Lebanon dan Israel menandatangani perjanjian batas maritim yang ditunggu-tunggu. Meski demikian, tak semua elit politik di Israel setuju dengan langkah itu,
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JERUSALEM, KAMIS – Israel dan Lebanon, melalui mediasi Amerika Serikat, akhirnya menandatangani perjanjian perbatasan maritim dan pengelolaan minyak bumi serta gas alam di wilayah Laut Tengah. Kedua negara mengharapkan perjanjian ini bisa membawa perdamaian sekalipun secara teknis kedua negara masih dalam status perang sejak 1948. Kedua negara juga berharap memperoleh keuntungan ekonomi dari eksploitasi migas di wilayah itu.
Juru Bicara Sekretaris Perserikatan Bangsa-Bangsa Stephane Dujarric di Geneva, Swiss, Kamis (27/10/2022), menjelaskan bahwa perjanjian ditandatangi secara terpisah. “Delegasi Israel tidak akan bertemu dengan delegasi Lebanon. Jadi, ada dua berkas perjanjian yang ditandatangani dengan Amerika Serikat sebagai perantara,” ujarnya.
Dujarric menuturkan, Presiden Lebanon Michel Aoun menandatangi perjanjian di Kota Baada. Adapun Perdana Menteri Israel Yair Lapid menandatangi lembaran milik Israel di Jerusalem.
Setelah itu, kedua delegasi akan datang ke kota Naqoura yang terletak di perbatasan Lebanon-Israel. Di sana, kedua berkas perjanjian diserahkan kepada Utusan AS Amos Hochstein yang bertindak sebagai perantara, termasuk ketika negosiasi batas geografis sejak 2020.
“Hochstein akan menukar dokumen agar setiap pihak bisa menandatangani lagi. Akhirnya, kedua berkas perjanjian akan memiliki tanda tangan Aoun dan Lapid,” tuturnya. Dari PBB akan hadir Koordinator Khusus Lebanon Joanna Wronecka sebagai pengawas.
Batas maritim itu mengulas mengenai dua lahan minyak bumi dan gas di Laut Tengah, yaitu Karish dan Qanaa atau disebut juga Sidon. Israel dan Lebanon cekcok mengenai kepemilikan sejak 2011. Pada 2020, AS membantu menjadi penengah negosiasi dengan memercayakan Hochstein untuk tugas itu.
Hal ini demi menghindari pecahnya konflik, mengingat Israel dan Lebanon tidak memiliki hubungan diplomatik sejak 1948 ketika negara Israel berdiri. Bahkan, Israel pada 2006 berperang selama 34 hari dengan kelompok bersenjata Hezbollah yang aktif di Lebanon.
Israel menginginkan ladang minyak dan gas Karish. Mereka telah bermitra dengan perusahaan Energean dari Inggris untuk mengambil dan mengolah hasil alam tersebut.
Akan tetapi, Hezbollah mengancam menyerang Israel apabila ekstraksi dilakukan sebelum ada kesepakatan resmi antara Israel dengan Lebanon. Pada Selasa (25/10/2022), Israel telah memberi lampu hijau kepada Energean untuk segera melakukan ekstraksi begitu perjanjian diteken.
Sementara itu, untuk ladang Qanaa atau Sidon disepakati dibagi dua. Akan tetapi, khusus untuk eksploitasi dan pengolahan hasil tambang dilakukan sepenuhnya oleh Lebanon yang bekerja sama dengan perusahaan Total dari Perancis. Israel menerima hasil penjualan dari ladang tersebut.
Kedua negara berharap meraup laba dari penjualan migas sekaligus memandirikan negara masing-masing agar tidak bergantung dari impor energi. Khusus bagi Lebanon, mereka menginginkan penjualan migas ini bisa membawa mereka keluar dari krisis ekonomi terburuk sepanjang sejarah negara itu.
Berdasarkan uji seismik oleh firma Spectrum dari Inggris pada 2012, perkiraan cadangan gas di Qanaa mencapai 6,9 triliun meter kubik. Meskipun demikian, para pakar energi dan ekonomi mengingatkan Lebanon bahwa butuh waktu beberapa tahun untuk membangun sarana serta prasarana produksi gas. Hasil penjualan tidak bisa langsung dinikmati oleh rakyat.
Semua pihak terlibat mengaku gembira dengan ditandatanganinya perjanjian itu sekalipun masih tahap pertama. Tahap kedua ialah pertukaran lembar perjanjian di Naqoura. “Saya berharap perjanjian ini akan langgeng, terlepas dari pergantian kepala negara di Israel maupun Lebanon,” kata Hochstein.
Israel akan melakukan pemilihan umum pada 8 November. Adapun masa jabatan Aoun berakhir pada 31 Oktober. Para pengamat politik berpendapat, perjanjian ini memberi landasan bagi kedua negara untuk menghindari konflik. Isinya menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Elias Bou Saab, Wakil Perdana Menteri Lebanon yang menjadi negosiator dari delegasi negara itu mengatakan bahwa ini adalah masa baru hubungan Lebanon-Israel. Sementara Lapid dalam pidatonya di hadapan Knesset sebelum meneken perjanjian menuturkan bahwa ini adalah prestasi bagi Israel. “Kapan lagi ada negara musuh yang mengakui Israel secara resmi di atas kertas dan diakui oleh dunia,” ujarnya.
Dilansir dari Haaretz, tidak semua orang di dalam Pemerintah Israel sependapat dengan Lapid. Mantan perdana menteri Benjamin Netanyahu yang menjadi pemimpin partai oposisi pemerintah menganggap perjanjian ini adalah bukti Israel mengalah kepada musuh. Di dalam kabinet Lapid, Menteri Dalam Negeri Ayelet Shaked juga tidak menyetujui perjanjian itu.
Alasan Shaked sama dengan partai-partai kanan, yaitu keputusan diambil sepihak oleh eksekutif. Menurut mereka, segala hal terkait konsesi maupun batas geografis Israel harus diputuskan melalui rapat paripurna Knesset atau bisa juga dengan referendum apabila di parlemen tidak tercapai kesepakatan. (AFP/Reuters)