Apabila nanti KTT G20 berakhir tanpa komunike, berbagai kesepakatan konkret yang kini dicapai dalam level teknis kerja sama diharapkan dapat diresmikan. Kerja sama itu penting guna mendorong upaya-upaya pemulihan.
Oleh
AGNES THEODORA WOLKH WAGUNU, DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketegangan geopolitik dunia membayangi kemungkinan dicapainya konsensus bersama dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Nusa Dua, Bali. Meski demikian, sejumlah pihak tetap optimistis pertemuan itu menghasilkan langkah positif. Indonesia sebagai pemangku Presidensi G20 akan mengupayakan titik temu guna mencapai program-program konkret.
Sejauh ini, setelah hampir satu tahun berdialog, para pemangku kepentingan di G20 berhasil mencatatkan sejumlah pencapaian. Juru bicara G20 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (6/11/2022), mengatakan, ada berbagai program konkret bidang kesehatan yang diusulkan untuk diresmikan dalam KTT G20, 15-16 November. Program konkret itu, antara lain, pembentukan pendanaan pandemi dengan komitmen 1,4 miliar dollar AS dari 20 donor dan 3 filantrop.
Usulan berikutnya, formalisasi mekanisme penggunaan dana pandemi. Pada pandemi Covid-19, distribusi dana-dana yang tersedia di tingkat global belum merata. Hal itu tampak dari kesenjangan akses vaksin Covid-19. Mekanisme yang digunakan akan merujuk pada mekanisme akselerator akses peralatan untuk Covid-19 (ACT-A). Hal ini telah dikaji dan akan diteruskan dalam Presidensi G20 India tahun depan.
Pendanaan ini dibentuk untuk menghilangkan kesenjangan antarnegara sehingga bisa diakses oleh setiap negara yang membutuhkan. Selama ini kesenjangan dalam kesiapsiagaan pandemi terhitung sebesar 10,5 miliar dollar AS.
”Kami berharap pendanaan ini dibentuk pada akhir masa kepresidenan G20 Indonesia dan dapat dioperasikan di bawah struktur tata kelola dengan pengawasan ketat. Pendanaan bermanfaat guna meningkatkan kapasitas global dalam pencegahan, persiapan, dan respons terhadap pandemi di masa mendatang,” ujar Nadia.
Usulan lain ialah pembentukan jejaring penelitian dan manufaktur untuk vaksin, obat-obatan, dan alat diagnostik. Setidaknya tujuh negara sepakat membentuk jejaring itu. Mereka adalah Afrika Selatan, Turki, Arab Saudi, Indonesia, Argentina, Brasil, dan India.
Usulan-usulan itu, menurut Nadia, terdokumentasi dalam chair summary. Selanjutnya, materi itu akan diperdalam melalui pertemuan G20 Joint Finance-Health Ministers Meeting sebelum KTT G20 berlangsung. ”Pertemuan ini akan memperdalam chair summary dan mendorong kontribusi negara lain, misalnya dalam pandemic fund,” ujarnya.
Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, Presidensi G20 Indonesia juga mencatat langkah positif. Jumat pekan lalu, dalam pertemuan di Bogor, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, berbagai kesepakatan dapat dicapai di level teknis kerja sama.
Terkait isu krisis pangan, misalnya, anggota G20 mengumpulkan total dana komitmen 60,5 miliar dollar AS atau Rp 944,6 triliun. Dana ditujukan bagi program tanggap ketahanan pangan yang akan disalurkan melalui inisiatif kolaborasi global dan regional lewat bank pembangunan multilateral.
Inisiatif itu, antara lain, program Food Security Response lewat Bank Dunia (30 miliar dollar AS), program Addressing Food Security lewat Bank Pembangunan Asia atau ADB (14 miliar dollar AS), dan Food Security Response lewat Bank Pembangunan Islam atau IsDB (10,5 miliar dollar AS).
”Kita bersama menggalang kemampuan untuk menghindari krisis pangan dunia, khususnya di negara miskin dan berkembang,” kata Febrio.
Ada pula inisiatif bantuan restrukturisasi utang bagi negara miskin dengan melanjutkan Common Framework for Debt Treatment yang sudah ada sejak presidensi Italia.
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral BKF Kemenkeu Dian Lestari mengatakan, penyelesaian sejumlah kendala yang membuat pelaksanaan Common Framework (CF) tidak efektif dapat disepakati. Misalnya, pembentukan komite kreditor untuk tiga klien pertama skema CF, yaitu Chad, Etiopia, dan Zambia.
Proses restrukturisasi utang untuk ketiga negara selama ini berjalan lambat. Hal itu hendak diatasi lewat presidensi Indonesia. ”Kita mendorong agar ada kepastian bagi negara-negara klien, dengan penyelesaian proses (peringanan utang) yang tepat waktu,” kata Dian.
Selain restrukturisasi utang, disepakati pula program Resilience and Sustainability Trust (RST) dengan dana 81,6 miliar dollar AS dari target 100 miliar dollar AS. Program ini bertujuan memperkuat jaring pengaman keuangan global, khususnya bagi negara miskin dan berkembang. Dana program dimobilisasi dari alokasi kuota negara maju dalam program Hak Penarikan Khusus atau Special Drawing Rights (SDR) oleh IMF dengan nilai total 650 miliar dollar AS.
Penengah
Dalam negosiasi, Indonesia berusaha memosisikan diri sebagai penengah yang netral untuk menghasilkan kesepakatan strategis. Dian mengatakan, meski tanpa komunike, dokumen chair summary yang dicapai di berbagai kelompok kerja dan pertemuan menteri menggambarkan komitmen yang sama kuatnya.
”Bentuknya chair summary, tetapi kuat,” katanya.
Menurut Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini, Indonesia mengampu ketua G20 dalam kondisi yang tak mudah. Saat negara-negara bertransisi selepas pandemi menuju pemulihan ekonomi, dunia tiba-tiba berada dalam situasi pelik pascainvasi Rusia atas Ukraina. Pemulihan ekonomi global melambat dan muncul krisis baru, baik pangan, energi, maupun keuangan.
Dalam situasi seperti itu, Indonesia tak perlu memasang target terlalu tinggi dan jangan merasa gagal jika tidak bisa mencapai komunike bersama. Warisan yang ditinggalkan Indonesia ialah aksi-aksi konkret untuk membantu dunia pulih dari krisis pascapandemi dan menjembatani kepentingan negara rentan yang selama ini terpinggirkan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Jumat lalu, mengatakan, meski pengaruh dinamika geopolitik global sangat kuat, substansi forum multilateral G20 tidak boleh kalah.