Saran Kissinger pada Biden dan Xi Menjelang KTT G20
”China ingin bekerja sama dengan AS berbasis sikap saling respek, dan hidup berdampingan dalam damai,” kata Xi.

Kombinasi foto arsip yang dibuat pada 8 Juni 2021 menunjukkan Presiden Amerika Serikat Joe Biden (kiri) berbicara di Washington DC pada 2 Juni 2021, dan Presiden China Xi Jinping berbicara di Bandara Internasional Macau pada 18 Desember 2019.
Banyak negara terombang-ambing antara memilih China atau AS. Ini pilihan sulit yang berpotensi memunculkan konflik. Para pebisnis telah menyuarakan bayang-bayang resesi, tetapi hal lebih menakutkan adalah efek ketegangan geopolitik. Konflik AS-Rusia dan AS-China telah berdampak pada bisnis global.
Bagaimana meredakan ketegangan China-AS dengan efek ke banyak negara? Presiden Asia Society Policy Institute Kevin Rudd berbicara dengan mantan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger di New York, 3 Oktober 2022, tentang hal ini. Momen tersebut berlangsung seiring momentum pertemuan tingkat tinggi (KTT) G20 di Bali, 15-16 November.
Baca juga : Relasi AS-China dan Dunia
Apa saran Kissinger kepada Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping yang kemungkinan bertemu di G20? Demikian pertanyaan Kevin. Berikut penuturan Henry, panggilan akrab Henry Kissinger, yang berperan mempertemukan pemimpin China Mao Zedong dan Presiden Richard Nixon di Beijing pada 1972.
”Saran saya, kedua pemimpin, atau salah satu dari mereka, harus mulai mengatakan bahwa ‘Kita memiliki banyak masalah dan kita tidak dapat terus-menerus berkonflik dengan efek ke seluruh dunia. Kita harus mencapai kesepakatan bahwa kita tidak akan membiarkan tindakan yang kita tahu akan menyebabkan perang di antara kita. Kita harus bersepakat ada prinsip yang menjadi panduan. Kita membuat beberapa sistem, misalnya berupa pembentukan kelompok dari masing-masing pihak, yang bertugas melaporkan langsung kepada kita tentang banyak hal',” demikian kata Henry.

Mantan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger berbicara dalam jamuan makan malam tahunan Komite Nasional Urusan Hubungan AS-China di New York, Amerika Serikat, 14 November 2019.
Henry melanjutkan, hal itu akan bermanfaat, dan bahkan dapat memunculkan fleksibilitas. Langkah itu dimulai dengan asumsi bahwa di antara kedua belah pihak tidak ada yang dapat dikalahkan dengan akal-akalan atau lewat perbuatan tanpa sadar. Keduanya harus berusaha menghadapinya dengan kontak erat lewat dua gugus tugas. ”Ini mungkin tidak berhasil, tetapi beberapa langkah dialog harus dilakukan,” ujar Henry, yang pada 2002 disebut oleh Presiden George W Bush sebagai pelayan negara dengan tugas terbaik dan beroleh respek.
Ia menambahkan, dialog harus dilakukan agar situasi berbeda dari yang terjadi sekarang. Menurut Henry, keadaan sekarang adalah fenomena yang sangat jarang, yakni kedua belah pihak terus saling melempar tuduhan ke pihak lainnya. Tidak ada usulan konkret tentang apa yang harus dilakukan selain saling tuding.
Jika ada dari satu pihak yang mencoba berinisiatif, hal itu hanya memunculkan isu yang tak terpecahkan di dalam politik dalam negeri masing-masing seperti isu Taiwan. ”Menghentikan pernyataan provokatif secara informal oleh kedua belah pihak, untuk suatu periode atau permanen, menurut saya adalah cara terbaik untuk memungkinkan munculnya kemajuan,” lanjut Henry, yang kini berusia 99 tahun.
Menepis hambatan

Pemimpin Partai Komunis China Mao Zedong (kiri) dan Presiden Amerika Serikat Richard Nixon berjabat tangan saat mereka bertemu di Beijing, China, 21 Februari 1972. Pertemuan keduanya pada puncak Perang Dingin mentransformasi hubungan AS-China dan posisi China di dunia.
Henry tidak hendak mengatakan bahwa berurusan dengan China adalah hal mudah. Mao adalah musuh yang tangguh, kata Henry saat menuturkan kisah menjelang pertemuan puncak Mao-Nixon. Menjelang pertemuan dengan Mao, ia mengenang diperlakukan seperti bola pingpong dan diawasi aparat, padahal ia berstatus sebagai tamu negara di Beijing dengan niat mempertemukan Mao dan Nixon.
Begitu jengkelnya diperlakukan seperti itu, Henry sampai berkata kepada Perdana Menteri China Zhou Enlai ketika itu, ”Jika Anda datang ke Washington sebagai tamu saya, tidak bisa saya memperlakukan Anda seperti yang saya alami, duduk berjam-jam tanpa ada informasi, dan Anda tidak akan diganggu oleh siapa pun.”
Baca juga : Indonesia di Tengah Pertarungan Geopolitik AS-China
Akhirnya Henry bertemu juga dengan Mao. Namun, pembicaraannya dengan Mao awalnya selalu bernada sinis dan sarat perumpamaan. Akan tetapi, Henry mengatakan, ia ditugaskan oleh Nixon dalam statusnya penasihat keamanan nasional. ”Saya bukan mahasiswa dengan spesialisasi China, tetapi saya terlibat dan mendalami China. Nixon berpikir saya orang terbaik dan paham soal China. Dan, saya orang yang bisa dia kendalikan karena saya staf Nixon, ketimbang siapa pun yang ada dalam pikirannya,” lanjut Henry.
Henry juga mengenang pesan kampanye Nixon, ingin mendekati China. Ia terngiang pesan Nixon, ”Dunia tidak bisa memiliki China dengan 800 juta warga yang sedang marah.” Kenangan akan Revolusi Kebudayaan masih tertancap kuat di benak warga ketika itu.

Presiden Amerika Serikat Richard Nixon dan Perdana Menteri China Zhou Enlai memeriksa pasukan saat Nixon meninggalkan Beijing menuju Hangchow dalam kunjungan ke China, 26 Februari 1972.
Misi penting itu membuat Henry rela melakoni ”dansa diplomatik”. Akhirnya Henry mendapatkan janji Mao lewat ucapan, ”Anda lihat, Profesor, sangat mudah berurusan dengan saya, bukan? Setiap saat saya bisa memberi konsesi. Tapi ingat, jika Anda bertikai dengan saya, pertikaian tidak akan pernah berakhir.”
Henry hendak berpesan, komunikasi teguh akan membuat waktu berpihak. Semua itu buah dari keseriusan diplomasi dan kepemimpinan yang kuat.
Kepemimpinan kuat
Ini semua juga hasil dari kepemimpinan kuat dari kedua pemimpin negara, Mao dan Nixon. Henry pernah mengutarakan hal serupa pada 7 Maret 2012 dalam diskusi terkait kunjungan Nixon ke Bejing. ”Ini membutuhkan pemimpin kuat dari dua arah yang berkomitmen terhadap hubungan bilateral dan bisa mengatasi tekanan-tekanan domestik,” kata Henry.
Baca juga : AS-China Adu Latihan Perang
Nixon bukannya tak menghadapi perlawanan dalam negeri saat mengutarakan niat bertemu Mao. China pun bukannya tidak menghadapi risiko pecah dengan Uni Soviet ketika Nixon mendekati China. Akan tetapi, dua pemimpin itu bisa melewati hambatan domestik.
Henry menuntut hal serupa dari AS sekarang ini. Ada banyak kekurangan dari sisi AS yang menghambat negosiasi. ”Di pihak Amerika, kita semua tahu, kita berurusan dengan kekurangan kita soal perangai yang tidak berguna. Kita sangat terpecah, dan kita juga memikirkan kebijakan luar negeri yang bersifat jangka sangat pendek. Setiap kali ada kampanye presiden, selalu ada calon yang menawarkan solusi. Mereka mengatakan akan menyelesaikan setiap masalah di dunia. Kita yang pernah terlibat dalam kebijakan luar negeri sangat tahu bahwa, kecuali untuk peristiwa langka seperti perjalanan Nixon ke China, sejauh ini di AS hanya perubahan marginal,” kata Nixon.
Kritik bermunculan

Foto yang dirilis oleh Kantor Berita Xinhua menunjukkan Menteri Luar Negeri China Wang Yi bertemu mantan Menlu AS Henry Kissinger di New York, Amerika Serikat, 19 September 2022.
Para pakar di AS kemudian menjawab Henry yang dituduh telah bertindak salah tentang China. Ia dan Nixon dituduh menyebabkan China bangkit dan balik menantang AS. Henry menjawab dengan visi lebih jauh. ”Saya bisa menjawab itu dengan ucapan berikut ini. Jika Anda melihat sejarah Perang Dunia I, tidak ada yang ragu lagi PD I menghancurkan peradaban Eropa yang pernah eksis. Tidak ada yang ragu sekarang bahwa jika para pemimpin pada masanya memburu keuntungan marginal, hal serupa bisa terjadi lagi. Dan, perang pada akhirnya membuat nasib setiap orang menjadi lebih buruk. Saya tidak melihat hasil konflik permanen dengan China,” katanya.
Atau jika ada perang dingin, setiap orang di dunia harus memilih salah satu dari dua kekuatan. Lalu, politik setiap orang akan terdistorsi. Jadi, dalam kaitan itu, relasi AS-China menjadi kunci bagi perdamaian dunia. Bukan berarti semua masalah akan teratasi. Akan tetapi, perilaku kita akan memengaruhi.
Evolusi
Henry menambahkan, China tidak perlu didikte tentang demokrasi. Akan ada evolusi politik dan pemikiran di China seiring dengan berjalannya waktu. China sebagai negara modern telah memasuki pemimpin generasi kelima, generasi yang pertama kali menyerap urbanisasi 400 juta penduduk (2012). Tahun 2022 jumlahnya mencapai 700 juta orang.
Saya kira inilah drama yang akan terjadi dengan China dalam 10 tahun mendatang. Itulah satu alasan, mengapa kompetisi strategis dengan AS tidak akan membuat China mengerahkan armada militer melampaui island chain.
Di setiap negara, pola urbanisasi seperti itu telah mengendorkan nilai-nilai tradisional. Mereka tidak bisa tahu nilai-nilai apa yang akan muncul dengan urbanisasi massal. ”Jadi, saya yakin generasi baru ini harus menyesuaikan lagi pemikiran politik dan ingin menjalankannya sesuai dengan realitas baru, bukan karena kita menguliahi mereka tentang demokrasi, melainkan karena ada hal mendesak secara internal, yang membuat generasi baru harus menyerap kompleksitas baru,” lanjut Henry, yang memprediksi perubahan perilaku generasi China berikutnya.
”Dalam pembicaraan saya dengan mereka, impresi saya adalah mereka berpikir soal problem baru dan nilai-nilai apa yang muncul di dalam kondisi seperti itu. Berapa banyak nilai tradisional, berapa banyak nilai yang datang dari ideologi, dan berapa banyak nilai baru yang mereka temukan. Saya kira inilah drama yang akan terjadi dengan China dalam 10 tahun mendatang. Itulah satu alasan, mengapa kompetisi strategis dengan AS tidak akan membuat China mengerahkan armada militer melampaui island chain,” kata Henry.

Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Henry Kissinger berbicara dalam pertemuan dengan Menlu China Wang Yi (tidak tampak dalam foto) di Aula Besar Rakyat di Beijing, China, 22 November 2019.
Seiring dengan itu, kompetisi tidak akan pernah hilang dalam relasi AS-China. Hanya, tidak semua hal harus menjadi kekhawatiran. Henry mengatakan, saat Nixon berurusan dengan Mao, ia tidak terlalu ngotot tentang Taiwan, tidak juga terlalu hirau dengan Laut China Selatan. ”Saya kira isu Laut China Selatan tidak menganggu Nixon, khususnya karena ia berpikir ini adalah isu yang muncul di dalam persaingan dengan AS, sebagai hasil evolusi China. Namun, hal itu akan diselesaikan dengan negosiasi, kecuali China sungguh ingin menantang AS dan semua tetangga dengan kekuatan, yang pasti akan memperburuk relasi kita, apa pun hasilnya.”
Keuntungan sekaligus tantangan
Henry mengatakan, langkah mempertemukan Nixon dan Mao pada 1972 telah menyebabkan periode 50 tahun berikutnya China tidak melakukan tindakan berlebihan, atau pernyataan berlebihan.
Winston Lord, asisten Henry dalam mempertemukan Mao dan Nixon, juga memberikan pendapat senada kepada The Global Times, 24 Februari 2022. ”Kita mendapatkan banyak keuntungan dengan engagement, baik sisi ekonomi maupun pertukaran budaya, dan China-AS bisa bekerja sama dalam isu-isu global. China menolong kita dalam persoalan global. Kita mendapatkan banyak hal sebagaimana kita mendapatkan banyak persoalan dalam relasi bilateral,” kata Lord.
Baca juga : Relasi AS-China di Era Biden
Tuduhan bahwa AS telah memunculkan musuh, yakni China karena perkembangan ekonominya, menurut Lord, itu hasil pandangan sempit. ”Saya cenderung mengatakan, Deng Xiaoping dengan reformasi dan keterbukaan yang menjadikan China sebagai kekuatan regional dan global. Mungkin, kita hanya berperan mempercepatnya,” kata Lord.
Lagipula, tidak ada alternatif lain selain engagement dengan China. AS tidak bisa membendung juga. Pertama, bodoh jika berpikir sebuah negara dengan 4.000 tahun sejarah dan dinamikanya, China tidak layak dibiarkan untuk bangkit.

Presiden AS Joe Biden bertemu secara virtual dengan Presiden China Xi Jinping dari Ruang Roosevelt di Gedung Putih, Washington DC, 15 November 2021.
Kedua, apakah ada alternatif jika AS ingin membendungnya? Pembendungan tidak mungkin, kata Lord, karena negara-negara lain tidak akan bergabung dengan AS. ”Jadi, langkah itu tidak akan efektif dan bisa berbahaya karena kita bisa terjerembab ke dalam konflik,” lanjut Lord.
Modus vivendi
Tampaknya Henry dan Lord menyerukan pandangan mirip modus vivendi. Terminologi ini merujuk pada dua pihak yang berbeda dan ada masalah dalam relasi yang tidak bisa diatasi, tetapi tetap bisa berkomunikasi. Ini juga sebuah ide yang dituliskan Rytis Satkauskas, profesor dari Universitas Leiden, yang menuliskan idenya pada 3 Desember 2021.
Modus vivendi, atau modus operandi, merujuk pada persetujuan politik secara informal di antara mereka yang berbeda opini (sepakat untuk tidak bersepakat). Dengan modus itu, kedua pihak tetap mengembangkan komunikasi dan setuju menjauhi konflik.
Sebagai kekuatan utama dunia, memperkuat komunikasi dan kerja sama akan turut menciptakan stabilitas dan perdamaian dan kepastian.
Seiring dengan itu, Presiden Xi telah menawarkan lebih dari sekadar modus vivendi. Xi pada 27 Oktober, di Beijing, mengatakan, China dan AS harus menemukan cara untuk bisa berpadu dan memelihara perdamaian dunia. ”Sebagai kekuatan utama dunia, memperkuat komunikasi dan kerja sama akan turut menciptakan stabilitas dan perdamaian dan kepastian. China ingin bekerja sama dengan AS berbasis sikap saling respek, dan hidup berdampingan dalam damai,” kata Xi.

Staf Kementerian Transportasi China menyiapkan bendera China dan AS untuk pertemuan antara Menteri Transportasi China Li Xiaopeng dan Menteri Transportasi AS Elaine Chao di Kementerian Transportasi China di Beijing, China, 27 April 2018.
Akan tetapi, Biden sebaliknya, pada Oktober ini masih tetap berbicara tentang China yang menjadi pesaing strategis, yang artinya tetap lebih menekankan hal yang berpotensi memunculkan konflik. Konflik akan selalu ada, tetapi tidak terbuka kesempatan berdialog untuk mencegah konflik.
Ketika pada 1972 China harus dibujuk, yang terjadi justru sebaliknya. China malah gencar membujuk AS untuk berdialog. Ini terjadi pula di era Biden dengan kebijakan yang banyak dikritik karena telah menciptakan ketegangan geopolitik yang menakutkan pebisnis. Ini sudah disuarakan CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon, mantan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin, hingga ekonom Nouriel Roubini. Sebab, efeknya makin mengancam perekonomian global, dengan efek buruk lebih besar ketimbang ancaman resesi yang diperkirakan terjadi pada 2023. (REUTERS/AP/AFP)