finalisasi. Bagaimana jadwal penghentiannya, berapa porsi pinjaman yang kita dapat, seberapa menguntungkan tingkat suku bunga yang akan kita dapat, itu nanti didiskusikan lagi,” kata Luhut,
Ia mengatakan, dalam negosiasi, ada empat syarat yang diajukan Indonesia. Pertama, kebijakan transisi energi jangan sampai mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kedua, harus ada dukungan berupa teknologi berbiaya rendah. Ketiga, transisi energi harus di saat yang tepat. Keempat, pinjaman yang diberikan harus berasal dari negara dengan rating kredit yang baik.
”Ini terus saya tekankan, jangan sampai mengganggu pertumbuhan ekonomi kita. Kita harus berhati-hati dan bertahap melakukan (transisi energi). Ini bukan pekerjaan mudah, tapi saya yakin target yang kita inginkan bisa tercapai,” kata Luhut.
Bagaimana jadwal penghentiannya, berapa porsi pinjaman yang kita dapat, seberapa menguntungkan tingkat suku bunga yang akan kita dapat, itu nanti didiskusikan lagi.
Staf Khusus Bidang Iklim Kementerian Keuangan Amerika Serikat John Morton mengatakan, targetnya, proyek kerja sama senilai 20 miliar dollar AS dari sektor publik dan swasta itu dapat menekan emisi karbon hingga 300 megaton pada periode 2022-2030 dan lebih dari 2 gigaton pada periode 2022-2060.
”Kerja sebenarnya baru dimulai. Kita punya waktu enam bulan untuk memikirkan bagaimana rencana yang komprehensif untuk mengarahkan investasi yang masuk ini dalam target waktu 3-5 tahun,” kata John yang hadir bersama Luhut.
Sejumlah kepala negara di G20 turut mendukung langkah awal transisi energi itu. Presiden AS Joe Biden mengatakan, Indonesia telah menunjukkan ambisi besar untuk mewujudkan kemitraan JETP itu. ”Ini menunjukkan bagaimana suatu negara dapat mengurangi emisi dan mengembangkan energi terbarukan, tetapi juga menciptakan lapangan kerja berkualitas dan melindungi mata pencaharian masyarakat,” kata Biden.
Proyek pilot
Selain melalui JETP, pemerintah juga mendapat suntikan dana untuk ”menyuntik mati” PLTU batubara lewat skema ETM. PLTU pertama yang akan dipensiunkan adalah Cirebon-1 dengan kapasitas 660 megawatt (MW) di Cirebon, Jawa Barat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, komitmen dana yang terkumpul sejauh ini sebesar 500 juta dollar AS atau Rp 7,7 triliun dan akan dikembangkan menjadi 4 miliar dollar AS. Total dana itu akan dimobilisasi untuk menghentikan 15 GW PLTU yang akan dipensiunkan sampai tahun 2060.
Sri Mulyani mengatakan, skema ini akan dijadikan patokan oleh setiap pemangku kepentingan yang berminat mengembangkan energi baru terbarukan untuk menggantikan penggunaan energi fosil yang masih sangat mendominasi konsumsi energi di Indonesia. ”Semua stakeholder, dari pendana, bank pembangunan multilateral, bilateral (negara), sektor swasta, akan punya skema regulasi sama. Berapa biaya yang dibutuhkan, siapa yang akan membayar, ke mana mereka bisa berkontribusi,” katanya.
PLTU pertama yang akan dipensiunkan adalah Cirebon-1 dengan kapasitas 660 megawatt (MW) di Cirebon, Jawa Barat.
Menurut dia, meski transisi energi telah menjadi keniscayaan, proyek pensiun dini PLTU dan pengembangan EBT jangan sampai mengorbankan keamanan energi (energy security) Indonesia. ”Ini harus jadi solusi win-win. Win-win untuk PLN dari segi keuangan, win-win untuk masyarakat dalam hal energi bersih dan murah, win-win juga untuk dunia karena kita akan mengurangi emisi karbon lewat ini,” tutur Sri Mulyani.
Dalam paparan ADB disebutkan, PLTU Cirebon-1 dipilih sebagai proyek pensiun dini pertama yang menggunakan skema ETM karena merupakan pembangkit listrik yang umurnya cukup tua dan memiliki struktur finansial yang tepat untuk mendapat pendanaan ulang.
Menghentikan PLTU Cirebon-1 15 tahun lebih cepat dari usia seharusnya diyakini bisa mengurangi emisi karbon sampai 30 juta ton, setara dengan meniadakan 800.000 mobil dari jalan raya. Adapun sumber pendanaan untuk proyek pensiun dini ini berasal dari dana yang dikelola ADB. Jumlah institusi keuangan dan filantropi yang berniat menyumbang masih terus bertambah.
Menanggapi ”banjir” suntikan dana yang didapat Indonesia dari momen G20, masyarakat sipil Indonesia yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia menyambut proyek itu dengan baik, tetapi mengingatkan agar proses rencana investasi lewat JETP dan ETM dilakukan dengan transparan dan partisipatif.
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya mengatakan, perumusan skema JETP jangan sampai dijadikan pembenaran untuk tetap bergantung pada pembangkit berbahan batubara, melainkan dengan cara yang lebih ”hijau”.
Skema JETP jangan sampai dijadikan pembenaran untuk tetap bergantung pada pembangkit berbahan batubara, tetapi dengan cara yang lebih “hijau” atau greenwashing.
Ia menyoroti ambigunya regulasi yang dikeluarkan pemerintah sejauh ini dalam mendorong transisi energi. ”Pendanaan ini seharusnya melarang tegas semua PLTU baru dan memberikan disinsentif di sektor batubara. Perlu ada dukungan regulasi jelas untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan dan mendorong reformasi oleh PLN,” kata Tata.
Sementara itu, Program Manajer dan Peneliti Trend Asia Andri Prasetiyo mengkhawatirkan pendanaan melalui skema kerja sama internasional bisa saja berujung pada semakin beratnya beban utang Indonesia. Skema pendanaan yang lebih berat pada pinjaman komersial bisa membebani negara berkembang dalam melakukan transisi energi.
Menurut dia, pendanaan iklim seperti JETP seharusnya bersifat hibah dan pembiayaan lunak, bukan dalam bentuk pembiayaan komersial yang malah bisa membebani pemerintah dengan utang baru.
”Saya khawatir JETP bisa gagal mendukung elemen paling kritis dari transisi yang adil itu kalau skemanya nanti ternyata lebih banyak mengeluarkan utang dan tidak memberikan porsi hibah yang cukup atau skema pembiayaan lunak untuk negara berkembang,” katanya. (AGE)