Dunia usaha dinilai memiliki daya lenting yang mampu meredam fragmentasi, termasuk rivalitas dan relasi geopolitik yang tengah memanas. Dunia usaha diharapkan mampu mendorong perdamaian.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·4 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS Ketegangan geopolitik yang meruncing semakin mengikis kepercayaan dunia terhadap sistem perdagangan internasional, dan memicu aksi proteksionisme di banyak negara. Komunitas bisnis global diharapkan bisa menjembatani berbagai kepentingan yang kini terbelah dan menempatkan jalur pemulihan global kembali ke relnya.
Seruan agar dunia usaha ikut meredam tensi geopolitik itu disampaikan oleh hampir semua pembicara yang hadir pada hari pertama B20 Summit di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Nusa Dua, Badung, Bali pada Minggu (13/11/2022).
Adapun B20 merupakan bagian dari forum G20, sebuah forum diskusi bagi pelaku usaha dari negara-negara anggota G20. Forum yang diadakan pada 13-14 November 2022 itu dihadiri oleh 2.000 peserta dan 1.500 perusahaan dari 65 negara.
Saat memberi sambutan pada sesi diskusi mengenai masa depan perdagangan global, President United Nations Sustainable Development Solutions Network (SDSN) Jeffrey Sachs mengatakan, dunia semakin terpolarisasi. Negara yang mengambil langkah proteksionisme untuk melindungi kepentingan domestik kini jauh lebih banyak dibandingkan 10 tahun yang lalu.
Pelemahan ekonomi dan disrupsi terhadap rantai pasok global yang sudah terjadi sejak pandemi Covid-19 semakin menjadi-jadi pascakonflik Rusia-Ukraina. Dunia terbelah ke dalam faksi-faksi yang memicu krisis baru di bidang energi, pangan, dan keuangan, alih-alih menyelesaikan krisis yang lama.
”Gagasan bahwa kita tidak perlu bergantung kepada negara lain itu salah besar. Kita butuh ketergantungan yang mutual. Saya bergantung kepada Anda, Anda bergantung kepada saya. Begitu seharusnya dunia bekerja,” kata Sachs.
Di tengah fragmentasi yang semakin tajam di level pemerintah tiap negara itu, ia berharap suara dari dunia usaha bisa meredakan tensi yang ada. Sachs mengatakan, sektor bisnis yang kepentingannya relatif cair melampaui ideologi dan sikap politik seharusnya bisa meleburkan polarisasi tersebut.
”Suara Anda sebagai pelaku usaha sangat berarti, dan jujur saja, saat ini belum cukup didengar. Para pemimpin yang beberapa hari lagi akan bertemu perlu mendengar suara dari komunitas bisnis, bahwa ekonomi tidak bisa berjalan dan tidak akan pernah pulih di tengah lingkungan yang semakin tertutup dan rawan seperti ini,” ujarnya.
Saat membuka B20 Summit, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid menyuarakan hal serupa. Ia mengatakan, komunitas bisnis global yang tergabung di B20 telah menyepakati prinsip bersama 5P, yaitu peace (perdamaian), prosperity (kesejahteraan), people (manusia), planet (Bumi), dan partnership (kerja sama).
”Kunci pertamanya adalah perdamaian. Tanpa itu, semua usaha yang kita lakukan akan sia-sia. Memang berat, tetapi ini yang harus disadari oleh pemerintah di seluruh dunia saat ini. Banyak bukti selama ini di mana komunitas bisnis global bisa merajut kerja sama dan menjembatani perbedaan,” katanya.
Bagian dari komunike
Seruan agar para pemimpin negara bisa menyudahi konflik dan kembali fokus pada pemulihan ekonomi yang inklusif itu akan menjadi salah satu poin dari komunike yang disepakati oleh forum B20. Komunike itu juga akan menyertakan 25 rekomendasi kebijakan, 68 aksi konkret, serta sejumlah warisan program yang akan dilanjutkan oleh presidensi G20 berikutnya, yaitu India.
Arsjad berharap rekomendasi sikap dan kebijakan yang akan disampaikan pada acara puncak B20 Summit, Senin (14/11), nanti dapat diadopsi dalam deklarasi sikap para pemimpin negara atau leaders declaration di KTT G20. ”Pengalaman selama 11 bulan terakhir ini menunjukkan bahwa di tengah dunia yang semakin terbelah, mungkin saja masih ada harapan untuk melupakan perbedaan dan berkolaborasi,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam wawancara khusus dengan harian Kompas, pekan lalu, Arsjad mengatakan bahwa sektor bisnis dan politik bagaikan dua sisi mata uang yang terpisah sekaligus berdampingan. Hal itu terlihat dari tetap cairnya pembicaraan antarpelaku bisnis dari negara anggota G20 yang posisi politik pemerintahannya sedang berseberangan.
Bahkan, menurut dia, kerja sama antarpebisnis (business to business) masih bisa dilakukan oleh perusahaan dari negara yang berbeda kubu. ”Bisnis itu melampaui politik sehingga meskipun di level G20 begitu alot, di B20 suasananya lebih cair,” ujar Arsjad.
Seruan untuk mengakhiri konflik dan kembali pada sistem perdagangan global menjadi salah satu rekomendasi kebijakan dalam Kelompok Kerja Perdagangan dan Investasi (Trade and Investment Task Force) B20.
Arif Rachmat, yang mengetuai kelompok kerja itu, mengatakan, memasuki tahun depan yang lebih gelap karena dibayangi ancaman resesi global, membangun sistem perdagangan global yang kuat dan tidak terdisrupsi oleh ketegangan politik menjadi semakin mendesak.
”Kami meminta para pemimpin negara untuk mempromosikan iklim perdagangan dan investasi yang lebih terbuka, adil, dan inklusif dengan kembali pada semangat multilateralisme. (Tujuannya) agar kita bisa menguatkan kerja sama global dan membantu negara-negara untuk pulih lebih cepat dari dampak berkepanjangan pandemi (Covid-19),” katanya.
Pada sesi terpisah di B20 Summit, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar meyakini, isu-isu alot yang kini tidak bisa disepakati oleh pemerintah tiap negara tetap bisa dicapai di level kerja sama bisnis global. Komunitas bisnis global diharapkan bisa menjembatani kepentingan yang sekarang ini terbelah dan mengganggu laju pemulihan ekonomi.
”Sebanyak apa pun kita berharap kepada para pemimpin negara, menjembatani konflik yang ada saat ini dari perspektif politik tampaknya semakin lama semakin sulit. Ini saatnya komunitas bisnis memainkan peran lebih besar,” kata Mahendra.