Enam Pesawat Pengebom AS akan Siaga di Selatan Indonesia
Aksi-reaksi dari Amerika Serikat dan China dalam kompetisinya yang makin eskalatif belum tentu berujung pada konflik terbuka pada waktu waktu dekat. Namun ASEAN tidak boleh berpangku tangan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Ketegangan hubungan antara Amerika Serikat dan China di Asia Pasifik tidak pernah surut. Bahkan, belakangan, frekuensinya semakin rapat dan cenderung eskalatif.
Situasi mutakhir ini dipicu kabar bahwa Amerika Serikat (AS) berencana mengirim enam pesawat pengebom B-52 ke salah satu pangkalan militernya di Australia. Dilansir dari media Australia, ABC, B-52 mampu mengangkut bom berhulu ledak nuklir.
Investigasi oleh Four Corners, jurnalisme investigatif Australia atau program televisi dokumenter Australian Broadcasting Corp (ABC), mengungkapkan, Washington telah menyusun rencana membangun fasilitas khusus untuk pesawat raksasa di Pangkalan Udara Tindal, Australia Utara. Tindal terletak sekitar 300 kilometer di selatan Darwin. Wilayah perairannya berbatasan dengan Laut Arafura dan Laut Timor.
Mengutip dokumen resmi AS, ABC menyebutkan, Washington telah menyusun rencana menggunakan fasilitas operasi skuadron itu selama musim kemarau, membangun pusat pemeliharaan, dan area parkir enam unit B-52.
Perluasan Pangkalan Udara Tindal diperkirakan berbiaya hingga 100 juta dollar AS. Angkatan Udara AS mengatakan, area parkir akan selesai pada akhir 2026.
Pada April lalu, Departemen Pertahanan AS menganggarkan 22,5 juta dollar AS untuk operasi skuadron dan fasilitas pemeliharaan di Tindal. ”Fasilitas (operasi skuadron) diperlukan untuk mendukung operasi strategis dan menjalankan beberapa latihan selama 15 hari saat musim kemarau di Northern Territory untuk penempatan skuadron B-52,” sebut dokumen AS.
Perdana Menteri Australia Anthony Albanese belum memberikan tanggapan langsung saat ditanya wartawan pada konferensi pers di Canberra, kemarin. ”Kami terlibat dengan teman-teman kami di sekutu AS dari waktu ke waktu. Ada beberapa kunjungan ke Australia, termasuk ke Darwin yang menempatkan Marinir AS secara bergantian di sana,” katanya.
Sementara saat ditanya rencana AS mengerahkan pesawat pengebom ke Australia, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian mengatakan, kerja sama pertahanan dan keamanan di antara negara-negara tidak boleh menempatkan pihak ketiga sebagai target atau merugikan kepentingan pihak ketiga. Perilaku AS belakangan telah meningkatkan ketegangan kawasan, merusak perdamaian dan stabilitas kawasan, serta bisa memicu perlombaan senjata di kawasan.
”China mendesak pihak-pihak terkait untuk meninggalkan mentalitas menang-kalah dan Perang Dingin yang sudah kedaluwarsa, serta cara berpikir geopolitik yang picik. China sekaligus mendesak untuk melakukan sesuatu yang kondusif untuk perdamaian dan stabilitas kawasan serta mengembangkan rasa saling percaya di antara negara-negara,” kata Zhao kepada wartawan pada pertemuan reguler di Beijing.
Kirim sinyal
Becca Wasser dari Center for New American Security mengatakan, penempatan B-52 adalah peringatan bagi China yang berencana menyatukan kembali Taiwan. ”Memiliki pesawat pengebom, yang dapat menjangkau dan berpotensi menyerang daratan China, sangat penting dalam mengirimkan sinyal ke China bahwa tindakannya atas Taiwan juga dapat berkembang lebih jauh,” katanya.
Peneliti senior di Institut Nautilus dan aktivis antinuklir, Richard Tanter, mengatakan, dengan kesediaan Australia menjadi pangkalan operasi pesawat pengebom B-52 di tengah konflik AS dan China menunjukkan kesediaan Australia bersekutu dengan AS. ”Ini tanda bagi orang China bahwa kami (Australia) bersedia menjadi ujung tombak,” katanya.
Tanter melihat pengerahan pesawat pengebom direncanakan lebih signifikan daripada rotasi Marinir AS ke Darwin setiap tahun. ”Sangat sulit untuk memikirkan komitmen yang lebih terbuka yang dapat kami buat. Ini sinyal yang lebih terbuka kepada China bahwa kami akan mengikuti rencana AS untuk perang dengan China,” katanya.
Sekretaris Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Yeremia Lalisang, berpendapat, ketegangan tidak berarti langsung akan berujung pada konflik terbuka. Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan China untuk menahan diri agar tidak terjadi peperangan.
Pertama, peralihan kepemimpinan nasional China belum selesai. Kongres Partai Komunis China (PKC) telah mengumumkan nama-nama politikus yang menjadi anggota Politbiro serta Komite Tetap PKC.
Telah dipastikan bahwa Perdana Menteri Li Keqiang akan mengakhiri masa jabatannya pada Maret 2023. Selanjutnya, Kongres Nasional Rakyat akan digelar untuk melantik perdana menteri baru. Beijing akan berusaha menjaga suasana tetap stabil sampai pergantian kepemimpinan tuntas.
Kedua, kemampuan militer China, Tentara Pembebasan Rakyat, masih di bawah militer AS. Militer China telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, kondisinya belum sepenuhnya mampu untuk melawan AS.
Ketiga, perkembangan ekonomi China. Sejauh ini, perkembangan ekonomi negara itu relatif positif. Artinya, China menjadi semakin bergantung pada ekonomi global. Mereka tidak akan membahayakan pertumbuhan ekonomi dengan memantik perang.
“Itu yang bagian China. Pertanyaan serupa juga harus kita kemukakan terhadap AS, Jepang, dan Taiwan. Mampukah mereka menahan diri agar tidak mengakibatkan konflik terbuka?” kata Yeremia.
Ia mengingatkan perkembangan situasi politik dan ekonomi dalam negeri AS juga memengaruhi pandangan politik luar negeri mereka. Salah satu contohnya adalah kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan pada awal Agustus lalu.
Kunjungan ini yang membuat persaingan geopolitik AS-China menjadi panas. Padahal, tujuan kedatangan Pelosi ke Taiwan tidak berkaitan langsuing dengan China maupun Taiwan, melainkan untuk meredakan ketegangan politik antara Partai Demokrat dengan partai Republik di AS.
Harian nasional China Global Times menanggapi laporan media Jepang, Nikkei. Dikabarkan bahwa Jepang sedang mempersiapkan Pasukan Beladiri untuk memiliki komando gabungan dengan AS. Pemerintah Jepang akan mengamandemen undang-undang mengenai fungsi Pasukan Beladiri Jepang agar bisa lebih asertif. Diperkirakan amandemen selesai pada tahun 2027.
Guna mencegah eskalasi lebih lanjut, Yeremia menekankan, negara-negara berkekuatan menengah di Asia Tenggara harus proaktif. ”Kekuatan negara-negara berkekuatan menengah adalah hedging, yaitu kemampuan mendekati berbagai pihak tanpa harus menjadi perpanjangan tangan mereka,” katanya. (AFP/REUTERS/DNE/CAL)